An-Nu’man bin Muqarrin


Dia adalah putra A‘idz, Abu Amr Al Muzani, Al Amir.
Peperangan yang pertama kali diikutinya adalah perang Ahzab. Dia pernah mengikuti Bai’ah Ar-Ridhwan, tinggal di Kufah, menjadi wali Umar di Kaskar, kemudian pergi bersama-sama pasukan Islam menuju Nahawand, dan pada saat itu dia adalah sahabat yang pertama kali mati syahid pada tahun 11 Hijriyah.
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar, bahwa Umar pernah bermusyawarah dengan Hurmuzan di Isfahan, Persia, dan Adzarbaijan. Dia berkata, “Isfahan adalah kepala, sedangkan Persia dan Azarbaijan adalah sayap. Jika kamu memotong sayap maka dia masih bisa lari dengan kepala dan sayap satunya, tetapi jika kamu memotong kepala, maka kedua sayapnya akan jatuh.” Umar kemudian berkata kepada An-Nu’man bin Muqarrin, “Aku mengangkatmu menjadi pemimpin.” Hurmuzan berkata, “Jika aku dijadikan sebagai penarik pajak, aku tidak mau, tetapi jika aku dijadikan sebagai pemimpin pasukan, aku mau.” Umar lalu berkata, “Kamu diangkat menjadi pemimpin perang.” Tak lama kemudian Umar mengirimnya sebagai delegasi untuk penduduk Kufah agar mereka membantuku. Ketika itu turut bersama pasukan mereka Hudzaifah, Az-Zubair, Al Mughirah, Al Asy’ats, Amr bin Ma’dikarib. 
Dia selanjutnya menyebut redaksi haditsnya secara lengkap. Dalam kitab Mustadrak Al Hakim disebutkan bahwa Umar berkata, “Ya Allah, berilah rezeki kesyahidan kepada An-Nu’man dengan kemenangan pasukan Islam dan berilah mereka jalan keluar.” Mereka kemudian mengamininya, lalu dia mengibarkan benderanya tiga kali, lantas membawanya. 
Selain itu, dia adalah orang yang pertama kali tumbang dan jatuh dari kudanya hingga menyebabkan perutnya robek. Tetapi Allah memberikan kemenangan kepadanya. Setelah itu aku menemui An-Nu’man pada akhir sisa hidupnya. Aku lalu membawakan air untuknya dan menyiramkan ke wajahnya untuk menghilangkan debunya. Dia lantas berkata, “Siapa ini?”  Aku menjawab, “Ma’qil.” Dia lanjut berkata, “Apa yang dilakukan orang-orang?” Aku menjawab, “Allah telah memberikan kemenangan.” An-Nu’man berkata, “Alhamdulillah, tulislah surat kepada Umar tentang hal ini.” Setelah itu jiwanya berpisah dari raganya. Semoga Allah meridhainya.
------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Ubai bin Ka’ab


Dia adalah Ibnu Qais, pemimpin ahli Al Qur`an, Abu Al Mundzir Al Anshari, An-Najjari, Al Madani Al Muqri‘, Al Badari, yang juga dijuluki dengan Abu Ath-Thufail.
Dia sempat mengikuti perjanjian Aqabah dan perang Badar, mengumpulkan Al Qur`an pada masa Nabi SAW, belajar langsung dari Nabi SAW, menghafal banyak ilmu yang penuh berkah, dan sosok ulama yang suka beramal.
Anas berkata, “Nabi SAW pernah berkata kepada Ubai bin Ka’ab, ‘Allah menyuruhku agar mengajarimu membaca Al Qur`an’. Ubai bin Ka’ab berkata, ‘Apakah Allah menyebutkan namaku kepadamu?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya’. Dia bertanya lagi, ‘Apakah namaku juga di sebut di sisi Tuhan penguasa alam?’ Dia menjawab, ‘Ya’. Setelah itu kedua matanya memgeluarkan air mata. Ketika Nabi SAW bertanya kepada Ubai bin Ka’ab tentang ayat Al Qur`an yang paling agung, ia menjawab, ‘Allaahu laa ilaaha illaa huwa al hayyu al qayyum’. (Qs. Al Baqarah [2]: 255) Nabi SAW kemudian memukul dadanya seraya bersabda, ‘Betapa luasnya ilmumu wahai Abu Mundzir’.”
Anas bin Malik berkata, “Al Qur`an dikumpulkan pada masa Rasulullah SAW oleh empat orang sahabat yang semuanya berasal dari kaum Anshar, yaitu Ubai bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.”
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, 
‘Umatku yang paling pandai membaca Al Qur`an adalah Ubai bin Ka’ab’.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Al Harits bin Naufal, dia berkata: Aku pernah berdiri bersama Ubai bin Ka’ab di bawah bayang-bayang pohon Uthum Hassan, di pasar buah-buahan pada saat ini. Ubai lalu berkata, “Tidakkah kamu melihat manusia berbeda-beda punggung mereka dalam mencari dunia?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata lagi, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Hampir saja sungai Eufrat (Tigris) menyingkapkan gunung emas. Jika manusia mendengarnya, tentu mereka akan bergegas menujunya. Lalu orang yang ada di sisinya, seraya berkata, “Jika kami biarkan manusia mengambilnya, mereka tidak akan meninggalkannya barang sedikit pun, lalu setiap seratus orang akan dibunuh 99 diantaranya.”
Diriwayatkan dari Ashim dari Zirr, dia berkata, “Ketika datang ke Madinah, aku menemui Ubai. Aku berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu, bersikap baiklah kepadaku!’ —ketika itu dia seorang pria yang memiliki pekerti yang buruk— setelah itu aku bertanya kepadanya tentang malam Lailatul Qadar. Dia menjawab, ‘Yaitu malam kedua puluh tujuh’.”
Abu Daud meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW pernah mengerjakan shalat, lalu beliau lupa, dan ketika teringat beliau berkata kepada Ubai, ‘Apakah kamu akan shalat bersama kami?’ Ubai menjawab, ‘Ya’. Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk tidak mengingatkanmu ketika aku lupa?’.”
Diriwayatkan dari Qais bin Ubad, dia berkata: Aku pernah datang ke Madinah untuk menemui sahabat-sahabat Muhammad, dan di antara mereka semua hanya Ubai yang lebih aku senangi. Ketika shalat dilaksanakan, aku berdiri di shaf pertama. Tak lama kemudian datang seorang pria melihat wajah orang-orang, dia mengetahui mereka kecuali aku, lalu dia memandangku dan berdiri di tempatku. Tatkala itu aku tidak lagi menyadari shalatku. Ketika dia shalat, dia berkata, “Wahai anakku, semoga Allah tidak menimpakan keburukan kepadamu. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang hanya didasarkan pada kebodohan, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Berdirilah di shaf yang ada sesudahku’. Aku telah memperhatikan semua wajah orang-orang dan aku mengenal mereka semua kecuali kamu’.” Ternyata dia adalah Ubai bin Ka’ab.
Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa Utai bin Dhamrah menceritakan kepadaku, dia berkata, “Ketika aku melihat penduduk Madinah berkumpul di kuburan mereka, aku bertanya, ‘Ada apa dengan mereka?’ Salah seorang di antara mereka menjawab, ‘Apakah kamu bukan penduduk negeri ini?’ Aku menjawab, ‘Bukan’. Dia berkata, ‘Pada hari ini pemimpin kaum muslim, Ubai bin Ka’ab, telah berpulang menghadap-Nya’.”
Diriwayatkan dari Ubai, dia berkata, “Kami biasa mengkhatamkan Al Qur`an dalam hitungan delapan malam.”
Ubai bin Ka’ab juga pernah berkata kepada Umar bin Khaththab, “Mengapa kamu tidak mengangkatku menjadi wali?” Abu Bakar menjawab, “Aku khawatir agamamu terkotori.”
Ma’mar berkata, “Semua ilmu Ibnu Abbas diambil dari tiga orang, Umar, Ali, dan Ubai.”
Masruq berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ubai tentang sesuatu, lalu dia bertanya, ‘Apakah itu sudah terjadi sekarang?’ Aku menjawab, ‘Belum’. Dia berkata, ‘Jangan pernah menanyakan sesuatu yang belum terjadi kepada kami. Jika telah terjadi maka kami akan berijtihad untukmu menurut pendapat kami’.”
Selain itu, Umar RA sempat memuji Ubai dan bersikap sopan kepadanya serta berhakim kepadanya.
Ubai bin Ka’ab meninggal dunia pada masa kekhalifahan Umar RA.
Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa Umar bin Khaththab pernah menyuruh orang-orang agar shalat berjamaah bersama Ubai pada bulan Ramadhan. Dia kemudian shalat bersama mereka sebanyak dua puluh rakaat.
Ubai juga pernah menemukan kantong berisi seratus dinar, lalu dia mengumumkannya selama satu tahun, dan setelah tidak ada yang mengakuinya ia baru mengambilnya.
------------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Khalid bin Al Walid


Dia adalah Ibnu Al Mughirah.
Dia dikenal dengan sebutan pedang Allah, ksatria berkuda, singa peperangan, pemimpin, imam, amir yang berwibawa, dan panglima para mujahidin, Abu Sulaiman Al Qurasyi, Al Makhzumi, Al Makki.
Ia adalah putra saudara perempuan Ummul Mukminin Maimunah binti Al Harits. 
Dia hijrah sebagai seorang muslim pada bulan Shafar tahun 8 H, kemudian ikut dalam peperangan dan mati syahid dalam perang Muktah. Ketika ketiga pemimpin pasukan Islam mati syahid, yaitu bekas budak yang dimerdekakan oleh Zaid, keponakannya, Ja’far Dzul Janahain, dan Ibnu Rawahah, pasukan Islam berjuang tanpa pemimpin, sehingga Khalid mengambil alih kepemimpinan pasukan, mengambil bendera, lantas menyerang musuh. Setelah itu Khalid memperoleh kemenangan sehingga Nabi SAW menamainya dengan Saifullah (pedang Allah). Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya Khalid adalah salah satu pedang Allah yang dimunculkan untuk menghabisi orang-orang musyrik.” 
Dia juga turut dalam penaklukkan kota Makkah dan perang Hunain. Dia sempat menjadi pemimpin pada masa Nabi SAW. Dia memakai baju-baju besinya untuk berjuang di jalan Allah dan memerangi orang-orang murtad, Musailamah, memerangi Irak, dan menempuh jalan darat menembus pebatasan Irak hingga Syam dalam jangka waktu lima malam bersama pasukannya. Peperangan Syam tidak ketinggalan dia ikuti dan pada setiap ruas tubuhnya penuh dengan stempel kesyahidan.
Dia memiliki banyak keistimewaan. Dia diangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai panglima pasukan tertinggi, kemudian dia mengepung Syam hingga berhasil menaklukkannya bersama Abu Ubaidah.
Dia hidup selama 60 tahun dan selama itu dia telah membunuh banyak pahlawan musuh. Keitka dia meninggal di atas kasurnya, tidak ada mata para pengecut yang menangisinya.
Dia meninggal di Himsh tahun 21 Hijriyah.
Diriwayatkan dari Abu Umamah bin Sahal, bahwa Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang disebut dengan saifullah mengabarkan bahwa suatu ketika dia dan Rasulullah SAW berkunjung ke rumah bibinya, Maimunah. Lalu dia menemukan seekor biawak yang telah dimasak disuguhkan oleh saudara perempuannya, Hufaidah binti Al Harits, dari Nejed. Ketika dia menyuguhkannya kepada Rasulullah SAW, Rasulullah SAW lantas mengangkat tangannya, maka dia bertanya, “Apakah ini haram wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Tidak, tetapi binatang seperti ini tidak ada di daerahku sehingga aku enggan memakannya.”
Setelah itu aku memotongnya dan memakannya, sementara Rasulullah SAW melihatku dan tidak menegurku.
Diriwayatkan dari Abu Al Aliyah, bahwa Khalid bin Walid pernah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya seorang penipu dari golongan jin membingungkanku.” Beliau bersabda, 
Bacalah, ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna, yang tidak bisa ditembus oleh orang baik dan jahat dari kejahatan sesuatu yang masuk di bumi dan keluar darinya, dari kejahatan sesuatu yang naik ke langit dan yang turun darinya, dari kejahatan segala jalan kecuali jalan yang baik wahai Allah Yang Maha Pengasih’.” 
Tatkala bacaan itu dia amalkan, tak lama kemudian dia sembuh.
Diriwayatkan dari Amr bin Al Ash, dia berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah menyamakanku dan menyamakan Khalid dengan seseorang dalam peperangannya sejak kami masuk Islam.”
Ibnu Umar berkata, “Nabi SAW pernah mengirim Khalid untuk menyerang bani Jadzimah, lalu menawan beberapa orang pasukan musuh. Setelah itu Nabi SAW mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ ‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan kepada-Mu apa yang dilakukan oleh Khalid’, sebanyak dua kali.”93
Diriwayatkan dari Abdul Hamid bin Ja’far dari ayahnya, bahwa suatu ketika Khalid bin Al Walid kehilangan pecinya pada waktu perang Yarmuk, maka dia berkata, “Carilah peci itu!” Tetapi mereka tidak kunjung menemukannya. Ketika peci itu ditemukan, ternyata peci itu hanya peci usang. Khalid kemudian berkata, “Ketika Rasulullah SAW melakukan umrah, beliau memotong rambutnya, lalu para sahabat berebut mengambil rambut beliau, hingga aku mendahului mereka. Setelah itu aku meletakkannya di dalam peci tersebut. Jika aku memakai peci ini dalam peperangan, aku selalu diberi kemenangan.”
Diriwayatkan dari Qais, bahwa aku mendengar Khalid berkata, “Aku melihat diriku sendiri pada waktu perang Mu’tah, di tanganku ada bekas sabetan sembilan pedang dan di tanganku ada bekas sabetan senjata dari Yaman.”
Ibnu Uyainah meriwayatkan dari Ibnu Abu Khalid, maula94 keluarga Khalid bin Walid, bahwa Khalid pernah berkata, “Tidak ada malam yang pada saat itu aku dihadiahi seorang pengantin perempuan yang aku cintai, lebih aku senangi daripada malam yang sangat dingin dan banyak debu dalam perjalanan malam yang paginya menghadapi musuh.”
Qais bin Abu Hazim berkata, “Aku mendengar Khalid berkata, ‘Jihad menyebabkanku tidak banyak membaca’. Aku juga sempat melihatnya diberi racun. Mereka kemudian bertanya, ‘Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Racun’. Khalid lalu berkata, ‘Bismillah’, lalu beliau meminumnya.” 
Menurut aku, demi Allah, itu adalah karamah dan keberanian yang diberikan kepada Khalid.
Ibnu Aun berkata, “Ketika Umar menjadi wali, dia berkata, ‘Aku benar-benar akan mencopot Khalid dari posisi pemimpin pasukan hingga dia tahu bahwa Allah telah menolong agamanya tanpa Khalid’.”
Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dia berkata “Ketika Umar mencopot Khalid dari posisi pimpinan pasukan, Abu Ubaidah sengaja tidak memberitahukannya, hingga akhirnya Khalid mengetahuinya dari orang lain. Beliau kemudian berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu! Apa yang mendorongmu untuk tidak memberitahuku?’ Abu Ubaidah menjawab, ‘Aku tidak mau membuatmu sedih’.”
Diriwayatkan dari Abu Az-Zinad, bahwa ketika ajal hendak menjemput Khalid bin Al Walid, dia menangis seraya berkata, “Aku telah mengikuti perang ini dan itu dengan gagah berani, hingga tidak ada sejengkal bagian pun di tubuhku kecuali ada bekas sabetan pedang atau tusukan anak panah, tetapi mengapa aku mati di atas kasurku tanpa bisa berbuat apa-apa, seperti halnya seekor keledai? Mata para pengecut tidak bisa terpejam’.”
-----------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Khalid bin Al Walid


Dia adalah Ibnu Al Mughirah.
Dia dikenal dengan sebutan pedang Allah, ksatria berkuda, singa peperangan, pemimpin, imam, amir yang berwibawa, dan panglima para mujahidin, Abu Sulaiman Al Qurasyi, Al Makhzumi, Al Makki.
Ia adalah putra saudara perempuan Ummul Mukminin Maimunah binti Al Harits. 
Dia hijrah sebagai seorang muslim pada bulan Shafar tahun 8 H, kemudian ikut dalam peperangan dan mati syahid dalam perang Muktah. Ketika ketiga pemimpin pasukan Islam mati syahid, yaitu bekas budak yang dimerdekakan oleh Zaid, keponakannya, Ja’far Dzul Janahain, dan Ibnu Rawahah, pasukan Islam berjuang tanpa pemimpin, sehingga Khalid mengambil alih kepemimpinan pasukan, mengambil bendera, lantas menyerang musuh. Setelah itu Khalid memperoleh kemenangan sehingga Nabi SAW menamainya dengan Saifullah (pedang Allah). Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya Khalid adalah salah satu pedang Allah yang dimunculkan untuk menghabisi orang-orang musyrik.” 
Dia juga turut dalam penaklukkan kota Makkah dan perang Hunain. Dia sempat menjadi pemimpin pada masa Nabi SAW. Dia memakai baju-baju besinya untuk berjuang di jalan Allah dan memerangi orang-orang murtad, Musailamah, memerangi Irak, dan menempuh jalan darat menembus pebatasan Irak hingga Syam dalam jangka waktu lima malam bersama pasukannya. Peperangan Syam tidak ketinggalan dia ikuti dan pada setiap ruas tubuhnya penuh dengan stempel kesyahidan.
Dia memiliki banyak keistimewaan. Dia diangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai panglima pasukan tertinggi, kemudian dia mengepung Syam hingga berhasil menaklukkannya bersama Abu Ubaidah.
Dia hidup selama 60 tahun dan selama itu dia telah membunuh banyak pahlawan musuh. Keitka dia meninggal di atas kasurnya, tidak ada mata para pengecut yang menangisinya.
Dia meninggal di Himsh tahun 21 Hijriyah.
Diriwayatkan dari Abu Umamah bin Sahal, bahwa Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang disebut dengan saifullah mengabarkan bahwa suatu ketika dia dan Rasulullah SAW berkunjung ke rumah bibinya, Maimunah. Lalu dia menemukan seekor biawak yang telah dimasak disuguhkan oleh saudara perempuannya, Hufaidah binti Al Harits, dari Nejed. Ketika dia menyuguhkannya kepada Rasulullah SAW, Rasulullah SAW lantas mengangkat tangannya, maka dia bertanya, “Apakah ini haram wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Tidak, tetapi binatang seperti ini tidak ada di daerahku sehingga aku enggan memakannya.”
Setelah itu aku memotongnya dan memakannya, sementara Rasulullah SAW melihatku dan tidak menegurku.
Diriwayatkan dari Abu Al Aliyah, bahwa Khalid bin Walid pernah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya seorang penipu dari golongan jin membingungkanku.” Beliau bersabda, 
“Bacalah, ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna, yang tidak bisa ditembus oleh orang baik dan jahat dari kejahatan sesuatu yang masuk di bumi dan keluar darinya, dari kejahatan sesuatu yang naik ke langit dan yang turun darinya, dari kejahatan segala jalan kecuali jalan yang baik wahai Allah Yang Maha Pengasih’.” 
Tatkala bacaan itu dia amalkan, tak lama kemudian dia sembuh.
Diriwayatkan dari Amr bin Al Ash, dia berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah menyamakanku dan menyamakan Khalid dengan seseorang dalam peperangannya sejak kami masuk Islam.”
Ibnu Umar berkata, “Nabi SAW pernah mengirim Khalid untuk menyerang bani Jadzimah, lalu menawan beberapa orang pasukan musuh. Setelah itu Nabi SAW mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ ‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan kepada-Mu apa yang dilakukan oleh Khalid’, sebanyak dua kali.”93
Diriwayatkan dari Abdul Hamid bin Ja’far dari ayahnya, bahwa suatu ketika Khalid bin Al Walid kehilangan pecinya pada waktu perang Yarmuk, maka dia berkata, “Carilah peci itu!” Tetapi mereka tidak kunjung menemukannya. Ketika peci itu ditemukan, ternyata peci itu hanya peci usang. Khalid kemudian berkata, “Ketika Rasulullah SAW melakukan umrah, beliau memotong rambutnya, lalu para sahabat berebut mengambil rambut beliau, hingga aku mendahului mereka. Setelah itu aku meletakkannya di dalam peci tersebut. Jika aku memakai peci ini dalam peperangan, aku selalu diberi kemenangan.”
Diriwayatkan dari Qais, bahwa aku mendengar Khalid berkata, “Aku melihat diriku sendiri pada waktu perang Mu’tah, di tanganku ada bekas sabetan sembilan pedang dan di tanganku ada bekas sabetan senjata dari Yaman.”
Ibnu Uyainah meriwayatkan dari Ibnu Abu Khalid, maula94 keluarga Khalid bin Walid, bahwa Khalid pernah berkata, “Tidak ada malam yang pada saat itu aku dihadiahi seorang pengantin perempuan yang aku cintai, lebih aku senangi daripada malam yang sangat dingin dan banyak debu dalam perjalanan malam yang paginya menghadapi musuh.”
Qais bin Abu Hazim berkata, “Aku mendengar Khalid berkata, ‘Jihad menyebabkanku tidak banyak membaca’. Aku juga sempat melihatnya diberi racun. Mereka kemudian bertanya, ‘Apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Racun’. Khalid lalu berkata, ‘Bismillah’, lalu beliau meminumnya.” 
Menurut aku, demi Allah, itu adalah karamah dan keberanian yang diberikan kepada Khalid.
Ibnu Aun berkata, “Ketika Umar menjadi wali, dia berkata, ‘Aku benar-benar akan mencopot Khalid dari posisi pemimpin pasukan hingga dia tahu bahwa Allah telah menolong agamanya tanpa Khalid’.”
Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dia berkata “Ketika Umar mencopot Khalid dari posisi pimpinan pasukan, Abu Ubaidah sengaja tidak memberitahukannya, hingga akhirnya Khalid mengetahuinya dari orang lain. Beliau kemudian berkata, ‘Semoga Allah merahmatimu! Apa yang mendorongmu untuk tidak memberitahuku?’ Abu Ubaidah menjawab, ‘Aku tidak mau membuatmu sedih’.”
Diriwayatkan dari Abu Az-Zinad, bahwa ketika ajal hendak menjemput Khalid bin Al Walid, dia menangis seraya berkata, “Aku telah mengikuti perang ini dan itu dengan gagah berani, hingga tidak ada sejengkal bagian pun di tubuhku kecuali ada bekas sabetan pedang atau tusukan anak panah, tetapi mengapa aku mati di atas kasurku tanpa bisa berbuat apa-apa, seperti halnya seekor keledai? Mata para pengecut tidak bisa terpejam’.”
------------------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Ibnu Ummi Maktum


Dia adalah Abdullah bin Qais Al Qurasyi Al Amiri.
Ia termasuk salah satu As-Sabiquna Al Muhajirin (sahabat yang pertama kali hijrah). Dia sebenarnya pria buta yang menjadi muadzin Rasulullah SAW selain Bilal, Sa’ad  Al Qiradh, dan Abu Mahdzurah di Makkah. Dia juga sempat hijrah beberapa saat setelah perang Badar.      
Nabi Muhammad SAW sangat memuliakanya dan pernah menjadikannya sebagai khalifah di Madinah pada saat ditinggalkan oleh beliau, lalu dia mengerjakan shalat bersama segenap umat Islam yang tinggal di Madinah.
Diriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa dia mendengar Al Bara‘ berkata, “Orang yang pertama kali datang kepada kami adalah Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Mereka berdua kemudian mengajarkan Al Qur`an kepada orang-orang.”
Urwah berkata, “Nabi SAW bersama orang-orang Quraisy, diantaranya Utbah bin Rabi’ah. Tiba-tiba datang Ummi Maktum seraya bertanya tentang sesuatu, tetapi Nabi berpaling darinya, maka turunlah firman Allah, 
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, ketika datang kepadanya seorang buta.” (Qs. ‘Abasa [80]: 1)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ma’qil, dia berkata, “Suatu ketika Ibnu Ummi Maktum mendatangi seorang wanita Yahudi dari Madinah, dan wanita itu memperlakukannya dengan baik, akan tetapi dia merasa terhina ketika wanita itu menghina Nabi SAW. Ummi Maktum kemudian memegangnya, lalu memukulnya hingga akhirnya wanita tersebut terbunuh. Setelah itu dia melapor kepada Nabi SAW, ‘Demi Allah, wanita itu pernah menolongku, tapi dia menghinaku karena telah menghina Allah dan Rasul-Nya’. Mendengar itu, Nabi SAW berkata, ‘Semoga Allah menjauhkannya dan aku telah membatalkan darahnya’.”
Diriwayatkan dari Al Bara`, dia berkata, “Ketika ayat  ‘Tidaklah sama antara orang-orang yang duduk (tidak berperang) ...’  turun, Nabi SAW memanggil Zaid dan memerintahkannya berperang, tetapi Zaid beralasan bahwa dia memiliki banyak tanggungan, namun Nabi SAW tetap mewajibkannya. Setelah itu datanglah Ibnu Ummi Maktum melaporkan, hingga turunlah firman Allah,  ‘Kecuali orang-orang yang mempunyai udzur’.” (Qs. An-Naba` [78]: 95)
Diriwayatkan dari Ibnu Laila, bahwa Ibnu Ummi Maktum pernah berdoa, “Wahai Tuhanku, turunkanlah ayat yang meringankan udzurku.” Lalu turunlah firman Allah  “Kecuali orang yang mempunyai udzur.”  Dia juga pernah ikut berperang, ia berkata, “Berikan bendera itu kepadaku, karena aku orang buta sehingga tak bisa melarikan diri. Tempatkan aku di tengah-tengah dua barisan.”
--------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Bilal bin Rabah


Dia adalah budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, muadzin pada zaman Rasulullah SAW dari golongan As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama kali masuk Islam) dan pernah disiksa di jalan Allah. Dia juga termasuk pejuang perang Badar dan memperoleh kesaksian dari Nabi SAW bahwa dia masuk surga.     
Selain itu, dia banyak memiliki keistimewaan, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Asakir. Usianya mencapai 60-an tahun. Ada yang mengatakan bahwa dia berasal dari bani Habsyi. Ada pula yang mengatakan bahwa dia berasal dari keturunan bani Hijaz.  
Ada beberapa pendapat yang berkembang seputar kematiannya, dan salah satunya pendapat mengatakan bahwa dia meninggal pada waktu perang Badar, yaitu tahun 20 H. 
Diriwayatkan dari Dzar, dari Abdullah, dia berkata, “Orang yang pertama kali menampakkan keislamannya ada tujuh orang, yaitu Rasulullah, Abu Bakar, Ammar, ibunya Sumayah, Bilal, Shuhaib, dan Al Miqdad. Adapun Rasulullah dan Abu Bakar dilindungi oleh Allah dari kaumnya. Sedangkan yang lain disiksa oleh orang-orang musyrik dengan memakaikan baju besi dan menjemur mereka di bawah terik matahari. Mereka semua disiksa seperti itu hingga akhirnya mereka menuruti keinginan orang-orang musyrik, kecuali Bilal. Jiwanya ketika itu tetap teguh memegang agama Allah dan pantang menyerah terhadap intimidasi kaumnya. Mereka menyeretnya mengelilingi penduduk Makkah, tetapi dia tetap mengatakan ahad, ahad.             
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah berkata kepada Bilal ketika shalat Subuh, ‘Ceritakan kepadaku tentang amal yang paling digemari, yang engkau lakukan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara sandalmu di surga tadi malam’. Bilal berkata, ‘Aku tidak melakukan suatu perbuatan yang digemari, hanya saja setiap kali aku bersuci pada malam atau siang hari, aku melakukan shalat karena Allah, sebagaimana yang diwajibkan kepadaku untuk mengerjakan shalat’.”   
Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Umar berkata, “Abu Bakar adalah pemimpin kami dan dia telah memerdekakan Bilal yang juga pemimpin kami.” 
Diriwayatkan dari Qais, dia berkata, “Abu Bakar memerdekakan Bilal saat dia ditindih dengan batu dan membelinya dengan emas seberat lima awaq.87 Mereka yang menyiksa Bilal ketika itu berkata, “Seandainya engkau mau membeli dan menawarnya dengan harta satu awaq maka aku pasti berikan.” Abu Bakar berkata, “Seandainya kalian menolak dan menghargainya seharga seratus awaq, maka aku akan tetap membelinya.”  
Diriwayatkan dari Sa’ad, dia berkata: Kami berenam pernah bersama Rasulullah SAW, lalu orang-orang musyrik berkata, “Usirlah mereka dari kamu, karena mereka tidak setara dengan kami. Pada waktu itu aku bersama Ibnu Mas’ud, Bilal, seorang pria dari Hudzail, dan dua orang lainnya. Lalu turunlah firman Allah, 
‘Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru kepada tuhannya …’.”   (Qs. Al An’aam [6]: 52-53)
Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah SAW masuk kota Madinah, kondisi Abu Bakar dan Bilal kurang sehat. Abu Bakar sedang menderita demam tinggi, dia berkata,
Setiap orang bertemu dengan keluarganya pada pagi hari
Sementara maut lebih dekat dari terompah sandalnya
Ketika Bilal terlepas dari siksaan itu, dia mengangkat suaranya seraya berkata,
Aduhai, seandainya syairku, haruskah kutidur pada malam hari
Di lembah yang di sekelilingku Idzkhir dan Jalil
Akankah aku membawa pada suatu hari air sumur Majannah88
Akankah mereka memperlihatkan  Syamah dan Thafil kepadaku89
Ya Allah, timpakanlah laknat-Mu kepada Utbah, Syaibah, dan Umayyah bin Khalaf, seperti halnya tindakan mereka mengusir kami dari negeri kami menuju negeri bencana.90
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Rasulullah bersabda, 
‘Surga merindukan tiga orang, yaitu Ali, Ammar, dan Bilal’.”
Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dia berkata, “Kita memasuki kota Syam bersama Umar, lalu Bilal mengumandangkan Adzan. Orang-orang lalu menceritakannya kepada Nabi Muhammad SAW, hingga beliau menangis yang belum pernah orang melihatnya menangis seperti hari itu.”
Abu Ad-Darda` berkata: Ketika Umar memasuki kota Syam, dia meminta Bilal untuk menemaninya, maka dia pun melaksanakannya. Begitu juga dengan saudaraku Ruwaihah yang dipersaudarakan Rasulullah SAW denganku. Dia kemudian singgah di sebuah kampung di Khaulan. Lalu dia dan saudaranya pergi menuju penduduk Khaulan. Mereka berkata, “Kami sebenarnya mengunjungi kalian untuk meminang. Dulu kami kafir dan Allah memberikan petunjuk kepada kami. Dulu kami budak dan Allah memerdekakam kami. Dulu kami adalah fakir dan sekarang Allah memberikan kekayaan kepada kami. Jika kalian menikahkan kami maka alhammdulillah, dan jika kalian menolak kami maka na’udzibillah.” Mereka pun menikahkan keduanya.
Diriwayatkan dari Yahya bin Sa’ad, dia berkata, “Umar pernah mengingat keutamaan dan kebaikan Abu Bakar, kemudian menyebutkan keutamaannya, “Pemimpin kita ini, Bilal, adalah salah satu kebaikan dari kebaikan yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar.” 
Sa’id bin Abdul Aziz berkata, “Menjelang wafat Bilal berkata, ‘Besok para kekasih bertemu dengan Muhammad tercinta dan rombongannya’. Mendengar itu, istrinya berkata, ‘Aduh betapa tragisnya!’ Bilal lalu berkata, ’Aduh betapa senangnya’.”    
-----------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com
 

Usaid bin Al Hudhair


Dia adalah Ibnu Simak, Imam Abu Yahya, Al Ausi, Al Asyhali. 
Dia dikenal sebagai salah satu pemimpin dari dua belas orang yang masuk Islam pada malam Aqabah.
Dia termasuk As-Sabiquna Al Awwalun. 
Dia seorang sahabat yang cerdas dan berwawasan luas.    
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, 
Sebaik-baik lelaki adalah Abu Bakar, setelah itu sebaik-baik lelaki adalah Umar, lalu sebaik-baik lelaki adalah Usaid bin Hudhair’.”    
Diriwayatkan dari Usaid bin Hudhair, bahwa ketika dia bergurau di sisi Rasulullah SAW, beliau memukulnya dengan kayu yang dibawanya. Usaid kemudian berkata, “Engkau menyakitiku.” Nabi SAW berkata, “Balaslah!” Dia berkata, “Engkau memakai baju sedangkan aku tidak.” Setelah itu Rasulullah SAW membuka bajunya. Lalu aku menciumi badan sekitar pinggul beliau seraya berkata, ‘Sesungguhnya inilah yang aku inginkan wahai Rasulullah’.”  
Usaid wafat pada tahun 20 Hijriyah.
-------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Abbad bin Bisyir

Dia adalah Ibnu Waqs Al Imam Abu Rabi’ Al Anshari, Al Asyhali, salah seorang sahabat yang ikut dalam perang Badar.   
Dia termasuk salah seorang pemimpin suku Aus. Dia hidup selama 45 tahun. Dia adalah sahabat yang diterangi oleh tongkatnya pada malam hari ketika pulang ke rumahnya dari rumah Rasulullah SAW. Dia masuk Islam di tangan Mush’ab bin Umair. 
Dia salah seorang pembunuh Ka’ab bin Asyraf Al Yahudi. Nabi SAW mempekerjakannya sebagai penarik zakat dari suku Muzayyinah dan bani Salim serta menjadikannya penjaga beliau pada waktu perang Tabuk. 
Dia adalah sosok terhormat dan terpandang. Dia gugur dalam perang Yamamah.
Dia salah satu dari dua orang sahabat yang dijuluki sang pemberani.          
Diriwayatkan dari Yahya bin Ibad bin Abdullah, dari ayahnya, dia berkata, “Ada tiga orang dari golongan Anshar yang tidak tertandingi kemuliaannya, semuanya berasal dari bani Abdul Asyhal, yaitu Sa’ad bin Mu’ad, Abbad bin Bisyr, dan Usaid bin Khudhair.” 
Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Ketika Rasulullah SAW shalat tahajud di rumahku, beliau mendengar suara Abbad bin Bisyr, lalu beliau bersabda, ’Wahai Aisyah, apakah ini suara Abbad bin Bisyr?’ Aisyah menjawab, ‘Ya’. Rasulullah SAW bersabda, ‘Ya Allah, ampunilah dia’.” 
Dia mati syahid dalam perang Yamamah. Semoga Allah meridhainya.  
---------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Abu Al Ash bin Ar-Rabi’


Dia adalah Ibnu Abdul Uzza Al Qurasyi Al Absyam, menantu Rasulullah SAW, suami dari putri beliau yang bernama Zainab. Dia juga ayah dari Umamah, wanita yang pernah digendong Nabi SAW ketika beliau sedang shalat. Dia masuk Islam lima bulan sebelum perjanjian Hudaibiyah.  
Al Miswar bin Makhramah berkata, “Rasulullah SAW pernah memuji Al Ash karena dia menantu yang baik. Beliau bersabda, ‘Dia berbicara denganku kemudian mempercayaiku, dia berjanji kepadaku lalu menepatinya’. Ketika itu dia berjanji kepada Nabi SAW akan kembali ke Makkah setelah perang Badar. Dia menyerahkan istrinya (Zainab, putri Nabi SAW) kepada beliau dan berpisah dengan Zainab walaupun dia sangat mencintainya. Ibnu Al Ash adalah seorang pedagang dan kepercayaan orang Quraisy, tetapi aku tidak pernah melihatnya meriwayatkan hadits.
Ketika Hijrah, Nabi mengembalikan Zainab kepadanya setelah enam tahun dari pernikahan pertama. Ketka Ibnu Al Ash ditawan dalam perang Badar, Zainab mengirim kalungnya untuk membebaskan suaminya. Nabi lalu bersabda, ’Jika kalian melihat bahwa ini bisa menebusnya, maka lakukanlah.’ Para sahabat pun segera menebusnya.” 
-----------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Abdullah bin Amr bin Haram


Dia adalah sahabat Anshar dari suku Salam. Dia termasuk salah seorang pemimipin dalam Lailatul Aqabah. Dia pernah ikut perang Badar dan mati syahid dalam perang Uhud.     
Diriwayatkan dari Jabir, dia berkata, “Ketika Ayahku terbunuh dalam perang Uhud, aku membuka wajahnya lalu menangis. Para sahabat kemudian melarangku, tetapi Rasulullah SAW tidak melarangku. Bibiku juga ikut menangis ketika itu. Nabi SAW kemudian bersabda, 
“Kamu menangisinya atau tidak, malaikat tetap mengayominya dengan kedua sayap hingga kalian mengangkatnya.”
Malik berkata, “Kafanilah dia (Abdullah) dan Amr bin Al Jumuh dalam satu kafan.”
Diriwayatkan dari Jabir, bahwa ketika Rasulullah SAW keluar untuk menguburkan para syuhada Uhud, beliau bersabda, “Biarkan luka-luka itu menemani mereka, aku akan menjadi saksi atas mereka.”       
Ibnu Sa’ad berkata, “Para sahabat berkata, ‘Abdullah adalah sahabat yang pertama kali terbunuh dalam perang Uhud, dan Amr bin Al Jumuh adalah pria dengan postur tubuh yang tinggi. Kami kemudian mengubur mereka dalam satu liang lahad. Suatu hari banjir datang merusak kuburan mereka sehingga jasad mereka terlihat. Abdullah terluka di wajahnya dan tangannya memegangi luka itu, lalu kami melepaskan tangannya dan darahnya pun mengucur. Ketika tangannya dikembalikan, darahnya pun berhenti’.”    
Jabir berkata, “Ketika aku melihat Ayah di liangnya, jasadnya nampak seperti orang yang sedang tidur. Keadaannya tidak berubah sedikit pun, padahal dia sudah dikubur selama empat puluh tahun. Setelah itu kami memindahkannya ke tempat lain.”      
Asy-Sya’bi berkata: Jabir menceritakan kepadaku bahwa ketika ayahnya meninggal, dia masih menyisakan utang. Ia berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya Ayahku berutang sementara aku tidak memiliki harta kecuali buah kurma. Oleha karena itu, ikutlah bersamaku supaya para pemberi utang tidak mencaciku’. Setelah itu beliau berjalan di sekitar kebun kurma lalu mendoakannya. Beliau kemudian duduk di dalam kebun tersebut, sementara aku melunasi utang kepada mereka, namun ternyata masih tersisa harta sebanyak yang diberikan kepada mereka.”          
Thalhah bin Khirasy mendengar Jabir berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda kepadanya, “Maukah engkau aku beritahukan bahwa Allah SWT telah berfirman kepada Ayahmu bahwa dia adalah pejuang? Allah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, mintalah kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkannya’. Ayahmu kemudian berkata, ‘Aku mohon kepada-Mu agar mengembalikanku ke dunia sehingga dapat mati syahid untuk kedua kalinya’. Allah SWT lalu berfiman, ‘Sesungguhnya telah menjadi ketetapan-Ku bahwa mereka yang sudah mati tidak dapat kembali ke dunia’. Ayahmu lantas berkata, ‘Ya Tuhanku, kalau begitu sampaikan masalah ini kepada orang-orang setelahku’. Tak lama kemudian Allah SWT menurunkan firman-Nya, 
‘Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang dibunuh di jalan Allah (syahid) itu termasuk orang-orang yang mati, tetapi mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan mereka diberi rezeki’.” (Qs. Aali Imraan [3]: 169) 
 

Ikrimah bin Abu Jahal


Amr bin Hisyam berkata, “Ikrimah adalah sosok yang terhormat, pemimpin, dan syahid. Dia ayah dari Utsman Al Qurasyi Al Makhzumi Al Makki.”
Ketika ayahnya terbunuh, kepemimpinan bani Makhzumah pindah ke tangan Ikrimah, kemudian dia masuk Islam. Keislamannya bagus sejak awal.
Ibnu Abu Mulaikah berkata, “Jika Ikrimah bersumpah, dia selalu berkata, ‘Demi Dzat yang menyelamatkanku dalam perang Badar’.”
Ketika Rasulullah SAW masuk Makkah, Ikrimah dan Shafwan bin Umayyah bin Khalaf melarikan diri dari Makkah, maka Nabi SAW mengutus seseorang untuk menjamin kesalamatan mereka berdua. Nabi SAW memaafkan keduanya sehingga keduanya menghadap beliau, dan Ikrimah tidak dihukum.    
Asy-Syafi’i berkata, “Beliau banyak mendapat cobaan dalam Islam. Semoga Allah meridhainya. 
Ikrimah juga termasuk pejuang perang Yarmuk dan telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam peperangan tersebut, kemudian mati syahid. Ditemukan ada tujuh puluh luka bekas tikaman, lemparan, dan pukulan di tubuhnya.
-----------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Abdullah bin Abdullah bin Ubai


Dia adalah Ibnu Malik bin Al Harits bin Ubaid bin Malik bin Salim.
Salim adalah orang yang dijuluki lelaki hamil karena perutnya yang besar.
Dia sahabat Anshar dari suku Khazraj, yang ayahnya terkenal dengan nama Ibnu Salul Al Munafiq. Sedangkan Salul Al Khuza’iyyah adalah ibu Ubai yang disebutkan tadi. Abdullah bin Abdullah sebenarnya salah seorang tokoh dan sahabat pilihan. Namanya adalah Al Hubbab dan ayahnya dijuluki dengan nama tersebut, lalu Rasulullah SAW menggantinya dengan nama Abdullah.
Abdullah ikut serta dalam perang Badar dan peperangan sesudahnya.
Abdullah mati syahid saat perang Yamamah. Ayahnya wafat pada tahun 9 Hijriyah. Nabi SAW mengafaninya dengan pakaian beliau, menshalatinya, dan memintakan ampun untuknya karena memuliakan putranya. Sampai turunlah firman Allah, 
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Qs. At-Taubah [9]: 84)
Selain itu, dia adalah sosok pemimpin yang berwibawa. Penduduk Madinah berkeinginan kuat untuk mengangkatnya menjadi pemimpin sebelum Nabi SAW hijrah, namun gagal dan dia tidak mendapatkan apa-apa, baik di dunia maupun di akhirat.  
----------
siyar an-nubala
pustakaazzam.com

Ma’an bin Adi


Dia adalah Ibnu Al Jaddi, yang sudah terbiasa menulis Arab sebelum masuk Islam.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ma’an bin Adi adalah salah satu dari dua pemuda yang menemui Abu Bakar dan Umar, yang ketika itu ingin berkunjung ke kampung bani Sa’idah. Mereka berkata kepada Abu Bakar dan Umar, ’Janganlah kalian ikut campur dalam urusan bani Sa’adah, uruslah urusan kalian sendiri’.”
Urwah berkata, “Kami mendapat berita bahwa para sahabat pernah menangisi Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Alangkah baiknya seandainya kami mati sebelumnya, karena kita takut mengalami fitnah setelah wafatnya beliau’. Ma’an berkata, ‘Tetapi aku tidak suka mati sebelumnya, hingga aku bisa membenarkan ajaran beliau walaupun aku sudah mati, sebagaimana halnya aku membenarkan beliau ketika masih hidup’.” 
Ma’an termasuk sahabat yang mati syahid dalam perang Yamamah pada tahun 12 H.
------------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Sa’ad bin Rabi’


Dia adalah Ibnu Amir Al Anshari Al Khazraji Al Haritsi Al Badri An-Naqib As-Syahid, yang dipersaudarakan oleh Nabi Muhamad SAW dengan Abdurrahman bin Auf. Oleh karena itu, Sa’ad ingin memberikan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf dan menceraikan salah satu istrinya agar Abdurrahman berkenan menikahinya. Tetapi Abdurrahman bin Auf menolak tawaran tersebut dan mendoakan Sa’ad agar memperoleh kebaikan. 
Dia juga termasuk salah seorang pemimpin pada malam Lailatul Aqabah.
Diriwayatkan dari Muhamad bin Abdurrahman bin Sha’shabah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang bisa memberitahuku tentang perbuatan Sa’ad bin Rabi’?” Seorang sahabat Anshar kemudian menjawab, “Aku.” Dia lalu keluar dan mengelilingi para korban hingga menemukan Sa’ad dalam keadaan terluka, menahan sakit, dan berada dalam sisa-sisa hidupnya. Sahabat itu berkata, “Wahai Sa’ad, sesungguhnnya Rasulullah SAW memerintahkanku untuk melihat apakah kamu masih hidup atau sudah mati.” Sa’ad berkata, “Aku sudah mati. Sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW dan katakanlah bahwa Sa’ad berdoa semoga Allah membalas kebaikanmu (Nabi) dariku seperti Allah membalas kebaikan Nabi dari umatnya. Sampaikan juga salamku kepada kaummu dan katakan kepada mereka bahwa Sa’ad berkata kepada mereka, ‘Tak ada kesulitan bagimu di sisi Allah jika kamu ikhlas kepada Nabimu, walaupun hanya berupa kedipan mata’.”
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Istri dan kedua putri Sa’ad bin Rabi’ datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah kedua putri Sa’ad dan ayah mereka terbunuh dalam perang Uhud. Sementara paman mereka telah mengambil harta mereka dan dia tidak menyisakan harta sedikit pun untuk keduanya, padahal mereka berdua tidak bisa menikah kecuali mempunyai harta.” Mendengar itu Nabi SAW bersabda, “Allah pasti akan menyelesaikan masalah ini.” Lalu turunlah ayat tentang warisan. Setelah itu paman mereka dipanggil oleh Rasulullah SAW, dan beliau bersabda kepadanya, “Berikanlah kepada kedua putri Sa’ad 2/3 harta dan berilah ibu mereka 1/8 harta, sedangkan sisanya untukmu.” 
--------------
siyar alam-an-nubala
pustakaazzam.com

Thulaihah bin Khuwailid


Dia adalah Ibnu Nauval Al Asadi, seorang ksatria yang gagah berani, sahabat Nabi SAW, yang keberaniannya dijadikan sebagai perumpamaan.
Dia masuk Islam pada tahun 9 H, kemudian murtad dan menganiaya dirinya sendiri. Dia mengaku sebagai seorang nabi di Nejed, kemudian berperang melawan pasukan Islam dan akhirnya kalah, terlantar, dan ditemukan oleh keluarga Al Ghassan di Syam. Setelah itu dia dirawat dan masuk Islam lagi. 
Keislamannya semakin teguh ketika Ash-Shiddiq (Abu Bakar) wafat. Ia kemudian menunaikan ibadah haji, dan ketika Umar melihatnya Umar berkata, “Wahai Thulaihah, ketidaksukaan diriku terhadapmu muncul setelah kamu membunuh Ukkasyah bin Mihshan dan Tsabit bin Aqram yang ketika itu ditugaskan sebagai telik sandi Khalid dalam perang Buzakhah.” Keduanya dibunuh oleh Thulaihah bersama saudaranya. 
Kemudian dia ikut dalam perang Qadisiyah dan Nahawand. Umar lalu menulis surat kepada Sa’ad bin Abu Waqqash agar dia bermusyawarah dengan Thulaihah dalam hal peperangan dan agar dia tidak diberi apa-apa.
Keberanian dan kekuatan Thulaihah disejajarkan dengan kekuatan seribu pasukan berkuda.
Menurut aku, Thulaihah mendapat kecelakaan pada akhir perang Nahawand kemudian dia meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya.
-------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Tsabit bin Qais


Dia adalah Ibnu Syammas, orator kaum Anshar, dan termasuk sahabat Nabi SAW yang baik. Meskipun dia tidak sempat ikut berjuang dalam perang Badar, namun ia sempat mengikuti perang Uhud dan Bai’ah Ar-Ridhwan.
Dia adalah pria yang bersuara lantang dan sosok orator ulung.
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Tsabit bin Qais pernah berkhutbah ketika Rasulullah SAW datang ke Madinah, ‘Jika kami melarangmu dari sesuatu yang juga berlaku pada diri kami dan anak-anak kami, maka apa yang akan kami dapatkan?’ Beliau bersabda, ‘Surga’. Para sahabat kemudian berkata, ‘Kami ridha’.”
Diriwayatkan dari Ismail bin Muhammad bin Tsabit bin Qais, bahwa Tsabit bin Qais pernah berkata, “Ya Rasulullah, aku takut kami binasa. Allah telah melarang kami untuk senang dipuji dengan sesuatu yang tidak kami lakukan dan aku mendapati diriku senang dipuji. Allah juga melarang kita bersikap sombong, sedangkan aku orang yang menyukai keindahan. Allah melarang kami untuk mengangkat suara kami melebihi suaramu, sedangkan aku orang yang bersuara lantang.” Mendengar itu, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Tsabit, apakah kamu ridha untuk hidup terpuji, terbunuh sebagai syahid, dan masuk surga?”
Diriwayatkan dari Anas, bahwa suatu ketika Tsabit bin Qais datang dalam perang Yamamah, dalam kondisi memakai balsem, mengenakan dua lembar pakaian berwarna putih, dan dikafani sementara kaum itu telah dikalahkan, lalu dia berkata, “Ya Allah, aku tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukan mereka dan aku memohon ampunan kepada-Mu dari apa yang mereka perbuat. Alangkah buruknya apa yang dilakukan oleh mereka, karena itu lepaskan kami dari mereka sejenak saja.” Lalu beliau bersiap-siap, kemudian berperang hingga terbunuh.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, “Nabi SAW bersabda, 
‘Sebaik-baik pria adalah Tsabit bin Qais bin Syammas’.”
Diriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa utusan bani Tamim datang, lalu wakil mereka membanggakan diri dengan beberapa hal, maka Nabi SAW berkata kepada Tsabit bin Qais, “Berdirilah dan jawablah wakil mereka!” Tsabit lalu berdiri, lalu memuji Allah, lantas berpidato dengan baik. Kemudian Rasulullah SAW  dan orang-orang Islam senang dengannya.
Istrinya, Jamilah, pernah mengeluh perihal dirinya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, aku dan Tsabit bin Qais tidak bisa lagi bersatu.” Mendengar itu, Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu akan mengembalikan kebunnya?” Dia menjawab, “Ya.” Dia pun bercerai dengan Tsabit.
Ketika Tsabit hendak menghembuskan nafas terakhir, dia sempat dilihat oleh seorang pria. Dia berkata, “Tatkala aku terbunuh, ada seorang pria dari kaum muslim yang melepas baju besiku lalu menyembunyikannya, lantas dia meletakkannya di bawah periuk dan menutupinya dengan pelana. Lalu datanglah kepada pemimpin (amir), dan ceritakan kepadanya. Janganlah kamu berkata, ‘Ini mimpi sehingga kamu menyia-nyiakannya. Jika kamu datang ke Madinah maka katakan kepada Khalifah Rasulullah SAW bahwa aku mempunyai utang sebanyak sekian dan budakku aku merdekakan. Jangan sekali-kali kamu mengatakan bahwa ini hanya impian sehingga kamu menyia-nyiakannya.” Orang itu kemudian mendatanginya, lalu mengabarkan berita itu, dan semua wasiatnya terkabulkan. Kami tidak mengetahui ada orang lain yang telah meninggal, wasiatnya dilaksanakan selain Tsabit bin Qais RA.
-------------------
siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Zaid bin Khaththab


Dia adalah Ibnu Nufail, seorang sosok syahid, mujahid, dan ahli takwa, Abu Abdurrahman Al Qurasyi Al Adawi, saudara Amirul Mukminin Umar. Dia lebih muda dari Umar dan masuk Islam sebelumnya. Dia berkulit sawo matang dan berpostur tubuh sangat tinggi.
Dia termasuk pejuang perang Badar dan perang lainnya. Dia dipersaudarakan oleh Nabi SAW dengan Ma’an bin Adi Al Ajlani. 
Umar berkata kepadanya pada waktu perang Badar, “Pakailah baju besiku!’ Dia lalu berkata, “Aku ingin meninggal sebagai syahid, seperti halnya impian dirimu.” Keduanya kemudian tidak mau memakai baju besi tersebut. 
Pada saat perang Yamamah, bendera pasukan Islam dibawanya dan dia terus maju memerangi musuh, hingga akhirnya terbunuh. Setelah itu bendera tersebut jatuh, maka Salim —maula Abu Hudzaifah— mengambilnya. 
Umar merasa sedih dengan kematiannya, dia berkata, “Dia masuk Islam sebelumku dan mati syahid sebelumku.” 
Umar juga sempat berkata, “Setiap kali angin sepoi-sepoi bertiup aku mencium bau wanginya Zaid.”
Dia meninggal sebagai syahid pada tahun 12 Hijriyah.
--------------
siyar alam an-nubala / pustakaazzam.com

Sa’ad bin Mu’adz


Dia adalah Ibnu An-Nu’man As-Sayyid Al Kabir Asy-Syahid Abu Umar Al Anshari Al Ausi Al Asyhali Al Badri. 
Kematiannya membuat Arsy bergoncang. Dia memiliki banyak kelebihan, yang telah disebutkan dalam beberapa hadits shahih, buku-buku sejarah, dan sebagainya.
Diriwayatkan dari Abdul Hamid bin Abu Isa bin Jabr, dari ayahnya, dia mengatakan bahwa seorang pria Quraisy pernah mendengar suara bisikan berkata kepada Abu Qubais,
Seandainya kedua Sa’ad itu masuk Islam 
Maka Muhammad tak takut melawan para penentang Makkah
Abu Sufyan berkata, “Siapa kedua Sa’ad itu? Apakah Sa’ad Bakar dan Sa’ad Tamim?” Mereka lalu mendengar suara pada malam hari yang berkata,
Wahai Sa’ad, Sa’ad Al Aus, jadilah kau penolong
Wahai Sa’ad, Sa’ad Al Khazraji, Al Ghatharif
Jawablah seruan pemberi petunjuk, dan berharaplah
Semoga Allah memenuhi impian di surga Firdaus 
Sungguh, pahala Allah hanya untuk pencari petunjuk
Berupa surga Firdaus yang memiliki tingkatan
Abu Sufyan berkata, “Dia, demi Allah adalah Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah.”
Sa’ad bin Mu’adz masuk Islam di tangan Mush’ab bin Umar. 
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika dia masuk Islam, dia berdiri di hadapan kaumnya seraya berkata, ‘Wahai bani Abdul Asyhal, bagaimana penilaian kalian terhadap kepemimpinanku?’ Mereka menjawab, ‘Engkau adalah pemimpin kami yang dihormati dan orang yang paling baik dalam memberikan keputusan bagi kami’. Sa’ad berkata, ‘Kalian sebenarnya tidak boleh berbicara denganku, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya’. Demi Allah, ketika itu setiap orang yang ada di kampung bani Abdul Asyhal, baik laki-laki maupun perempuan, masuk Islam.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Ketika Sa’ad bin Mu’adz pergi umrah, dia singgah di rumah bani Umayyah bin Khalaf, sedangkan Umayyah, jika pergi ke Syam melewati Madinah, maka dia singgah di rumahnya. Umayyah berkata kepadanya, ‘Perhatikanlah! Kemudian jika siang menyingsing dan manusia telah ingat lagi, maka lakukanlah thawaf’. Ketika Sa’ad sedang melakukan thawaf, tiba-tiba Abu Jahal muncul seraya berkata, ‘Siapa yang thawaf dalam keadaan beriman itu?’ Dia menjawab, ‘Aku, Sa’ad’. Umayyah berkata, ‘Apakah kamu thawaf dalam keadaan beriman, padahal kamu dulu menyakiti Muhammad dan sahabat-sahabatnya?’ Sa’ad menjawab, ‘Ya’. Keduanya lalu bertengkar, hingga Umayyah berkata, ‘Kamu tidak perlu mengadukannya kepada Abu Al Hakam, karena dia pemimpin penduduk Al Wadi’. Sa’ad menjawab, ‘Demi Allah, jika kamu mencegahku maka aku benar-benar akan memutus perdaganganmu dengan Syam’. Aku kemudian berkata, ‘Kamu tidak perlu mengeraskan suaramu!’ Dia kemudian marah seraya berkata, ‘Biarkan aku jauh darimu, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau mengira beliau akan membunuhmu’. Umayyah berkata, ‘Membunuhku?’ Sa’ad berkata, ‘Ya. Demi Allah, Muhammad tidak berbohong’. 
Setelah itu, peristiwa yang diceritakan itu nyaris saja terjadi. Dia lalu kembali menemui istrinya, lantas berkata, ‘Tahukah kamu apa yang dikatakan saudaraku dari Yatsrib? Dia mengaku mendengar Muhammad mengatakan bahwa beliau akan membunuhku!’ Istrinya kemudian berkata, ‘Demi Allah, Muhammad tidak berbohong’. 
Ketika mereka keluar menuju perang Badar, istrinya berkata, ‘Apakah kamu tidak ingat perkataan saudaramu dari Madinah itu?’ Ketika dia hendak keluar, Abu Jahal berkata kepadanya, ‘Kamu adalah pembesar penghuni dataran ini, maka berjalanlah bersama kami sehari atau dua hari’. Dia pun berjalan bersama mereka, lalu Allah membunuhnya.”
Ibnu Syihab berkata, “Sa’ad bin Mu’adz termasuk pejuang perang Badar dan beliau terkena panah pada waktu perang Khandak, lalu masih bisa bertahan hidup selama sebulan, kemudian lukanya semakin parah hingga akhirnya ajal menjemputnya.”
Diriwayatkan dari Jabir, dia berkata, “Pada waktu perang Ahzab, Sa’ad tekena hantaman, lalu mereka memotong alisnya. Nabi SAW lalu membekamnya dengan api hingga tangannya melepuh. Setelah itu darahnya dikuras dan yang lain dipotong, hingga tangannya melepuh. Ketika melihat keadaan itu, Sa’ad berdoa, ‘Ya Allah, janganlah Engkau mengeluarkan jiwaku hingga mataku dapat melihat bani Quraidzah’. Tiba-tiba aliran darahnya berhenti dan tidak lagi menetes. Mereka kemudian menetap di daerah kekuasaan Sa’ad. Tak lama kemudian Rasulullah SAW mengirim pasukan kepadanya dan menetapkan agar pemimpin-pemimpinnya dibunuh, sementara wanita-wanita dan keluarga mereka ditawan.”
 Jabir berkata, “Jumlah mereka ketika itu 400 orang. Ketika selesai membunuh mereka, tetesan darahnya berhenti.”
Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan Umar menghadiri Sa’ad bin Mu’adz yang meninggal di kubah, yang dipasang Rasulullah SAW di masjid.”
Aisyah berkata, “Demi jiwa Muhammad di tangan-Nya, aku lebih mengenal tangisan Abu Bakar daripada Umar (tatkala Sa’ad bin Mu’adz meninggal). Pada saat itu aku berada di kamar. Pemandangan mereka seperti yang difirmankan Allah,  ‘Mereka saling kasih-mengasihi di antara mereka’.”  (Qs. Al Fath [48]: 29 )
Diriwayatkan dari Mahmud bin Lubaid, dia berkata, “Ketika pelupuk mata Sa’ad terkena sabetan pedang, dia terjatuh. Mereka lalu berusaha membawanya kepada seorang wanita bermana Rufaidah untuk mengobati lukanya. Ketika Nabi SAW melewatinya, beliau bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Dia lantas menceritakan kepada beliau sampai peristiwa malam hari ketika kaumnya memindahkan dirinya dan merasakan berat tubuhnya. 
Mereka lalu membawanya ke tempat peristirahatan bani Abdul Asyhal. Setelah itu Rasulullah SAW datang. Lalu ada yang berkata, ‘Berangkatlah bersamanya!’ Ketika beliau keluar, kami pun keluar bersama beliau. Beliau kemudian berjalan dengan tergesa-gesa hingga tali sandal banyak yang putus dan serban-serban kami berjatuhan. Para sahabat kemudian mengadukan hal itu kepada beliau, dan beliau bersabda, ‘Aku takut kita didahului malaikat sehingga dia memandikannya seperti dia memandikan Handzalah’. Tatkala kami sampai di rumahnya, dia sedang dimandikan, sementara ibunya meratapi jasadnya sembari berkata,
Ummu Sa’ad meratapi Sa’ad
Karena keteguhan dan kesungguhan hati
Setelah itu Nabi SAW bersabda, ‘Setiap orang yang menangis itu berdusta kecuali Ummu Sa’ad’. 
Beliau kemudian keluar membawa jenazahnya. Beberapa orang sahabat yang membawa jenazahnya berkata, ‘Ya Rasulullah, kami tidak pernah membawa jasad yang lebih ringan daripada dia’. Rasulullah SAW lalu bersabda, ‘Yang menyebabkannya ringan adalah karena malaikat telah turun begini dan begitu, dan mereka sebelumnya tidak pernah turun. Mereka turut membawa jasadnya bersama kalian’.”
Diriwayatkan dari Simak, bahwa dia mendengar Abdullah bin Syaddad berkata, “Suatu ketika Rasulullah SAW menemui Sa’ad, saat ia berusaha menipu dirinya sendiri seraya berkata, ‘Semoga Allah membalas dirimu dengan kebaikan yang setimpal wahai pemimpin kaum, karena kamu telah menunaikan apa yang dijanjikan, dan Allah pasti menunaikan janji-Nya kepadamu’.”
Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad, dia berkata: Diriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, “Ketika Sa’ad menetapkan hukuman di tengah-tengah bani Quraidzah, bahwa setiap orang yang melakukan kejahatan harus dibunuh, maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Dia telah menetapkan hukum kepada mereka berdasarkan hukum yang telah ditetapkan Allah dari atas langit ketujuh’.”
Diriwayatkan dari Muhammad bin Syurahbil bin Hasanah, dia berkata, “Suatu ketika seorang pria mengambil segenggam tanah kuburan Sa’ad, kemudian pergi. Setelah itu dia lihat, ternyata tanah itu berubah menjadi minyak wangi.”
Sa’ad bin Mu’adz adalah orang yang berkulit putih, tinggi, gagah, berwajah tampan, bermata indah, dan jenggot tertata rapi. Dia terkena sabetan senjata saat perang Khandak tahun 5 Hijriyah, dan dia meninggal karena sabetan senjata tersebut. Pada saat itu dia berusia 39 tahun. Rasulullah SAW menshalati jenazahnya, lalu dikuburkan di Baqi’.
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jabir, dari ayahnya, dia berkata, “Ketika mereka pergi ke kuburan Sa’ad, ada empat orang yang turun, yaitu Al Harits bin Aus, Usaid bin Hudhair, Abu Na`ilah Silkan, dan Salamah bin Salamah bin Waqqasy, sedangkan Rasulullah SAW ketika itu berdiri. Ketika dia diletakkan di dalam liang lahad, wajah Rasulullah SAW berubah dan beliau bertasbih tiga kali, kemudian orang-orang Islam juga bertasbih hingga menggoncangkan Baqi’. Setelah itu beliau membaca takbir sebanyak tiga kali, sementara para sahabat yang lain pun bertakbir. Beliau kemudian ditanya tentang hal itu, maka beliau berkata, ‘Kuburan sahabat kalian ini akan menjadi sempit dan ditekan, jika seseorang selamat darinya maka dia juga akan selamat. Kemudian Allah akan menyelamatkannya’.”
Menurut aku, tekanan itu bukan bagian adzab kubur, tetapi itu adalah sesuatu yang dialami orang beriman, layaknya rasa sakit yang dialaminya ketika kehilangan anak atau kekasihnya di dunia, sakit karena penyakit, sakit ketika nyawa terpisah dari tubuh, sakit ketika ditanya dan diuji di alam kubur, sakit karena pengaruh tangisan keluarganya atas dirinya, sakit ketika bangkit dari kuburnya, sakit pada saat dia resah dan gundah, sakit ketika lewat di atas neraka, dan sebagainya. 
Semua rasa sakit itu akan dialami oleh seorang hamba, tetapi bukan termasuk adzab kubur dan bukan pula adzab Jahanam. Bahkan seorang hamba yang bertakwa akan memperoleh keringanan dari Allah dalam sebagian rasa sakit itu atau seluruhnya. Ketenangan dari itu semua hanya diperoleh orang beriman tatkala bertemu dengan Tuhannya. 
Allah SWT berfirman, 
“Dan berilah mereka peringatan tentang Hari Penyesalan.”  (Qs. Maryam [19]: 39) 
“Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (Hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan.” (Qs. Ghafair [40]: 18)
Kita memohon semoga Allah SWT kita diberi ampunan, kelembutan, dan keringanan.
Walaupun dia mengalami goncangan seperti itu, tetapi Sa’ad termasuk penghuni surga yang kita ketahui dan dia termasuk para syuhada tertinggi. Seakan-akan kamu mengira bahwa orang yang sukses tidak akan mendapatkan kesedihan di dunia dan akhirat, tidak merasakan kegelisahan, sakit, dan ketakutan. Mintalah ampunan kepada Tuhanmu dan semoga Dia mengumpulkan kita dalam kelompok Sa’ad.”
Diriwayatkan dari Aisyah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, 
“Seandainya seseorang bisa selamat dari derita alam kubur, tentu Sa’ad juga bisa selamat darinya.”
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan secara mutawatir, “Sesungguhnya Arsy bergoncang dengan kematian Sa’ad karena senang dengannya.” 
Diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa Nabi SAW bersabda perihal perhiasan yang keindahannya memukau setiap orang yang melihatnya, “Peti-peti milik Sa’ad bin Mu’adz di surga lebih baik dari ini.”
Diriwayatkan dari Jabir, dia berkata, “Suatu ketika Jibril datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, ‘Siapa hamba shalih yang meninggal ini? Pintu-pintu langit telah dibukakan untuknya dan Arsy turut bergoncang’. Ketika Rasulullah SAW keluar, ternyata dia adalah Sa’ad.” 
Jabir berkata, “Setelah itu beliau duduk di atas kuburnya.”
Rasulullah SAW bersabda, 
“Hamba shalih ini telah membuat Arsy bergoncang, pintu-pintu langit dibukakan, dan disaksikan oleh tujuh puluh ribu malaikat yang belum pernah turun ke bumi sebelumnya. Dia sempat mengalami himpitan sebentar, kemudian dibebaskan darinya.” Yaitu Sa’ad.
Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih merasa kehilangan setelah Nabi SAW wafat dan kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar) atau salah satunya, daripada Sa’ad bin Mu’adz.”
--------------ref. siyar alam. an-nubala / pustakaazzam.com

Sa’ad bin Ubadah


Dia adalah Ibnu Dulaim, seorang pemimpin besar dan mulia, Abu Qais Al Anshari, Al Khazraji, As-Sa’idi, Al Madani, An-Naqib, pemimpin suku Khazraj.
Dia memiliki sedikit hadits dan dia dikenal sebagai seorang pemimpin serta tokoh yang dermawan.
Ketika Nabi SAW datang ke Madinah, setiap hari dia mengirim semangkok bubur daging, atau bubur yang dicampur dengan susu, atau makanan lainnya. Mangkok milik Sa’ad tersebut lalu diedarkan oleh Rasulullah SAW ke rumah istri-istri beliau.
Diriwayatkan bahwa dia adalah salah seorang sahabat yang ikut dalam perang Badar.
Diriwayatkan dari Abu Ath-Thufail, dia berkata: Suatu ketika Sa’ad bin Ubadah dan Al Mundzir bin Amr datang. Keduanya kemudian menemui orang-orang yang ikut dalam bai’at Aqabah saat mereka telah keluar. Penduduk Makkah lalu mengingatkan mereka berdua. Sa’ad telah dihukum dan Al Mundzir dipenjara. Sa’ad berkata, “Mereka memukuliku hingga meninggalkanku seakan-akan aku seperti patung yang berlumuran darah layaknya binatang yang disembelih untuk persembahan. Tiba-tiba ada seorang pria yang merasa kasihan kepadaku, ia berkata, ‘Celaka kamu! Apakah kamu punya seseorang di Makkah yang pernah menjadi tetanggamu?’ Aku menjawab, ‘Tidak, kecuali Al Ash bin Wa`il, dia telah mendahului kami datang ke Madinah dan kami menghormatinya’. 
Seorang pria dari kaum itu lalu berkata, “Keponakanku menjelaskan, ‘Demi Allah, tidak seorang pun di antara kalian yang bisa sampai menemuinya’. Mereka kemudian mencegah kami, dan ternyata dia adalah Adi bin Qais As-Sahmi.”
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata: Ketika sogokan Abu Sufyan datang kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Berilah masukan kepadaku.” Abu Bakar kemudian berdiri lantas berkata, “Duduklah!” Sa’ad bin Ubadah lalu berdiri dan berkata, “Seandainya engkau memerintah kami wahai Rasulullah untuk menenggelamkannya di lautan, maka kami akan menenggelamkannya, dan jika engkau menyuruh kami untuk memacunya ke Barkil Ghimad74 tentu kami akan melakukannya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, dia berkata, “Sa’ad bin Ubadah kembali setiap malam ke rumahnya bersama delapan puluh orang ahli Shufah untuk diberi makanan.”
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa Sa’ad pernah kencing sambil berdiri, lalu meninggal. Setelah itu seseorang berkata,

Kami telah membunuh pemimpin Khazraj
Sa’ad bin Ubadah
Kami melumpuhkannya dengan dua anak panah
Tetapi tidak mengenai hatinya

Dia meninggal pada tahun 14 Hijriyah di Hauran.
Sa’ad sudah bisa menulis pada masa jahiliyah. Dia juga pandai berenang dan melempar tombak, bahkan termasuk orang yang terbaik dalam kedua keterampilan itu.
Sa’ad dan beberapa nenek moyangnya pernah menyeru kepada orang-orang miskin, “Siapa yang ingin anggur dan daging maka dia hendaknya datang menemui Athum Dulaim bin Haritsah.”
-----------------ref. siyar alam an-nubala / pustakaazzam.com

Al Bara` bin Ma’rur


Dia bernama Ibnu Shakhar Sayyid An-Naqib Abu Bisyr Al Anshari, Al Khazraji, salah seorang pemimpin pada malam Aqabah, dan keponakan Sa’ad bin Mu’adz.
Dia juga pemimpin bani Salimah, sahabat yang pertama kali melakukan bai’at pada malam Aqabah pertama, orang terpandang, ahli takwa, dan pandai memahami jiwa.
Dia wafat pada bulan Shafar, sebulan sebelum Rasulullah SAW datang ke Madinah.
Muhammad bin Ishaq berkata: Ma’bad bin Ka’ab berkata kepadaku dari saudaranya Abdullah, dari ayahnya, dia berkata, “Ketika kami keluar dari Madinah menemui Nabi SAW di Makkah, ikut bersama kami beberapa orang musyrik dari kaum kami untuk menunaikan haji. Pada saat kami telah sampai di Dzul Hulaifah, Al Bara` bin Ma’rur —pemimpin dan pembesar kami ketika itu— berkata kepada kami, ‘Belajarlah! Demi Allah, aku berpandangan kita sebaiknya tidak membelakangi Ka’bah dan aku akan shalat menghadapnya’. Kami lalu berkata, ‘Demi Allah, kami tidak akan melakukannya. Kami mendapat berita bahwa Nabi SAW shalat menghadap Syam. Maka dari itu, kami tidak akan menentang kiblatnya. Aku sendiri melihat jika datang waktu shalat, beliau menghadap Ka’bah.’ 
Kami kemudian mencelanya dan dia menolak kecuali kita menghadap kepadanya, hingga akhirnya kami sampai di Makkah. Setelah itu dia berkata, ‘Wahai keponakanku, dalam perjalanan aku telah melakukan sesuatu yang aku tidak tahu apa itu?’ Dia kemudian menemui Rasulullah SAW dan bertanya perihal perbuatanku tersebut, sedangkan kami belum mengenal Rasulullah SAW. Kami lantas keluar untuk bertanya kemudian ketika sampai di Abtakh kami bertemu dengan seorang pria. Kami lalu bertanya kepadanya tentang jati diri Nabi SAW. Dia berkata, ‘Apakah kalian mengenalnya?’ Kami menjawab, ‘Tidak’. Dia lanjut bertanya, ‘Apakah kalian mengenal Abbas?’ Kami menjawab, ‘Tahu. Abbas pernah bertemu dengan kami ketika berdagang, sehingga kami mengenalnya’. Dia berkata lagi, ‘Beliau adalah orang yang sekarang duduk bersama Abbas di masjid’. 
Setelah itu kami datang menemui keduanya, lalu kami mengucapkan salam, lantas duduk. Abbas kemudian berbicara kepada kami, lalu Rasulullah SAW bertanya, ‘Siapa kedua orang ini wahai paman?’ Abbas menjawab, ‘Ini adalah Al Bara` bin Ma’rur, pemimpin kaumnya, dan ini adalah Ka’ab bin Malik’. Beliau lalu berkata, ‘Dia seorang penyair.’ Al Bara` berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah melakukan begini dan begitu’. Beliau lantas bersabda, ‘Kamu telah menghadap Kiblat, seandainya saja kamu bisa bersabar!’ Setelah itu beliau mengajaknya menghadap Kiblatnya. Kemudian kami membai’at Rasulullah SAW pada malam Aqabah pertengahan’.
Dia kemudian menceritakan kisah tersebut secara panjang lebar.”
Pada malam Aqabah, Al Bara‘ adalah orang yang paling mulia di antara tujuh puluh orang yang ikut berbai’at dan dialah orang yang pertama kali berbai’at kepada beliau pada malam itu.
-------------------------ref. siyar alam an-nubala / pustakaazzam.com

Sa’ad bin Khaitsamah


Dia adalah Ibnu Harits Al Anshari, Al Ausi Al Badri An-Naqib.
Garis keturunannya punah pada tahun 200 Hijriyah.
Rasulullah SAW kemudian mempersaudarakannya dengan Abu Salamah bin Abdul Asad.
Mereka berkata, “Dia termasuk salah seorang dari dua belas pemimpin besar.”
Ketika Nabi SAW mengobarkan semangat juang umat Islam untuk berangkat ke Badar, mereka pun merespon ajakan beliau dengan segera. Khaitsamah kemudian berkata kepada putranya, Sa’ad, “Biarkan aku yang keluar terlebih dahulu ke Badar dan tinggallah dulu bersama istrimu!” Namun putranya menolak seraya berkata, “Seandainya bukan surga yang menjadi pahalanya, tentu aku lebih mengutamakan dirimu.” Tak lama kemudian mereka terlibat dalam pertengkaran hingga akhirnya keduanya keluar bersama-sama. 
Sa’ad lalu meninggal sebagai syahid dalam perang Badar, sedangkan ayahnya, Khaitsamah, meninggal sebagai syahid pada perang Uhud.
----------------------ref. siyar alam an-nubala / pustakaazzam.com

Al Ala’ bin Al Hadhrami


Dia bernama Al Ala` bin Abdullah bin Imad.
Dia termasuk salah seorang khalifah bani Umayyah dan salah seorang pemimpin kaum Muhajirin.
Rasulullah SAW mengangkatnya menjadi wali di Bahrain. Begitu juga Abu Bakar dan Umar.
Dia wafat pada tahun 21 Hijriyah.
Abu Hurairah berkata, “Aku melihat tiga hal dari Al Ala` yang selalu aku senangi, yaitu menyebrangi lautan dengan kudanya pada waktu perang Darin.70 Dia bergerak menuju Bahrain, lalu berdoa kepada Allah di tanah lapang, hingga mereka diberi air yang berasal dari sumber, lantas mereka meminumnya hingga puas. Ketika sebagian dari mereka ada yang lupa tidak membawa air sebagai bekal, dia lantas kembali mengambilnya, dan ketika sampai di sana, ternyata sumber air itu sudah tidak ada.
Dia wafat pada saat kami tidak memiliki air. Namun dengan izin Allah, tiba-tiba awan mendung muncul, lalu hujan turun. Kami kemudian memandikan jasadnya dan membuatkan liang lahad untuknya dengan pedang kami, lalu menguburnya. Setelah itu kami tidak tahu lagi di mana lokasi penguburannya.”
-----------------
ref. siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Amr bin Al Jamuh


Dia adalah Ibnu Zaid Al Anshari As-Salami Al Ghanmi, ayah dari Mu’adz dan Mu’awwadz.
Diriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, “Ketika Mus’ab bin Umair datang ke Madinah untuk mengajarkan ilmu kepada penduduknya, Amr bin Al Jamuh mengutus seseorang untuk menemuinya, seraya bertanya, “Apa yang kalian bawa kepada kami?” Mereka menjawab, “Jika kamu mau maka kami akan datang dan kami akan membacakan Al Qur`an kepadamu.” Dia lalu menjawab, “Baiklah.” Mush’ab pun membacakan awal surah Yusuf kepadanya. Setelah itu Amr bin Al Jamuh berkata, “Kami sebenarnya sedang bermusyawarah bersama kaum kami.” Ketika itu dia pemimpin bani Salamah.
Mereka kemudian keluar menemui Manaf, lalu berkata, “Wahai Manaf, belajarlah! Demi Allah, orang-orang ini hanya menginginkan dirimu, apakah kamu akan mengingkarinya?” Setelah itu dia menghunus pedangnya lalu keluar. Melihat hal itu, kaumnya berdiri lalu merebut pedang tersebut. Ketika Manaf kembali, ia ditanya, “Di mana pedang itu wahai Manaf? Celaka kamu! Kijang tidak mungkin meninggalkan ekornya. Demi Allah, aku melihat bahwa Abu Ji’ar besok akan marah.” Manaf kemudian berkata kepada mereka, “Aku sebenarnya pergi  mengurus hartaku, maka berkatalah yang baik kepada Manaf.”  
Tatkala dia pergi, mereka menangkapnya lalu menghajarnya dan mengikatnya bersama bangkai anjing, lantas melemparkannya ke dalam sumur. 
Ketika Amr bin Al Jamuh datang, dia bertanya, “Bagaimana keadaan kalian?” Kaumnya menjawab, “Baik wahai pemimpin kami. Allah telah membersihkan rumah kita dari kotoran.” Dia kemudian berkata, “Demi Allah, aku melihat kalian telah berbuat jahat kepada Manaf ketika aku pergi.” Mereka berkata, “Begitulah, lihatlah dia sekarang di dalam sumur itu!” 
Amr bin Al Jamuh lantas mendekati sumur tersebut lalu melihatnya. Setelah itu dia mengutus seorang delegasi kepada kaumnya. Ketika mereka datang, dia berkata, “Apakah kalian berpegang teguh pada apa yang aku pegang?” Mereka menjawab, “Ya, karena engkau pemimpin kami.” Dia lantas berkata, “Aku bersaksi kepada kalian bahwa aku telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.”
Ikrimah berkata: Pada waktu perang Uhud, Rasulullah SAW bersabda, “Pergilah kalian ke surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang dipersiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.” Amr bin Al Jamuh lantas bangkit, padahal dia cacat, lalu berkata, “Demi Allah, aku akan terjun ke medan perang untuk memperoleh surga tersebut.” Setelah itu dia berperang hingga akhirnya terbunuh sebagai syahid.
Diriwayatkan dari Ibnu Al Munkadir, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai bani Salamah, siapa pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Al Jaddu bin Qais. Kami menganggapnya orang yang bakhil.” Nabi SAW lalu bersabda, “Penyakit apa yang lebih berbahaya daripada kebakhilan? Tapi pemimpin kalian adalah Al Ja’d Al Abyadh, Amr bin Al Jamuh.”
Al Waqidi berkata, “Amr bin Al Jamuh tidak sempat ikut dalam perang Badar lantaran kecacatannya. Ketika umat Islam keluar berperang pada waktu perang Uhud, anak-anaknya melarangnya turut berperang, mereka berkata, “Allah telah memaafkanmu.” Setelah itu dia datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukan sikap mereka.” Mendengar itu, beliau bersabda, “Janganlah kalian melarangnya, siapa tahu Allah akan menjadikannya sebagai syahid?”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Sha’sha’ah, dia mendapat kabar bahwa kuburan Amr bin Al Jamuh dan Ibnu Haram diterpa banjir hingga rusak, lalu kuburan keduanya digali untuk dipindahkan. Ketika digali, ternyata jasad keduanya ditemukan dalam kondisi tidak berubah, seakan-akan baru meninggal kemarin. Ketika tangannya dipindahkan dari lukanya, tangannya tersebut kembali lagi seperti semula. Padahal jarak waktu antara perang Uhud dengan waktu penggalian kuburan mereka adalah 46 tahun.
---------------------
ref. siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Mu’adz bin Amr bin Al Jamuh


Dia adalah Mu’adz bin Amr bin Al Jamuh Al Anshari, Al Khazraji, As-Salami, Al Madani, Al Badri, Al Aqabi.
Dia pembunuh Abu Jahal, pejuang perang Badar, dan hidup sampai akhir pemerintahan Khalifah Umar.
Shalih bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Pada saat perang Badar, aku berdiri di dalam barisan, lalu aku melihat-lihat, ternyata aku berada di antara dua orang anak dari golongan Anshar yang masih muda usianya. Aku kemudian berharap selalu berada dalam perlindungan mereka berdua. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menyapaku seraya berkata, “Wahai paman, apakah engkau mengenal Abu Jahal?” Aku menjawab, “Ya, apa yang engkau inginkan?” Dia menjawab, “Aku mendapat informasi bahwa dia telah menghina Rasulullah SAW. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, jika aku melihatnya maka aku akan membunuhnya.”  Mendengar itu, aku langsung tercengang. Sahabat yang lainnya lalu menyapaku seraya berkata seperti yang pertama. Ketika pandanganku tertuju pada Abu Jahal dan dia mendekati orang-orang, aku berkata, “Tidakkah kalian berdua melihatnya? Itulah orang yang kalian cari.”  
Mereka berdua kemudian segera mengayunkan pedang hingga akhirnya berhasil membunuhnya. Setelah itu mereka berdua kembali menghadap Nabi SAW dan menceritakan kepada beliau. Mendapat laporan tersebut, Nabi SAW bertanya, “Siapa di antara kalian yang membunuhnya?” Mereka berdua menjawab, “Aku yang membunuhnya.” Beliau lalu bersabda, “Apakah kalian telah mengusap pedang kalian?” Mereka berdua menjawab, “Belum.” Beliau lantas melihat kedua pedang mereka, lalu berkata, “Memang benar, kalian berdua telah membunuhnya.” Selanjutnya beliau menentukan harta rampasan untuk Mu’adz bin Amr, dan sisanya untuk Mu’adz bin Afra`.”
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Amr, dia berkata, “Pada saat perang Badar, aku memasang Abu Jahal sebagai target operasi. Pada saat aku mendapat peluang, aku langsung menghantamnya, lalu memotong kakinya setengah lutut. Tiba-tiba aku dihantam oleh anaknya, yaitu Ikrimah bin Abu Jahal, tepat di bahuku, hingga tanganku terpotong, tetapi masih tetap menggantung di kulit. Keadaan itu sempat menyulitkanku untuk menyerang, tetapi aku tetap menghabiskan hari tersebut untuk menyerang sambil meletakkan tangan yang terpotong itu di belakangku. Ketika aku merasa kesakitan, aku pun meletakkan kaki di atas tangan yang terpotong itu, kemudian aku tarik hingga akhirnya terlepas dan membuangnya.”
Demi Allah, ini adalah keberanian sejati. Ketegaran hatinya tidak seperti orang yang berputus asa dan melemah ketika terkena anak panah. Setelah itu dia diberi usia hingga masa Khalifah Utsman.
-------------------------
ref. siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Khubaib bin Adi


Dia adalah Ibnu Amir Al Anshari Asy-Syahid.
Dia termasuk pejuang perang Uhud dan salah satu sahabat yang diutus Nabi SAW untuk menemui bani Lihyan. Ketika mereka sampai di Ar-Raji’, ternyata bani Lihyan berkhianat. Mereka kemudian menyerang dan membunuh para sahabat yang diutus serta menawan Khubaib dan Zaid bin Ad-Datsinah. Mereka lalu menjual keduanya di Makkah, lantas mereka membunuh dan menyalib keduanya di Tan’im.
Diriwayatkan dari Ashim bin Umar, dia berkata, “Ketika terjadi pengkhianatan terhadap Khubaib dan sahabat-sahabtnya di Ar-Raji’, mereka menahannya bersama Yazid bin Ad-Datsinah. Khubaib kemudian dijual oleh Hujair bin Abu Ihab kepada Uqbah bin Al Harits bin Amir —saudara seibu Hujair— agar dia membunuhnya demi membalaskan dendam kematian ayahnya.”
Ketika hendak keluar untuk membunuhnya, mereka telah menyiapkan sebuah tiang dari bambu untuk menyalibnya, tetapi akhirnya mereka bersikap lunak kepadanya. Dia berkata, “Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan shalat dua rakaat.” Mereka berkata, “Silakan.” Dia pun mengerjakan shalat seraya berkata, “Demi Allah, seandainya kalian tidak mengira bahwa aku mengulur-ulur waktu pembunuhan, niscaya aku akan memperbanyak shalat.” 
Dialah sahabat yang pertama kali menyunahkan shalat sebelum dibunuh. Kemudian ketika mereka mengangkatnya di atas tiang kayu, dia berdoa, “Ya Allah, kurangilah jumlah mereka dan bunuhlah mereka dengan sadis serta jangan sisakan seorang pun dari mereka. Ya Allah, sesungguhnya kami telah menyampaikan risalah Rasul-Mu, maka sampaikan kepada mereka sebagaimana risalah itu datang kepada kami.”
Ashim berkata, “Mu’awiyah berkata, ‘Aku termasuk orang yang turut hadir dalam penyaliban dirinya. Ketika itu aku melihat Abu Sufyan menyuruhku berbaring di atas tanah untuk menangkal doa Khubaib, karena menurut mereka jika seseorang didoakan memperoleh kecelakaan lalu dia berbaring, maka doanya tidak akan mempan’.”
Diriwayatkan dari Mu’awiyah, pembantu Hujair, bahwa Khubaib ditangkap di rumahnya (Mu’awiyah). Dia menceritakan hal ini setelah masuk Islam. Dia berkata, “Demi Allah, Khubaib ditangkap ketika aku melihatnya dari lubang pintu. Dia sedang menggenggam setangkai buah anggur yang besarnya seperti kepala orang untuk disantap, dan aku belum pernah melihat biji anggur seperti itu di bumi.”
---------------------
ref. siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Abu Dujanah Al Anshari


Dia adalah Simak bin Kharasyah As–Sa’idi. Dia terkenal saat perang Uhud karena memakai ikat kepala merah.
Zaid bin Aslam berkata, “Pada saat Abu Dujanah sakit, dia dikunjungi, dan saat itu wajahnya terlihat berseri-seri, maka ada yang bertanya kepadanya, ‘Kenapa wajahmu berseri-seri?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada pekerjaan yang membuatku terbebani melebihi dua hal, yaitu hanya mengatakan sesuatu yang bermanfaat, dan hatiku selalu bersih terhadap orang–orang Islam’.” 
Pada waktu perang Yamamah pecah, Abu Dujanah melempar dirinya ke dalam kebun hingga kakinya patah, tetapi dia tetap menyerang dalam keadaan cedera, lalu akhirnya terbunuh.
Pedang Abu Dujanah tidak tajam, maka ketika Nabi SAW melihat pedang tersebut, beliau bersabda, “Siapa yang dapat memenuhi hak pedang ini?”  Tetapi orang-orang enggan mengambilnya. Abu Dujanah lalu berkata, “Apakah haknya ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menggunakannya untuk berperang di jalan Allah hingga Allah memberikan kemenangan bagimu atau kamu yang terbunuh’. 
Abu Dujanah lalu menerima persyaratan itu. 
Sebelum mengalami kekalahan pada waktu perang Uhud, dia keluar sambil menenteng pedangnya dengan tegap dan membusungkan dada, sementara dia hanya mengenakan baju dan ikat kepala berwarna merah. Sambil menyerang dia berkata, 
Aku adalah orang yang telah berjanji pada kekasihku
Jika kami harus mati di bawah pohon kurma
Maka aku tidak akan membiarkan waktu terbelenggu
Untuk berperang dengan pedang Allah dan Rasul-Nya
-----------------
ref. siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Abdullah bin Rawahah


Dia adalah Ibnu Tsa’labah bin Imri‘ Al Qais bin Tsa’labah. 
Dia adalah sosok pemimpin yang bahagia dan meninggal sebagai syuhada‘. 
Ia bernama Abu Amr Al Anshari Al Khazraji Al Badri An-Naqib Asy-Sya’ir.
Dia termasuk pejuang perang Badar dan Aqabah. Dia dijuluki Abu Muhammad dan Abu Rawahah. Dia tidak memiliki keturunan. Dia adalah paman Nu’man bin Basyir, termasuk juru tulis dari kaum Anshar.
Nabi SAW pernah mengutusnya bersama pasukan yang terdiri dari tiga puluh pasukan berkuda untuk menemui Usair bin Rizam, seorang pria keturunan Yahudi di Khaibar, dan dia berhasil membunuhnya.
Qutaibah berkata, “Ibnu Rawahah dan Abu Ad-Darda` adalah saudara seibu.”
Abu Ad-Darda` berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan pada hari yang sangat panas. Pada waktu itu tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah SAW dan Abdullah bin Rawahah.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dia berkata: Ketika seorang pria menikahi mantan istri Ibnu Rawahah, pria itu berkata kepadanya, “Tahukah kamu alasanku menikahimu? Yaitu agar kamu menceritakan kepadaku semua yang dilakukan oleh Abdullah di rumahnya.” Mantan istrinya kemudian menceritakan sesuatu yang aku tidak hafal selain perkataannya, “Setiap kali Abdullah keluar dari rumahnya, dia shalat dua rakaat, dan jika datang dia juga shalat dua rakaat. Dia tidak pernah meninggalkan kebiasaan itu selamanya.”
Ibnu Sirin berkata, “Di antara penyair Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Rawahah, Hassan bin Tsabit, dan Ka’ab bin Malik.”
Ada yang mengatakan bahwa ketika Nabi SAW menyiapkan tiga orang pemimpin untuk perang Mu’tah, beliau sempat berkata, “Pemimpinnya adalah Zaid. Jika dia gugur maka diganti oleh Ja’far, dan jika dia juga gugur maka diganti oleh Ibnu Rawahah.” Ketika keduanya terbunuh, Ibnu Rawahah sangat marah, ia berkata,
Aku bersumpah wahai jiwa, kau pasti memasukinya
Baik senang maupun tidak senang
Sudah lama kau merasa tenang
Tapi kenapa aku melihatmu membenci surga
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Nabi SAW pernah masuk Makkah untuk meng-qadha umrah. Pada saat itu Ibnu Rawahah yang berada di sampingnya berkata, 
Hadanglah jalan keturunan orang-orang kafir
Hari ini, kami akan menyerang kalian untuk menurunkannya
Dengan serangan yang menghilangkan kesedihan dari penderitaan
Dan membuat teman lupa kepada temannya sendiri
Setelah itu Umar berkata, “Wahai Ibnu Rawahah, di tanah kemuliaan Allah dan di sisi Rasulullah SAW engkau melantunkan syair?!” Nabi SAW bersabda, “Biarkan saja wahai Umar, karena perkataannya ini dapat menembusi tubuh mereka lebih cepat dari melesatnya anak panah.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam kekuasaan-Nya, perkataannya ini dapat menembus tubuh mereka lebih dahsyat daripada lesatan anak panah.” 
At-Tirmidzi berkata, “Diriwayatkan dalam riwayat lain bahwa Nabi SAW masuk kota Makkah pada waktu peristiwa Umratul Qadha`. Ka’ab juga berkata seperti itu.”
Dia berkata, “Riwayat ini lebih shahih menurut ulama, karena Ibnu Rawahah terbunuh saat perang Mut’ah, sedangkan peristiwa Umratul Qadha terjadi setelahnya.”
Menurut aku, pernyataan itu tidak benar, bahkan perang Mut’ah terjadi enam bulan setelah Umratul Qadha.
Abdul Aziz bin Akhul Majisyun berkata: Kami mendapat kabar bahwa Abdullah bin Rawahah mempunyai seorang budak perempuan yang dirahasiakan dari keluarganya. Pada suatu hari, istrinya melihatnya sedang berduaan dengan wanita tersebut, maka istrinya berkata, “Apakah kamu lebih memilih budak perempuanmu daripada istrimu yang merdeka?” Namun dia kemudian menyangkalnya. Sang istri lalu berkata, “Jika kamu orang yang jujur maka bacalah satu ayat Al Qur`an.”  Abdullah pun berkata,
Aku bersaksi bahwa janji Allah itu benar
Dan neraka adalah tempatnya orang-orang kafir
Mendengar itu, istrinya berkata, “Tambahlah satu ayat lagi!” Dia berkata,
Sesungguhnya Arsy itu terapung di atas air 
dan diatasnya adalah Tuhan semesta alam,
Arsy itu dibawa oleh para malaikat mulia
Malaikat Tuhan yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya
Setelah itu sang istri berkata, “Aku beriman kepada Allah dan mendustakan pandangan mataku.” Dia lalu mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan masalah itu kepada beliau hingga membuat beliau tertawa. Beliau tidak menegurnya.
--------------------
ref. siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com

Zaid bin Haritsah


Dia adalah Ibnu Syarahil atau juga dipanggil Syurhabail bin Ka’ab bin Abdul Uzza bin Imri‘ Al Qais bin Amir bin An-Nu’man. 
Dia adalah sosok pemimpin, syahid, An-Nabawi, namanya disebutkan dalam surah Al Ahzaab, Abu Usama Al Kalbi, Al Muhammadi, Sayyidul Mawali, As-Sabiquna Al Awwalun, orang yang paling dicintai dan disayangi Rasulullah SAW. Semua yang disayangi beliau pasti baik. Allah tidak pernah mencantumkan nama sahabat di dalam kitab-Nya kecuali nama Zaid bin Haristah dan Isa bin Maryam yang turun dengan membawa hukum yang adil dan bertemu dengan umat yang mulia ini dalam shalat, puasa, haji, nikah, dan semua hukum agama yang hanif. Sebagaimana Muhammad adalah pemimpin para nabi, yang paling mulia dan penutup para nabi, maka begitu juga Isa, setelah diturunkan dari langit, dia akan menjadi orang yang paling mulia di antara umatnya secara mutlak. Dia akan menjadi penuntun mereka dan tidak ada orang lain yang datang setelahnya dengan mengusung kebaikan, melainkan matahari akan terbit dari Barat dengan izin Allah yang menjadi tanda bahwa Hari Kiamat telah dekat.
Diriwayatkan dari Aslam, dari ayahnya, dia berkata, “Kami semua memanggil Zaid bin Haristah dengan Zaid bin Muhammad, maka tak lama kemudian turun firman Allah, ‘Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah’.” (Qs. Al Ahzaab [33]: 5) 
Diriwayatkan dari Abu Amr As-Syaibani, dia berkata: Jabalah bin Haristah menceritakan kepadaku, dia berkata: Aku pernah menghadap Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, utuslah saudaraku, Zaid bersamaku.” Beliau berkata, “Terserah dia, jika dia mau maka aku tidak akan melarangnya.” Zaid lalu berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak memilih orang lain kecuali dirimu.” 
Jabalah berkata, “Aku kemudian menilai bahwa pendapat saudaraku itu lebih baik daripada pendapatku.”                                           
Ibnu Ishaq dan lainnya mengatakan bahwa Zaid termasuk sahabat yang ikut dalam perang Badar.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Usamah, dari ayahnya, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Zaid bin Haritsah, 
‘Wahai Zaid, kamu adalah waliku, keluargaku, dan orang yang paling aku cintai’.” 
Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, bahwa Ibnu Umar mendengar Rasulullah SAW menyuruh Usamah menjadi pemimpin suatu kaum, tetapi orang-orang kemudian menghina kepemimpinannya, maka beliau bersabda, “Jika kalian mencela kepemimpinannya, berarti kalian telah mencela kepemimpinan ayahnya. Demi Allah, dia diciptakan untuk menjadi pemimpin. Jika dia dulu termasuk orang yang paling aku cintai, maka anaknya ini adalah orang yang paling aku cintai sesudahnya.”
Ibnu Umar berkata, “Umar memberikan kewajiban yang lebih kepada Usamah bin Zaid daripada kewajiban yang diberikan kepadaku, lalu aku mengadukan masalah itu kepadanya. Dia berkata, ‘Dia lebih dicintai Rasulullah SAW daripada kamu dan ayahnya juga orang yang lebih dicintai daripada ayahmu’.”
Perang Mut’ah terjadi pada bulan Jumadil Ula tahun 8 Hijriyah. Pada saat itu Usamah bin Zaid berusia 55 tahun.
Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, 
“Ketika aku masuk surga, ada seorang gadis yang menyambutku, dan aku bertanya, ‘Untuk siapakah kamu?’ Dia menjawab, ‘Aku milik Zaid bin Haritsah’.”
 -------------------------
ref. siyar alam an-nubala
pustakaazzam.com