Hassan bin Tsabit

Dia adalah Ibnu Al Mundzir, seorang penyair pada masa Rasulullah SAW dan sahabat.

Ibnu Sa’ad berkata, “Hasan hidup 60 tahun pada zaman jahiliyah dan 60 tahun pada zaman Islam.”

Ibnu Al Musayyib berkata: Suatu ketika Hassan berada dalam sebuah majelis yang di dalamnya ada Abu Hurairah. Hassan kemudian berkata, “Demi Allah wahai Abu Hurairah, apakah kamu pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Jawablah panggilanku, niscaya Allah akan memperkuatmu dengan malaikat Jibril?’.” Abu Hurairah menjawab, “Ya Allah, benar aku telah mendengarnya.”

Imran bin Hushain

Dia adalah Ibnu Abid, seorang imam teladan, sekaligus sahabat Rasulullah SAW, Abu Nujaid Al Khuza’i.

Dia pernah menjabat sebagai qadhi (hakim) di Bashrah dan diutus Umar ke Bashrah untuk mengajarkan agama kepada penduduknya. Al Hasan pernah bersumpah, “Orang terbaik yang pernah datang ke Bashrah untuk mereka adalah Imran bin Hushain.”

Usamah bin Zaid

Dia adalah kekasih dan maula Rasulullah SAW, serta putra maula Rasulullah SAW, Abu Zaid. 

Nabi SAW pernah menjadikannya sebagai pemimpin pasukan untuk menyerang Syam, meskipun dalam pasukan itu ada Umar dan para pembesar, dan dia hanya mau bergerak sampai Rasulullah SAW wafat. Setelah itu Abu Bakar mengirimnya untuk menyerang Balqa’.

Ar-Rahbi

Dia adalah seorang yang jenius, juga seorang ulama, pemimpin dalam ilmu medis, namanya adalah Radhi Ad-Din Yusuf bin Haidarah bin Hasan Ar-Rahbi Al Hakim.

Kedua orang tuanya adalah orang yang ahli dalam kedokteran dari penduduk Ar-Ruhbah, dia mempunyai anak yang bernama Yusuf di Al Jazirah Al Umariyah, dia tinggal di dua tempat yaitu Muddah dan Ar-Rahbah, kemudian mereka datang ke Damaskus pada tahun 555 H,

Ibnu Al Faridh

Dia adalah seorang penyair, Syarifuddin Umar bin Ali bin Mursyid Al Hamawi Al Mishri. 

Dia meninggal pada tahun 632 Hijriyah, pada usia 56 tahun.

Al Mundzir telah menceritakan, “Jika dalam qashidah tersebut tidak terdapat persatuan yang tidak ada penipuan, maka tidaklah ada di dunia ini kekufuran dan kesesatan,

As-Saif

Dia adalah seorang yang alim sekaligus pengarang, saifuddin Ali bin Abu Ali bin Muhammad bin Salim At- Taghlibi Al Amidi Al Hanbali As Syafi’i.

Dia hidup selama 50 tahun lebih.

Aku katakan, “Dia mengajar filsafat dan manthiq di Mesir pada masjid Azh-Zhafiri, dia juga mengajar di Qubbah Assyafi’i, dia mengarang beberapa buku, lalu banyak orang berdatangan kepadanya, dan menuduhnya sebagai keburukan, lalu mereka menulisnya dalam sebuah kabar mengenai hal tersebut.


Al qadhi Ibnu Khallikan berkata, “Mereka berencana membunuhnya, kemudian dia keluar secara sembunyi-sembunyi, dan tinggal di Hamah.

As-Saif meninggal pada tahun 631 Hijriyah, pada usianya yang ke-80 tahun.

Cucu Al jauzi berkata, “Tidak seorang pun pada masanya yang mendukung pendapatnya dalam masalah Ashlain (dua dasar) dan ilmu kalam, dia adalah orang yang berbelas kasih dan mudah menangis, dia tinggal di Hamah dan juga di Damaskus. Dan yang mengherankan dari cerita tentangnya adalah seekor kucing miliknya telah mati, lalu dia menguburnya di Hamah, ketika dia tinggal di damaskus, dia memindahkan tulang kucing tersebut ke kantong dan menguburnya di Qasyun.”

Cucu Al Jauzi berkata, “Seluruh keturunan Adil membencinya karena dia terkenal dengan pengetahuannya dalam mantiq, dan dia masuk pada Mu’adzom dan dia tidak bergerak (untuk menghormatinya), kemudian aku berkata, ‘Berdirilah untuk menghormatinya  sebagai penggantiku,’ lalu dia berkata, ‘Hatiku tidak dapat menerimanya’.”

Qadhi Taqiyuddin Sulaiman bin Hamzah bercerita tentang gurunya, yaitu Ibnu Abu Umar, Dia berkata, “Kita sering datang pada As-Saif, dan kami ragu, apakah dia melakukan shalat atau tidak? Lalu dia tidur, dan kami mengetahi bahwa pada kakinya terdapat tinta, dan tanda tersebut masih ada hingga dua hari, sehingga kami tahu bahwa dia tidak pernah berwudhu, kami memohon keselamatan dalam perkara agama.”

Guru kami Ibnu Taimiyah berkata, “Al Amidi telah merasa bingung dan tidak dapat berbuat apa-apa, hingga akhirnya dia bertanya pada dirinya sendiri dalam masalah tasalsul Al ilal (sebab-sebab yang bersambung), dan dia menyangka bahwa dia tidak mengetahui jawabannya dan mendasarkan adanya pencipta pada hal itu, dia tidak menetapkan dalam bukunya adanya pencipta, diciptakannya alam, keesaan Allah, kenabian, dan dasar-dasar yang fundamental besar.”

Aku katakan, “Ini menunjukkan kesempurnaan fikirannya, karena penetapan hal itu dengan nalar tidak akan berkembang, akan tetapi bisa berkembang dengan Al Qur’an dan As-Sunah, dan juga dengan apa yang menjadi tujuan Saif, dan pengetahuanya yang mencapai titik pincak, Dan orang-orang besar berdatangan pada majelisnya.”

Ibnu Khallikan berkata, “Aku mendengar Abdussalam berkata, ‘Aku tidak pernah mendengar orang mengajar yang lebih baik dari As-Saif, seakan-akan dia sedang berkhutbah, dan dia mengagungkanya’.”

sumber an-nubala