Al Arqam bin Abu Al Arqam

Al Arqam bin Abu Al Arqam adalah putra Asad Al Makhzumi.

Dia tergolong sahabat yang As-Sabiquna Al Awwalun dan menyaksikan perang Badar. Nabi SAW pernah bersembunyi di rumahnya yang ada di Shafa. Nama ayahnya Abdul Manaf.  

Dulu dia termasuk seorang cendekiawan Quraisy yang masih hidup hingga masa daulah bani Umayyah.


Diriwayatkan dari Al Arqam, bahwa dia pernah bersiap-siap ingin mengunjungi Baitul Maqdis. Ketika selesai bersiap-siap, dia datang menemui Nabi SAW untuk mengucapkan perpisahan kepada beliau. Nabi bertanya, “Apa yang mendorongmu pergi? Memang ada keperluan atau hanya untuk berdagang?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Nabi, akan tetapi aku ingin mengerjakan shalat di Baitul Maqdis.” Nabi SAW lalu bersabda, “Shalat di masjidku lebih baik daripada seribu shalat di masjid selain masjidku, kecuali Masjidil Haram.” Al Arqam pun duduk dan tidak jadi pergi. 

Ada yang mengatakan bahwa Al Arqam hidup hingga usia 87 tahun dan dia wafat di Madinah. Jenazahnya ketika itu dishalati oleh Saad bin Abu Waqqas, sesuai dengan wasiatnya kepada dirinya.

sumber: an-nubala

Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq

Dia adalah saudara kandung Ummul Mukminin Aisyah. 
Dia termasuk orang yang turut dalam perang Badar bersama orang musyrik, tetapi kemudian dia masuk Islam sebelum penaklukkan kota Makkah, sedangkan kakeknya Abu Quhafah masuk Islam setelah penaklukkan kota Makkah. 

Dia putra Abu Bakar yang paling tua, seorang pemanah terkenal dan gagah berani. Pada waktu perang Yamamah dia berhasil membunuh 7 pembesar mereka.

Dialah sahabat yang diutus oleh Nabi SAW pada waktu haji Wada’ untuk mengumrahkan saudara perempuannya, Aisyah, karena berhalangan. 
Dia wafat tahun 53 Hijriyah. 


Disebutkan dalam kitab Shahih Muslim bahwa dia pernah menghadap Aisyah pada waktu meninggalnya Sa’ad, lalu dia berwudhu, kemudian Aisyah berkata kepadanya, “Sempurnakan wudhu, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Celakalah orang-orang yang tidak menyempurnakan wudhunya, ia akan disiksa di neraka’.”

Dia tertarik kepada putri Al Judi dan merindukannya dengan berkata:
Aku teringat Laila sedang langit berada di bawahnya
Ada apa dengan putri Al Judi dan aku
Aku telah memberikan hatiku kepadanya
Akankah dia menerimaku atau menolaknya
Aku ingin bertemu dengannya dan semoga
Ketika manusia haji bisa bertemu dengannya

Umar kemudian berkata kepada pemimpin pasukannya, “Jika kalian bisa mengalahkannya dengan cara kekerasan, maka berikan putri Al Judi kepada Ibnu Abu Bakar. Mereka pun bisa mendapatkannya dan menyerahkannya kepada Ibnu Abu Bakar. Dia kemudian tertarik dengan wanita itu dan lebih memilihnya dari istri-istrinya yang lain, sehingga mereka melaporkannya kepada Aisyah. Mendengar laporan mereka, Aisyah berkata kepadanya, “Kamu telah berbuat tidak adil.” Dia menjawab, “Demi Allah, aku sangat senang melihat gigi serinya seperti kesenanganku kepada buah delima.” 

Istrinya yang paling dicintainya itu lalu terkena penyakit hingga gigi-giginya rompal, dan tak lama kemudian Ibnu Abu Bakar meninggalkannya hingga dia melaporkannya kepada Aisyah. Aisyah pun berkata kepadanya. Dia lalu memulangkannya kepada keluarganya. Ternyata dia putri seorang raja.

Buraidah bin Al Hushaib

Dia adalah putra Abdullah.

Ada yang mengatakan bahwa Buraidah bin Al Hushaib masuk Islam pada waktu hijrah, yaitu ketika Nabi SAW melewatinya saat hijrah. Dia turut dalam perang Khaibar dan penaklukkan Makkah sebagai pembawa bendera. Nabi SAW juga pernah mengangkatnya sebagai penarik zakat kaumnya.

Selain itu, Buraidah pernah membawa panji Usamah ketika dia memerangi negeri Al Balqa‘, setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Dia tinggal di Marwa dan menyebarkan ilmu di sana.

Buraidah pernah tinggal di Bashrah beberapa waktu, kemudian ikut memerangi Khurasan pada masa Utsman. Seseorang yang mendengarnya bercerita bahwa dia berkata di belakang sungai Jihun, “Tidak ada kehidupan kecuali mengusir kuda dengan kuda.”


Ashim Al Ahwal berkata: Muwarriq berkata, “Buraidah pernah berwasiat agar di atas makamnya diletakkan dua lembar kertas. Lalu dia wafat di Khurasan.

Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dia berkata, “Aku telah menyaksikan perang Khaibar dan aku termasuk sahabat yang naik di atas benteng musuh. Lalu aku menyerang hingga tempatku kelihatan karena aku memakai baju merah. Setelah itu aku merasa tidak pernah melakukan dosa yang lebih besar darinya dalam Islam —yaitu kemasyhuran—.” 

Menurut aku, benar, tetapi orang-orang bodoh pada zaman sekarang menganggap perbuatan seperti itu sebagai jihad dan salah satu bentuk ibadah. Yang jelas, perbuatan seperti itu tergantung pada niatnya. Mungkin yang dilakukan Buraidah dengan memperlihatkan dirinya itu berniat untuk ibadah dan jihad. Begitu juga dengan amal shalih, jika seseorang membanggakannya maka perbuatan itu bisa berubah menjadi riya. Allah SWT berfirman,

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.” (Qs. Al Furqaan [25]: 23)
Dia wafat tahun 62 Hijriyah.

sumber : an-nubala