Kiai Haji Mas Mansoer

Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya25 Juni 1896 – meninggal di Surabaja, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia.
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya.
Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.

Pendidikan
Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.

Belajar di Mekkah dan Mesir
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi,Syarif Hussen, mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansoer tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.

Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek. Di samping menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.

Bergabung dengan Sarekat Islam
Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Sarekat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.

Taswir Al-Afkar
Di samping itu, Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi bersama Wahab Hasboellah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansoer dengan Abdoel Wahab Hasboellah mengenai masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansoer keluar dari Taswir al-Afkar.

Kepenulisan
Mas Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Soeara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses yang gemilang. Djinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansoer. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas Mansoer mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat diMedan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansoer juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits NabawijahSjarat Sjahnja NikahRisalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Kegiatan di Muhammadiyah
Mulai aktif di Muhammadiyah
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.

Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansoer terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisjam (Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH. Sjuja' sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansoer (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansoer menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansoer juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.

Gaya kepemimpinan
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya untuk pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji, melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansoer selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula dicatat, Mas Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.

Kegiatan politik
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu SoekarnoMohammad HattaKi Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Meninggal dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.

Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin.


Buya Hamka

Buya Hamka, Beliau adalah sejarawan,sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, aktivis politik dan seorang penulis handal. belakangan beliau diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.


Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrulloh, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Buya Hamka yang bergelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang a€“ Tanjung Sani, 12 Rabia€™ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, pernah mendapatkan anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, 1958, Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974, dan gelar Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.


Selain dikenal sebagai ulama kharismatik, Hamka juga dikenal sebagai pujangga.
Sejak usia 17 tahun, ia sudah menulis roman berjudul Siti Rabiah. Aktivitas tulis menulis itu ditentang oleh keluarganya. Namun Hamka jalan terus untuk mencari jati dirinya dan berusaha keluar dari bayangan nama besar ayahnya.

Selain itu, lanjut Habib Rizieq mengatakan, ketulusan Buya Hamka menegakan syariah dan aqidah Islam terlihat jelas dari hasil tafsir yang ditulisnya pada jilid 6, di mana beliau mengamanatkan agar hukum-hukum Islam menjadi rujukan hukum nasional di Indonesia. a€œBeliau seperti berpesan kepada pemimpin bangsa di dalam tulisannya agar tidak pernah kompromi dalam memperjuangkan kebenaran yang datang dari ajaran-ajaran Islama€.

Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Paling tidak bisa dilihat dari cara dia menyampaikan sesuatu yang selalu menempatkan hati dan pikiran dalam satu posisi yang sama berharganya. Tidak pernah dia mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Hal ini sudah ia tunjukkan dari sejak muda. Ia lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam. Hamka yang bergelar Datuk In Domo ini mengakui bahwa memang dia menjadi lebih moderat ketika usianya bertambah.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Buya Hamka berpulang ke Rahmatullah, 24 Juli 1981, telah meninggalkan warisan dan pelajaran yang sangat berharga untuk ditindak lanjuti oleh genarasi Islam, yaitu istiqamah dalam berjuang, menjaga persatuan umat dan peduli terhadap urusan kaum Muslimin.

HAMKA dilahirkan di Maninjau, Sumatra Barat, 16 Februari 1908. Ayahnya bernama H.Abdul Karim Amrulloh seorang tokoh gerakan Islam kaum muda Minangkabau. Setelah menunaikan ibadah haji, gelar religius itu disimpan di depan nama aslinya. Jadilah ia bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).

Hamka mendapat pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thowlib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki a€˜izzah, tegas dalam aqidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Beliau sangat peduli terhadap urusan umat Islam, sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah Islamiyah, menghindari perpacahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929,

Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.

Pada usia 30-an, ia tak langsung memilih menjadi ulama, meski ia sendiri termasuk muballig muda Muhammadiyah di kota Medan. Ia lebih suka bergelut di bidang jurnalistik. Bersama Abdullah Puar, pada tahun 1936 ia mendirikan majalah Pedoman Masyarakat di kota Medan. Di majalah inilah ia menulis tulisan bersambung yang di kemudian hari menjadi buku Tasawuf Modern yang terkenal itu, ia tetap saja dikenal.

Pada periode ini, tulisan Hamka yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar Mesir tahun 1958 ini sudah lebih banyak berupa kajian-kajian keIslaman yang mencakup seluruh bidang. Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.

Senada dengan itu, Ketua Front Pembela Islam Habib Riziq Shihab mengatakan, Buya Hamka dapat dijadikan contoh para ulama yang ada saat ini, seperti diketahui beliau merupakan ulama yang menjadi tuntunan bukan seperti ulama sekarang yang hanya mampu sebagai tontonan. a€œBeliau menjadikan dakwah sebagai lahan jihad, tidak seperti yang ada sekarang dakwah dijadikan lahan bisnis atau untuk memperkaya diri. Beliau tampil sebagai ulama dan juga pejuang, yang dikenal sampai ke luar negeri, a€ tegasnya.

sumber: semangatbelajar.com


Zaid bin Tsabit


cara-global.blogspot.com: Dia adalah Abu Dhahhak, seorang pemimpin besar, penulis wahyu, gurunya para pembaca Al Qur`an, ahli ilmu faraidh, mufti Madinah, Abu Sa’id dan Abu Kharijah Al Khazraji An-Najjari Al Anshari

Dia termasuk sahabat yang memiliki hujjah yang kuat. Umar bin Khaththab pernah menyerahkan urusan Madinah kepadanya jika dia menunaikan ibadah haji. Dia juga sahabat yang mengurus pembagian harta rampasan pada saat perang Yarmuk. Ayahnya terbunuh sebelum hijrah pada waktu perang Bu’ats, sehingga Zaid menjadi yatim. 


Dia termasuk anak yang cerdas, sehingga ketika Nabi SAW hijrah, Zaid masuk Islam pada saat dia baru berusia 11 tahun. 

Diriwayatkan dari Kharijah, dari ayahnya, dia berkata: Nabi SAW dibawa kepadaku saat beliau sampai di Madinah, lalu mereka berkata, “Ya Rasulullah, ini adalah anak dari keturunan bani Najjar. Dia telah membaca apa yang diturunkan kepadamu, yaitu Al Qur`an, sebanyak 17 surah.” Aku kemudian membacakannya di hadapan beliau, lalu beliau pun takjub akan hal itu, maka  beliau bersabda, “Wahai Zaid, belajarlah kitab Yahudi untukku. Demi Allah, aku tidak merasa aman jika mereka mengacaukan Kitabku.”
Aku pun mempelajarinya. Tidak sampai setengah bulan aku sudah mampu  mendalaminya. Kemudian aku menulis surat kepada Rasulullah SAW agar beliau menulis surat kepada mereka. 

Diriwayatkan dari Tsabit bin Ubaid, bahwa Zaid berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Apakah kamu bisa bahasa Suryani?” Aku menjawab, “Tidak.” Nabi SAW bersabda, “Pelajarilah!” Aku pun mempelajarinya dan sanggup menguasainya selama 17 hari.

Ubaid bin As-Sabbaq berkata: Zaid menceritakan kepadaku bahwa Abu Bakar pernah berkata kepadanya, “Kamu pemuda cerdas yang sempurna. Kamu juga telah menuliskan wahyu Rasulullah SAW dan mengikuti Al Qur`an, maka sekarang kumpulkan Al Qur`an itu!” Aku berkata, “Bagaimana mereka melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?” Dia menjawab, “Demi Allah, ini lebih baik.” 

Abu Bakar masih terus datang memintaku hingga Allah SWT membukakan hatiku seperti halnya hati Abu Bakar dan Umar yang telah dibukakan. Aku kemudian mulai melacak Al Qur`an dan mengumpulkannya, ada yang tertulis pada kulit, pelepah kurma, daun-daunan, dan dada orang-orang yang menghafalnya.

Diriwayatkan dari Anas, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Di antara umatku yang paling pandai tentang ilmu faraidh adalah Zaid bin Tsabit.”

Diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi, dia berkata, “Zaid menguasai dua perkara, yaitu Al Qur`an dan ilmu faraidh.” 
Diriwayatkan Abu Sa’id, dia berkata, “Ketika Rasulullah SAW wafat, para khatib Anshar berdiri dan berkata, ‘Seorang dari golongan kami dan seorang dari golongan kalian’. Zaid lalu berdiri dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW termasuk golongan Muhajirin dan kami adalah penolongnya, maka sebaiknya yang menjadi pemimpin adalah golongan Muhajirin dan kami penolongnya’. Abu Bakar kemudian menjawab, ‘Terima kasih wahai sekalian kaum Anshar, tepat sekali ucapanmu itu. Seandainya kamu mengatakan yang lain maka kami tidak akan berdamai dengan kalian’.”

Kharijah bin Zaid berkata, “Sejak Umar menjadi pengganti Ayahku, aku memetikkan buah kurma dari kebun untuknya ketika ia datang.”

Diriwayatkan dari Abu Salamah, bahwa Ibnu Abbas menghampiri Zaid bin Tsabit dengan kendaraannya, kemudian memboncengnya, seraya berkata, “Paculah wahai putra paman Rasulullah!” Dia berkata, “Seperti inilah yang dilakukan oleh para ulama dan pembesar kita.” 

Diriwayatkan dari Az-Zuhri, dia berkata: Kami mendapat berita bahwa jika Zaid ditanya tentang sesuatu maka dia menjawab, “Apakah ini sudah terjadi?” Jika mereka menjawab, “Ya,” maka dia akan menjelaskan sesuatu yang diketahuinya. Jika mereka menjawab, “Tidak,” maka dia berkata, “Tunggulah sampai itu terjadi.” 

Diriwayatkan dari Tsabit bin Ubaid, dia berkata, “Zaid bin Tsabit adalah orang yang paling lucu dan paling pendiam di keluarganya menurut para kaum.”

Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, dia berkata, “Ketika Zaid bin Tsabit keluar hendak menunaikan shalat Jum’at, dia bertemu dengan orang yang kembali ke rumah masing-masing, maka dia berkata kepada mereka, ‘Orang yang tidak malu kepada manusia adalah orang yang tidak malu kepada Allah’.”

Diriwayatkan dari Amar bin Abu Amar, dia berkata, “Ketika Zaid meninggal, kami duduk bersama Ibnu Abbas di bawah pohon yang teduh, dia berkata, ‘Seperti inilah kepergian ulama, dan pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak’.”

Diriwayatkan dari Makhul, dia berkata, “Ubadah bin Ash-Shamit menyuruh seorang nabthi untuk memegang kendaraannya ketika di Baitul Maqdis, tetapi dia enggan, maka dia memukul dan melukainya. Umar lalu menengahinya seraya berkata, ‘Apa yang mendorongmu melakukan perbuatan ini?’ Dia menjawab, ‘Aku menyuruhnya dan dia tidak mau, sampai aku jengkel’. Mendengar itu, Umar berkata, ‘Duduklah kamu untuk dihukum qishash’. Zaid berkata, ‘Apakah kamu lebih membela budakmu daripada saudara laki-lakimu sendiri?’ Umar kemudian tidak jadi memukulnya, tetapi membayar diyat untuknya.”

Di antara kemuliaan Zaid adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq sangat mengandalkannya dalam penulisan Al Qur`an yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran lalu mengumpulkannya dari mulut-mulut para pembesar, kulit, dan pelepah daun kurma. Mereka berusaha menjaga lembaran-lembaran tersebut sejenak di rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Kemudian diserahkan kepada Umar Al Faruq, lalu diserahkan kepada Ummul Mukminin Hafshah. Setelah itu Utsman menganjurkan kepada Zaid dan seorang pria Quraisy untuk menulis mushaf Utsmani, yang pada saat ini di dunia telah diperbanyak, yang jumlahnya lebih dari satu juta mushaf, dan tidak ada kitab selain itu di tangan umat Islam. Segala puji bagi Allah.
Zaid meninggal tahun 45 Hijriyah, dalam usia 56 tahun.  

sumber: an-nubala

Abdullah bin Sallam


cara-global.blogspot.com: Dia adalah putra Al Harits, seorang imam terkemuka dan terkenal sebagai sahabat yang dijamin masuk surga. Abu Al Harits adalah keturunan bani Israil, sekutu orang Anshar, dan termasuk sahabat Rasulullah SAW yang spesial.

Menurut informasi yang sampai kepada kami, dia termasuk sahabat yang ikut dalam penaklukkan Baitul Maqdis.


Dia masuk Islam ketika Nabi SAW hijrah dan datang ke Madinah.

Ibnu Sa’ad berkata, “Dia termasuk keturunan Yusuf bin Ya’qub AS, dan dia sekutu bani Qawaqalah.” 
Dia masuk Islam sejak lama, yaitu setelah Nabi SAW datang ke Madinah. Dulunya dia pendeta Yahudi.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Sallam, dia berkata, “Ketika Nabi SAW datang ke Madinah, orang-orang mengerumuninya, sedangkan aku termasuk salah satunya. Ketika aku melihat beliau, aku melihat wajah beliau, bukan wajah seorang pendusta. Ajaran pertama yang aku dengar dari beliau adalah sabda beliau, 

“Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makanan (kepada orang lain), sambunglah tali persaudaraan, shalatlah pada waktu malam ketika orang-orang tertidur nyenyak, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.”

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Abdullah bin Sallam pernah datang menemui Nabi SAW saat beliau datang ke Madinah, dia berkata, ‘Aku ingin mengajukan tiga pertanyaan kepadamu yang hanya diketahui oleh seorang Nabi. Apa tanda-tanda Hari Kiamat? Makanan apa yang pertama kali dimakan penghuni surga? Dari mana anak menyerupai ibunya?’

Nabi SAW bersabda, ‘Jibril tadi memberitahukan kepadaku tentang hal itu’. Abdullah berkata, ‘Itu adalah musuh orang Yahudi dari kalangan malaikat’. Nabi SAW kemudian bersabda, ‘Tanda (syarat) terjadinya Hari Kiamat adalah munculnya api dari arah Timur, sehingga orang-orang berkumpul di arah Barat. Sedangkan sesuatu yang pertama kali dimakan penghuni surga adalah minyak ikan. Adapun masalah kemiripan, jika air mani laki-laki lebih dominan, maka anaknya akan memiliki kemiripan dengan ayahnya, dan jika air (mani) ibu lebih dominan daripada air mani suaminya, maka anaknya akan memiliki kemiripan dengan ibunya’. Abdullah bin Sallam berkata, ‘Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.’

Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi itu kaum yang bengis, sehingga jika mereka tahu keislamanku maka mereka akan mencelakaiku. Oleh karena itu, utuslah seseorang kepada mereka lalu tanyailah mereka tentangku’.

Rasulullah SAW kemudian mengutus seseorang kepada mereka. Utusan itu berkata, ‘Siapa Ibnu Salam itu di tengah-tengah kalian?’ Mereka menjawab, ‘Dia pendeta kami dan anak pendeta kami, orang alim kami dan anak orang alim kami’. Utusan itu berkata, ‘Apakah jika dia masuk Islam maka kalian juga akan masuk Islam?’ Mereka menjawab, ‘Kami berlindung kepada tuhan jika itu terjadi’. Lalu keluarlah Abdullah, dia berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah’. Mendengar itu, mereka berkata, ‘Dia orang terburuk kami, anak orang terburuk kami. Dia orang terbodoh kami dan anak orang terbodoh kami’. Ibnu Salam berkata, ‘Ya Rasulullah, bukankah aku telah memberitahukan kepadamu bahwa mereka adalah kaum yang bengal?’.”

Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, dia berkata: Aku tidak pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada seseorang bahwa dia termasuk ahli surga kecuali kepada Abdullah bin Sallam, yang karenanya diturunkan firman Allah SWT, 

“Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur`an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur`an lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim’.” (Qs. Al Ahqaaf [46]: 10)

Diriwayatkan dari beberapa jalur periwayatan, bahwa Abdullah bin Sallam pernah bermimpi, lalu dia menceritakan mimpi tersebut kepada Nabi SAW hingga beliau bersabda kepadanya, “Kamu akan meninggal dengan berpegang kepada tali yang kuat.” Sanadnya kuat.

Diriwayatkan dari Yazid bin Amirah Az-Zubaidi, dia berkata: Menjelang wafatnya Mu’adz bin Jabal, ada yang berkata kepadanya, “Berwasiatlah kepada kami wahai Abu Abdurrahman!” Dia berkata, “Carilah ilmu kepada Abu Ad-Darda`, Salman, Ibnu Mas’ud, dan Abdullah bin Sallam yang masuk Islam, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya dia orang kesepuluh dari sepuluh orang yang masuk surga’.”

Di antara orang yang mempunyai ilmu ahlul kitab, seperti yang dikatakan Mujahid, adalah Abdullah bin Sallam. 

Dia meninggal tahun 43 Hijriyah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Sallam, dia berkata: Kami duduk-duduk bersama para sahabat, lalu kami saling mengingatkan, “Seandainya kami mengetahui amal yang paling dicintai Allah, niscaya kami akan melaksanakannya.” Kemudian turunlah firman Allah SWT, 

“Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” (Qs. Ash-Shaff [61]: 1-2) hingga akhir surah ini. 

Abdullah berkata, “Rasulullah SAW lalu membacakannya kepada kami hingga akhir surah.”

sumber: an-nubala

Abu Ayub Al Anshari


cara-global.blogspot.com: Dia adalah Abu Ayub Al Anshari Al Khazraji, An-Najjari dan Al Badri.
Nama aslinya adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib.

Dia seorang pemimpin besar yang diutus oleh Nabi SAW secara khusus untuk singgah di bani Najjar hingga dibangunkan untuknya kamar untuk Ummul Mukminin Saudah dan sebuah masjid yang mulia. 


Diriwayatkan dari Ayub, dari Muhammad, dia berkata, “Ayub ikut serta dalam perang Badar, kemudian tidak pernah tertinggal dalam peperangan yang lain kecuali selama satu tahun. Dia telah dijadikan sebagai pemimpin tentara sejak berusia muda. Dia kemudian merasa tidak enak lalu berkata, ‘Tidak apa-apa bagiku jika ada yang ingin menggantiku’. Setelah itu dia sakit, lalu kepemimpinan dipegang oleh Yazid bin Mu’awiyah. Yazid menjenguknya seraya berkata, ‘Apakah kamu punya keinginan?’ Abu Ayub menjawab, ‘Ya, jika aku mati maka bawalah aku ke negeri musuh jika kamu bisa. Jika tidak bisa maka kuburlah aku kemudian pulanglah’.

Setelah dia wafat Yazid membawanya ke negeri musuh kemudian menguburnya. Dia berkata, ‘Allah SWT berfirman, انْفِرُوْا خِفَافًا وَثِقَالاً “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat”. (Qs. At-Taubah [9]: 41) Jadi, tidak ada jalan lain, aku harus berangkat, walaupun terasa berat’.”

Al Waqidi berkata, “Abu Ayub meninggal ketika Yazid berperang pada masa kekhalifahan ayahnya, melawan Konstantinopel.” 

Aku mendapat berita bahwa orang-orang Romawi sangat mengagungkan kuburannya, mengunjunginya, dan meminta hujan kepadanya. Hal itu diceritakan oleh Urwah dan sekelompok jamaah di negeri Badar.
Ibnu Ishaq berkata, “Abu Ayub ikut dalam bai’at Aqabah yang kedua.”

Al Khathib berkata, “Dia ikut memerangi orang-orang Khawarij bersama Ali.”
Diriwayatkan dari Abu Ruhm, ia berkata: Abu Ayub pernah bercerita kepadanya, bahwa Rasulullah SAW pernah singgah di rumahku bagian bawah, sedangkan aku berada di dalam kamar, lalu aku menuangkan air di dalam kamar, setelah itu aku dan Ibnu Ayub keluar dengan membawa selimut kami dan juga air, lalu kami turun. Aku lalu berkata, “Ya Rasulullah, tidak sepantasnya kami berada di atasmu, pindahlah ke kamar.” Beliau kemudian mengambil perbekalannya —yang ketika itu hanya sedikit— lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika engkau mendapat kiriman makanan, maka aku memperhatikannya. Kemudian jika aku melihat bekas jarimu, aku pun meletakkan tanganku ke dalamnya.”

Diriwayatkan dari Salim, dia berkata, “Aku menikah, lalu Ayahku mengundang orang-orang, yang di antara mereka ada Abu Ayub. Mereka kemudian menutup rumahku dengan kain penghalang berwarna hijau. Tak lama kemudian datang Abu Ayub sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu dia melihat ternyata rumah tertutup. Dia berkata, ‘Wahai Abdullah, apakah kalian yang menutupi dinding?’ Ayahku menjawab sambil tersipu malu, ‘Kami dikalahkan oleh wanita-wanita wahai Abu Ayub’. Dia berkata, ‘Siapa yang aku takutkan untuk dikalahkan wanita maka aku tidak menjamin mereka tidak mengalahkanmu. Aku tidak akan masuk rumahmu dan tidak akan memakan makananmu’.”

Diriwayatkan dari Habib bin Abu Tsabit, bahwa Abu Ayub pernah menghadap Ibnu Abbas di Bashrah, lalu dia mengosongkan rumahnya, kemudian berkata, “Aku akan memperlakukanmu sebagaimana kamu memperlakukan Rasulullah SAW, berapa utangmu?” Dia menjawab, “Dua puluh ribu.” Dia pun memberinya empat puluh ribu, dua puluh budak, dan perabotan rumah tangga.
Abu Ayub wafat tahun 52 Hijriyah.

sumber: an-nubala