Muhammad bin Thahir


Dia adalah Ibnu Ali Al Imam Al Hafizh, seorang petualang yang mempunyai banyak karya, Abu Al Fadhl bin Abu Al Husain bin Al Qaisarani Al Maqdisi Al Atsari Azh-Zhahiri Ash-Shufi.
Dia lahir di Baitul Maqdis pada tahun 408 H.
Dia banyak menulis dengan tangannya sendiri dengan cepat dan teliti. Dia sangat gemar dan mempunyai perhatian lebih dalam dunia tulis-menulis. Banyak ulama selain dia yang lebih pakar dan teliti.
Abu Mas’ud Abdurrahim Al Haji berkata, “Aku mendengar Ibnu Thahir berkata, “Aku berlumuran darah dalam belajar hadits sebanyak dua kali; kali pertama di Baghdad dan kedua di Makkah. Aku berjalan telanjang kaki dalam udara yang panas. Aku sama sekali tidak pernah naik tumpangan dalam belajar hadits. Aku membawa buku-bukuku di atas punggungku. Selama belajar aku tak pernah meminta kepada seorangpun. Aku hidup dari apa yang ada.”
Sebuah pendapat mengatakan, “Ibnu Thahir selalu berjalan dalam sehari semalam sejauh dua puluh farsakh. Dia mampu menempuh jarak sejauh itu.”
Ad-Daqqaq menyebutnya di dalam risalahnya seraya berkata, “Dia adalah seorang sufi tinggal di Rayy kemudian pindah ke Hamadzan. Dia memiliki kitab Shafwat At-Tashawwuf. Dia sedikit mengerti ilmu hadits dalam guru-guru Imam Bukhari, Muslim dan guru imam hadits lainnya.”
Aku katakan, “Wahai saudaraku, cukuplah! Ibnu Thahir tahu lebih banyak tentang hadits daripada engkau.”
Ad-Daqqaq berkata, “Diceritakan kepadaku bahwa Abu Thahir memegang paham Al Ibahah.”
Aku berkomentar, “Apa maksudmu dengan Al Ibahah? Jika yang kamu maksud adalah Al Ibahah mutlak, Ibnu Thahir bukan orang seperti itu. Demi Allah dia muslim yang lurus, menghormati apa yang diharamkan Allah meski dia juga bersalah atau cacat. Jika yang kamu maksud Al Ibahah dalam arti khusus seperti membolehkan mendengar dan melihat kedurhakaan, maka ini maksiat. Pendapat Azh-Zhahiriyyah tentang bolehnya melakukan itu semua adalah pendapat yang lemah.”
Abu Sa’ad As-Sam’ani berkata, “Aku bertanya kepada Ismail bin Muhammad Al Hafizh tentang Ibnu Thahir, dia terdiam. Kemudian dia memujinya. Aku mendengar Abu Al Qasim bin Asakir berkata, “Ibnu Thahir menghimpun hadits-hadits athraf dari kitab Ash-Shahihain, Abu Daud, Abu Isa, An-Nasa`i dan Ibnu Majah. Dia membuat banyak kesalahan fatal di beberapa tempat.”
Ibnu Nashir berkata, “Dia orang yang sering salah ucapan dan bacaan. Pada suatu saat dia membaca Wa inna jabinahu layatafashshadu ‘araqan dia membacanya dengan “qaf”, sedangkan aku berpendapat seharusnya dengan “fa`”. Kemudian dia membantahku.”
As-Silafi berkata, “Dia orang yang mulia, berilmu tetapi sering salah ucap. Al Mu`taman As-Saji berkata kepadaku, ‘Ibnu Thahir membaca dan belajar hadits dari Syaikhul Islam di Harrah (sebuah wilayah di barat laut Afghanistan). Syaikh menggerakkan kepalanya dan berkata, ‘La haula wala quwwata illa billah’.”
Ibnu Thahir berkata, “Pada suatu hari aku membaca satu juz di hadapan Abu Ishaq Al Habbal, tiba-tiba seorang pria dari kampungku datang dan membisikkan kata kepadaku. Dia berkata, “Saudaramu telah tiba dari Syam setelah bangsa Turki masuk Baitul Maqdis dan membunuh orang di sana.” Aku mulai membaca dan aku ragu beberapa baris hingga aku tak mampu melanjutkan bacaan. Abu Ishaq bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Baik-baik saja.” Dia berkata, “Kamu harus memberitahuku.” Aku pun memberitahunya. Dia bertanya, “Berapa tahun kamu tidak ketemu saudaramu?” Aku jawab, “Bertahun-tahun.” Dia berkata, “Lantas kenapa kamu tidak menemuinya?” Aku jawab, “Hingga aku menyelesaikan satu juz.” Dia berkata, “Sungguh besar tekadmu wahai ahlul hadits!” Setelah mejlis selesai, membaca shalawat kepada Nabi SAW, dia pun pergi. Aku tinggal di Tannis, belajar bersama Abu Muhammad bin Al Haddad dan ulama lainnya selama beberapa waktu. Aku hanya punya uang sisa satu dirham sedangkan aku membutuhkan tinta dan kertas. Aku ragu apakah aku harus menggunakannya untuk membeli tinta, kertas atau roti. Aku dalam keraguan selama tiga hari dan tidak makan. Pada pagi hari keempat aku berkata kepada diriku sendiri, “Jika aku punya kertas hari ini, aku tidak mungkin menulis dalam keadaan lapar. Aku tempatkan uang dirham itu di mulutku. Aku keluar beli roti dan memakannya. Aku tertawa, lalu seorang teman mendatangiku ketika aku sedang tertawa. Dia bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa.” Aku menjawab, “Baik.” Dia mendesakku tapi aku menolak memberitahunya. Dia ingin memutuskan tali persahabatan hingga aku pun memberitahunya. Dia mengajakku ke rumahnya dan menghidangkan banyak makanan. Ketika kami keluar untuk shalat Zhuhur beberapa wakil pekerja Tinnis bin Qadus berkumpul. Dia bertanya tentang diriku. Seseorang menjawab, “Inilah dia.” Dia berkata, “Sejak sebulan temanku menyuruhku untuk menyampaikan kepadanya sepuluh dirham atau seperempat dinar setiap hari, tapi aku lupa hal itu.” Dia mengambil darinya tiga ratus dan memberikan kepada Ibnu Thahir. Ibnu Thahir meninggal setibanya dari haji pada tahun 507 H.
------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

No comments:

Post a Comment