Al Ghazali


Dia adalah Asy-Syaikh Al Imam Al Bahr Hujjatul Islam U’jubat Az-Zaman Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al Ghazali, seorang penulis kitab yang produktif dan insan yang cerdas.
Dia belajar fikih di negerinya kemudian pindah ke Naisabur bersama serombongan siswa dan belajar dari Imam Al Haramain. Dia menguasai ilmu fikih dalam waktu singkat, ilmu kalam, debat (jadal) dan menjadi figur para ahli debat. Dia mengajar dan mulai menulis buku. Sungguh dia membuat takjub gurunya Abu Al Ma’ali. Dia menunjukkan keunggulannya. Abu Hamid datang ke perkemahan Sultan dan disambut oleh menteri Nizham Al Mulk yang senang dengan kehadirannya. Dia berdebat dengan ulama-ulama besar di hadapannya. Nizham Al Mulk bangga dengannya dan Al Ghazali pun menjadi dikenal. An-Nizham mengangkatnya untuk menjadi guru di madrasah An-Nizhamiyyah Baghdad. Dia tiba di sana tahun 480 Hijriyyah pada saat dia berusia tiga puluh tahun. Dia mulai menulis ilmu Ushul fikih, fikih, kalam dan filsafat. Dia memasukkan kecerdasan akalnya di dalam karya-karyanya.
Nama Al Ghazali kian melambung dan popularitasnya terus melejit kerena dia dekat dengan Amir dan memiliki kehormatan yang tinggi. Dia mengabdikan dirinya untuk ilmu dan dunia zuhud hingga dia menolak keduniaan dan tertarik dengan keakhiratan, mendekatkan diri kepada Allah, mendalami makna ikhlas dan memperbaiki jiwa. Dia menunaikan ibadah haji, mengunjungi Baitul Maqdis, dan menemani Al Faqih Nashar bin Ibrahim di Damaskus. Al Ghazali tinggal di Damaskus beberapa saat dan menulis kitabnya Al Ihya‘. Sejak itu dia senantiasa membersihkan jiwa, menjauhkan diri dari prilaku tidak terpuji dan ‘memakai baju’ orang-orang yang bertakwa. Setelah beberapa tahun, dia kembali ke kampung halamannya menghabiskan sisa umurnya dan mengabdi kepada ilmu.
Abdul Ghafir di dalam bukunya As-Siyaq menyinggung tentang Al Ghazali hingga dia berkata, “Aku telah mengunjunginya berkali-kali. Dulu aku merasa di dalam diriku sepanjang yang aku ketahui bahwa dia mempunyai etika kurang terpuji, melihat orang dengan merendahkan karena sombong dan bangga diri dengan wawasan dan kecerdasannya. Tetapi sebaliknya dia bersih dari sikap-sikap kurang terpuji itu, kenyataan yang sebenarnya berbeda dengan dugaanku. Laki-laki ini telah sembuh dari ‘kegilaannya’.”
Abu Bakar bin Al Arabi berkata, “Syaikh kita Abu Hamid banyak menyerap ilmu para filosof. Dia ingin memuntahkannya tetapi dia tak mampu.”
Di dalam mu’jam karya Abu Ali Ash-Shadafi terdapat komentar Al Qadhi Iyadh tentang Al Ghazali. Dia berkata, “Syaikh Abu Hamid mempunyai karya yang banyak. Dia fanatik di dalam tasawuf dan berusaha untuk membela madzhab para sufi hingga menjadi penyeru tasawuf. Dia menulis banyak buku terkenal tentang tasawuf yang di dalamnya terdapat beberapa pendapat miring tentang Al Ghazali hingga asumsi umat berkata buruk tentangnya. Allah Maha Tahu tentang itu semua. Sultan kami di Barat dan para ulama menginstruksikan untuk membakar dan menjauhi karya-karyanya. Perintah itupun dilaksanakan.”
Aku katakan, “Para ulama masih berbeda pendapat dan orang-orang di dunia berbicara dengan ijtihad mereka masing-masing. Setiap argumen mereka dapat dimaklumi. Barangsiapa menolak atau melanggar ijma’, maka dia berdosa. Hanya kepada Allah semuanya kembali.” 
Aku katakan, “Laki-laki ini (Al Ghazali) telah menulis buku At-Tahafut yang mencela dan menguak aib para filosof. Dia sepakat dengan mereka dalam beberapa hal dengan menganggap bahwa itu haq atau sesuai dengan agama. Dia tidak mempunyai pengetahuan tentang riwayat dan sejarah kenabian yang mendiskreditkan akal. Dia telah kecanduan dalam menelaah kitab Rasa`il Ikhwan Ash-Shafa padahal kitab itu adalah penyakit yang berbahaya dan racun yang mematikan. Jika Abu Hamid itu bukan termasuk tokoh orang-orang yang cerdas, maka lenyaplah dia. Berhati-hatilah dengan buku-buku ini. Larilah dengan membawa agamamu dari keragu-raguan para filosof jika kalian tidak ingin jatuh dalam kebingungan. Barangsiapa menginginkan kemenangan maka beribadahlah, selalu meminta pertolongan kepada Allah, meminta kepada-Nya agar ditetapkan dengan Islam dan dibimbing untuk beriman sebagaimana iman para sahabat dan para tabiin. Allah Maha Pemberi Pertolongan. Dengan niat yang benar Allah akan menolong dan mengampuni hamba-Nya.”
Abu Amr bin Ash-Shalah berkata di dalam bab yang menerangkan hal-hal penting yang harus dijauhi dari Abu Hamid, “Di dalam buku-bukunya terdapat keganjilan-keganjilan yang tidak diterima oleh pengikut madzhabnya. Di antaranya adalah pendapatnya tentang ilmu mantiq, bahwa mantiq adalah kunci dari semua ilmu. Barangsiapa tidak menguasai mantiq, maka dia tidak tsiqah (dipercaya) dalam ilmunya.” Ibnu Ash-Shalah berkata, “Pendapat ini tidak benar. Setiap pendapat yang benar, maka secara otomatis ia logis. Berapa banyak imam yang tidak menggunakan mantiq sebagai pedoman!”
Al Ghazali berkata, “Para sufi berpegang pada ilmu ilhami bukan ilmu ta’limi. Dia duduk dengan mengosongkan hati dan penuh harap dengan berkata, “Allah, Allah, Allah.” secara terus-menerus. Dia mengosongkan hatinya, tidak disibukkan dengan membaca dan menulis hadits.” Al Ghazali berkata, “Jika dia telah mencapai batasan ini, dia senantiasa menyepi di dalam rumah gelap dan berselimut dengan pakaiannya. Pada saat itu dia mendengar panggilan Al Haq “Wahai orang yang berselimut (al muddatstsir)” dan “Wahai orang yang berselimut (al muzammil).”
Aku katakan, “Nabi SAW mendengar Ya ayyuha al muddatstsir dari Jibril, dan Jibril dari Allah. Orang bodoh ini sekali-kali tidak mendengar panggilan Al Haq selamanya, namun dia mendengarnya dari setan atau mendengar sesuatu yang tak ada asal usulnya yang berasal dari khayalannya. Pertolongan hanya didapatkan dari sunnah dan ijma’.”
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid menunaikan haji dan tinggal di Syam selama dua puluh tahun menulis dan bersungguh-sungguh dalam menghasilkan karya. Tempat tinggalnya di Damaskus adalah di menara masjid sebelah barat. Dia belajar kitab Shahih Al Bukhari dari Abu Sahl Al Hafshi. Dia tiba di Damaskus pada tahun 489 H.
Abu Al Abbas Ahmad Al Khathibi berkata, “Aku berada di halaqah Al Ghazali dan aku katakan kepadanya, ‘Ayahku meninggal dan mewariskan sedikit harta untukku dan untuk saudaraku. Harta itu habis karena kami membutuhkan sesuatu untuk dimakan. Kami belajar fikih di madrasah dengan tujuan untuk mendapatkan makanan. Tujuan belajar kami adalah untuk itu bukan karena Allah.’ Maka Al Ghazali menolak jika belajarnya bukan karena Allah.”
Di antara pendapatnya adalah dia berkata, “Sesungguhnya qadar itu mempunyai rahasia yang mana kita dilarang membeberkannya. Apa rahasia qadar itu? Jika qadar itu diketahui dengan akal maka pasti akan sampai padanya. Dan jika diketahui dengan khabar (riwayat) maka qadar itu tidak ada jawabannya. Jika qadar itu diketahui dengan intuisi, maka itu hanya klaim semata.” Barangkali yang dimaksud dengan membeberkan qadar adalah menyelami dan membahasnya.
Abu Hamid berkata, “Ketahuilah bahwa agama itu punya dua bagian; pertama meninggalkan larangan dan kedua melakukan ketaatan. Meninggalkan larangan adalah yang paling berat sedangkan ketaatan dapat dilakukan oleh setiap orang. Dan meninggalkan syahwat, hanya orang-orang yang benarlah (Ash-Shiddiqun) yang mampu melaksanakannya. Oleh karena itu Nabi SAW bersabda, “Orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan kejelekan dan orang yang berjihad adalah orang yang berjuang melawan hawa nafsu.”
Abu Amir Al Abdari berkata, “Aku mendengar Abu Nashr Ahmad bin Muhammad bin Abdul Qadir Ath-Thusi bersumpah atas nama Allah bahwa dia melihat dalam mimpinya seakan-akan melihat buku-buku Al Ghazali Rahimahullah. Ternyata itu semua adalah kopian.”
Aku katakan, “Al Ghazali adalah imam besar. Dan di antara syarat seorang alim adalah dia tidak keliru.”
Muhammad bin Al Walid Ath-Thurthusyi di dalam suratnya kepada Ibnu Muzhaffar berkata, “Apa saja yang kamu sebutkan tentang Abu Hamid, aku telah mengetahui dan mengatakannya. Aku berpandangan dia adalah ulama besar yang menyatukan antara akal dan pemahaman. Dia mengabdi kepada ilmu sepanjang hidupnya. Dia dikenal oleh para ulama, memasuki dunia profesi kemudian mendalami tasawuf. Dia meninggalkan ilmu dan para ulama, dan memasuki ilmu yang membahas tentang intuisi, penjernihan hati dan bisikan setan. Dia memadukan ilmu itu dengan pendapat para filosof dan simbol-simbol Al Hallaj. Dia mulai mencela ulama fikih dan ilmu kalam.”
Dia hampir keluar dari agama. Ketika menulis kitab Al Ihya‘, dia sengaja berbicara tentang ahwal (keadaan tertentu yang dialami oleh seorang sufi -penerj.) dan simbol-simbol sufistik. Dia sebenarnya bukan ahli dalam hal itu. Dia jatuh dan terjebak dengan riwayat-riwayat palsu maudhu’.
Aku katakan, “Di dalam Al Ihya` banyak hadits-hadits batil. Di dalamnya banyak kebaikan jika seandainya tidak ada simbol-simbol dan prilaku zuhud para filosof dan sufi yang melenceng. Kita mohon kepada Allah ilmu yang manfaat. Tahukah kamu apa ilmu manfaat itu? Yaitu ilmu yang turun bersama Al Qur`an dan ditafsirkan oleh Rasul SAW dengan ucapan, prilaku dan tidak ada larangan darinya. Rasul SAW bersabda, 
‘Barangsiapa membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.’ 
Saudaraku, kamu harus merenungi Kitab Allah dan mempelajari kitab Ash-Shahihain, Sunan An-Nasa`i, Riyadh Ash-Shalihin dan Al Adzkar karya Imam Nawawi, niscaya kamu akan beruntung dan selamat. Jauhilah pemikiran-pemikiran filosof, praktik ahli sufi, prilaku para pendeta dan khayalan orang yang senang menyepi. Seluruh kebaikan itu dengan mengikuti jalan yang lurus. Mintalah pertolongan kepada Allah. Ya Allah tunjukkan kepada kami jalan-Mu yang lurus.”
Abu Al Farj bin Al Jauzi berkata, “Abu Hamid menulis Al Ihya` dan memenuhinya dengan hadits-hadits yag batil sedangkan dia tidak tahu kebatilannya. Dia berbicara tentang penyingkapan (al kasyf) dan keluar dari aturan ilmu fikih. Al Ghazali berkata, ‘Yang dimaksud dengan bintang, bulan dan matahari yang dilihat Ibrahim AS adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab Allah.’ padahal bukan ini yang dimaksudkan. Ini adalah pendapat Bathiniyyah. Ibnu Al Jauzi membantah pendapat Abu Hamid di dalam kitab Al Ihya`, menerangkan kesalahannya dalam beberapa jilid kitab yang dia beri nama Al Ahya`.
Abu Al Hasan bin Sukkar membantah pendapat Al Ghazali di dalam bukunya Ihya‘u Mayyit Al Ahya fi Ar-Radd ‘ala Kitab Al Ihya‘.
Aku katakan, “Para imam masih berselisih paham antara satu dengan yang lain. Satu membantah yang lain. Hendaknya kita tidak termasuk golongan yang mencela seorang alim karena hawa dan ketidaktahuan.”
Al Ghazali wafat pada tahun 505 H pada usia lima puluh lima tahun dan dimakamkan di makam Thabaran di negeri Thus. Ulama berkata, “Julukan Al Ghazali, Al ‘Aththari dan Al Khabbazi itu dinisbatkan pada pekerjaan dalam bahasa bukan Arab (‘ajam).
Al Ghazali mempunyai seorang saudara, seorang dai terkenal yaitu Abu Al Futuh Ahmad. Dia sangat dekat dengan dunia dakwah. Dia dituduh sebagai orang yang lemah agamanya. Dia hidup hingga tahun 520 H. Dia menggantikan saudaranya mengajar di madrasah An-Nizhamiyyah di Baghdad.
Abu Ats-Tsana‘ Mahmud Al Fardhi berkata, “Tajul Islam bin Khamis menceritakan kepada kami, Al Ghazali berkata kepadaku, ‘Orang-orang memanggilku Al Ghazzali padahal aku bukan seorang Al Ghazzali. Aku adalah Al Ghazali yang dinisbatkan pada sebuah desa yang namanya Ghazalah’.”
Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Abu Hamid. Di manakah orang yang menyerupai ilmu dan keutamaannya? Tapi kita tidak mengklaim dia bersih dari salah dan keliru.
--------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

No comments:

Post a Comment