Abu Musa Al Asy’ari


cara-global.blogspot.com: Dia bernama Abdullah bin Qais bin Sulaim.
Dia dikenal sebagai imam besar, sahabat Rasulullah SAW, dan ahli ilmu fikih yang mengajarkan Al Qur`an. 
Dia termasuk sahabat yang berguru kepada Nabi SAW, mengajar penduduk Bashrah membaca Al Qur an, dan memahamkan agama kepada mereka.


Dalam kitab Shahihain disebutkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Burdah bin Abu Musa, dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, 

“Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah dia pada Hari Kiamat nanti di tempat yang mulia.”
Nabi SAW telah mengangkat Abdullah bin Qais dan Mu’adz sebagai Gubernur Zabid dan Adn.

Abu Musa Al Asy’ari juga pernah menjadi Gubernur Kufah dan Bashrah pada masa pemerintahan Umar. Dia ikut menghadapi malam-malam pembebasan perang Khaibar, berperang dan berjuang bersama Nabi SAW, serta menimba banyak ilmu dari beliau.

Sa’id bin Abdul Aziz berkata: Abu Yusuf, sekertaris Mu’awiyah, bercerita kepadaku bahwa Abu Musa Al Asy’ari pernah menghadap Mu’awiyah, lalu dia singgah di beberapa rumah di Damaskus. Pada malam harinya Mu’awiyah keluar untuk mendengarkan bacaannya.

Al Ijli berkata, “Umar pernah mengirim Abu Musa sebagai pemimpin Bashrah. Dia kemudian mengajari penduduk Bashrah membaca Al Qur`an dan memahamkan agama kepada mereka. Dia juga sahabat yang membebaskan kota Tustar.181 Tidak ada seorang sahabat pun yang suaranya lebih bagus darinya.”

Husain Al Muallim berkata: Aku mendengar Ibnu Buraidah berkata, “Al Asy’ari orangnya pendek, berjenggot tipis, dan gesit.”

Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata, “Kami pernah keluar dari Yaman bersama 50 lebih kaumku. Sedangkan kami adalah tiga bersaudara, yaitu aku (Abu Musa), Abu Ruhm, dan Abu Amir. Perahu lalu membawa kami ke Najasyi, ternyata di sana ada Ja’far serta sahabat-sahabatnya. Dia lantas menyambut kami ketika penaklukkan kota Khaibar. Setelah itu Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian telah hijrah dua kali, yaitu hijrah ke Najasyi dan kepadaku’.”

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Besok sekelompok orang akan datang menemui kalian. Hati mereka lebih halus kepada Islam daripada kalian’. Orang-orang Asy’ari pun menyambut mereka, lalu mereka melantunkan syair,

Besok kami bertemu kekasih 
Muhammad dan golongannya.

Ketika mereka bertemu, mereka saling berjabat tangan, sehingga mulai sejak itu Sunnah berjabat tangan berlaku.”

Diriwayatkan dari Iyadh Al Asy’ari, dia berkata: Ketika ayat   “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ….” (Qs. Al Maa`idah [5]: 57) turun, Nabi SAW bersabda, “Mereka adalah kaummu wahai Abu Musa.” Beliau kemudian memberikan isyarat kepadanya.

Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata, “Ketika Rasulullah SAW pulang dari perang Hunain, beliau mengutus Abu Amir Al Asy’ari untuk mempimpin pasukan menuju Authas.182 Dia kemudian bertemu dengan Duraid bin Ash-Shimmah, lalu dia membunuhnya. Setelah itu Allah mengalahkan sahabat-sahabatnya. Tiba-tiba ada seorang pria menembak lutut Abu Amir dengan panah, namun dia berusaha untuk bertahan. Aku lalu bertanya, ‘Wahai Paman, siapa yang memanahmu?’ Dia lalu menunjuk kepada laki-laki tersebut. Aku pun segera mengejarnya. Ketika melihatku, dia melarikan diri, maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah kamu tidak malu? Bukankah kamu orang Arab? Apakah kamu tidak berani?’ Dia menjawab, ‘Cukup!’ Akhirnya aku dan dia bertempur dan saling menghantam, hingga akhirnya aku berhasil membunuhnya. 

Setelah itu aku kembali ke Abu Amir. Aku lalu berkata, ‘Sungguh, Allah telah membunuh orang yang melukaimu’. Dia berkata, ‘Cabutlah anak panah ini!’ Aku pun mengambilnya dan darah mengucur deras dari lukanya. Dia lantas berkata, ‘Wahai anak pamanku, pergilah menemui Rasulullah SAW dan sampaikan salamku kepada beliau. Katakan kepada beliau agar memintakan ampun untukku!’ 
Selanjutnya Abu Amir memintaku agar menggantinya sebagai pemimpin pasukan. 

Setelah itu Abu Amir bertahan sebentar, lalu meninggal dunia. Ketika kami menghadap dan mengabarkan berita itu kepada Nabi SAW, beliau berwudhu kemudian mengangkat kedua tangannya dan berdoa, ‘Ya Allah, ampunilah hambamu, Abu Amir!’ sampai-sampai aku melihat kedua ketiak beliau yang putih. Beliau kemudian berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah dia pada Hari Kiamat kelak berada di atas makhluk-makhlukmu’. Kemudian aku berkata, ‘Untukku juga ya Rasulullah?’ Nabi SAW lantas menjawab, ‘Ya Allah, ampunilah dosa-dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah dia ke dalam golongan orang-orang yang mulia’.”

Diriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata: Ketika aku bersama Rasulullah SAW di Ji’ranah, datanglah seorang pria Arab lalu berkata, “Tidakkah engkau ingin menepati janji kepadaku?” Rasulullah SAW menjawab, “Bergembiralah!” Dia berkata, “Engkau telah banyak memberi kabar gembira.” Mendengar itu, beliau menatapku dan Bilal, lalu bersabda, “Sesungguhnya pria ini telah menolak kabar gembira, maka terimalah kalian berdua.”  Keduanya lalu berkata, “Kami terima ya Rasulullah.” Setelah itu beliau menyuruh mengambil seember air, lalu beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya, lantas bersabda, “Minumlah air ini lalu tumpahkan ke atas kepala dan di sebelah atas dada kalian.”  Mereka berdua pun melaksanakannya. 
Ummu Salamah kemudian memanggil mereka dari balik kain penghalang agar sudi menyisakan air tersebut kepadanya. Mereka berdua pun menyisakannya untuknya.

Diriwayatkan dari Abu Buraidah, dari ayahnya, dia berkata, “Pada suatu malam ketika aku keluar dari masjid, aku melihat Nabi SAW berdiri di pintu masjid. Ketika ada seorang pria yang sedang shalat, beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Buraidah, apakah engkau melihat pria itu berbuat riya?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Tetapi dia orang yang beriman dan bertobat. Allah telah memberinya suara yang bagus seperti suara Nabi Daud’. Setelah itu aku mendatanginya, ternyata dia Abu Musa. Aku lalu memberitahukan apa yang disampaikan Nabi SAW tentang dirinya.”

Diriwayatkan dari Malik bin Mighwal: Ibnu Buraidah menceritakan kepadaku dari ayahnya, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah SAW datang ke masjid saat aku sedang berada di pintu masjid. Beliau kemudian menggaet tanganku dan mengajak masuk masjid. Ternyata di dalamnya ada seorang pria yang sedang shalat dan berdoa, dia berkata,   ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, bahwa aku bersaksi Engkau adalah Allah, tidak ada tuhan selain Engkau yang Maha Esa, Tuhan tempat segala sesuatu bergantung, yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.’  Mendengar itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, dia telah meminta kepada Allah dengan menyebut nama-Nya yang agung. Dzat yang jika diminta akan memberi dan jika berdoa kepada-Nya akan mengabulkan’.

Ketika pria itu membaca Al Qur`an, beliau bersabda, ‘Sungguh, lelaki ini telah diberi suara yang bagus seperti suara Nabi Daud’. Aku lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberitahukan dirinya tentang hal ini?’ Beliau menjawab, ‘Boleh.’  Aku pun memberitahukan hal itu kepadanya. Dia lantas berkata kepadaku, ‘Engkau tetap akan menjadi temanku’. Ternyata dia Abu Musa.”

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Pada suatu malam Abu Musa membaca Al Qur`an, hingga istri-istri Nabi SAW terbangun, lalu mereka mendengarkan bacaannya. Ketika tiba waktu Subuh, dia diberitahu tentang hal itu, maka Abu Musa berkata, ‘Andaikan aku tahu maka aku pasti lebih memperindahnya sehingga membuat pendengarnya semakin merindukan bacaanku’.”

Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata, “Kami pernah datang menemui Ali lalu bertanya tentang sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW, dia berkata, ‘Siapa saja yang ingin kalian tanyakan kepadaku?’ Kami menjawab, ‘Tentang Ibnu Mas’ud’. Dia berkata, ‘Dia memahami Al Qur`an dan Sunnah sampai selesai dan ilmunya cukup mendalam’. Aku lalu bertanya, ‘Bagaimana dengan Abu Musa?’ Dia menjawab, ‘Dia orang yang kuat agamanya, kemudian meninggal dalam keadaan seperti itu’. Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Hudzaifah?’ Dia menjawab, ‘Dia sahabat yang paling tahu tentang orang-orang munafik’. Mereka lanjut bertanya, ‘Bagaiman dengan Salman?’ Dia menjawab, ‘Dia sahabat yang memahami ilmu dunia dan akhirat. Dia bagaikan lautan yang dasarnya tidak bisa digapai. Dia termasuk golongan Ahlul Bait’. Mereka bertanya lagi, ‘Bagaimana dengan Abu Dzar?’ Dia menjawab, ‘Dia orang yang menyadari ilmu yang tidak mampu dikuasainya’. Setelah itu dia ditanya tentang dirinya sendiri, lalu dia berkata, ‘Aku orang yang jika meminta akan diberi dan jika diam akan disapa (ditegur)’.”

Masruq berkata, “Hakim di kalangan sahabat ada enam, yaitu Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubai, Zaid, dan Abu Musa.”

Diriwayatkan dari Sufyan bin Sulaim, dia berkata, “Tidak ada seorang sahabat pun yang berani berfatwa di masjid pada zaman Rasulullah SAW selain beberapa orang, yaitu Umar, Ali, Mu’adz, dan Abu Musa.”
Diriwayatkan dari Ayub, dari Muhammad, dari Umar, dia berkata, “Di Syam ada 40 lelaki, yang apabila salah seorang dari merekan diserahkan urusan umat maka dia pasti bisa menjalankannya dengan baik. Oleh karena itu, diutuslah seorang delegasi kepada mereka. Tak lama kemudian sekelompok orang datang bersama Abu Musa. Lalu Umar berkata, ‘Aku mengirimmu kepada kaum yang syetan telah bermarkas di tengah-tengah mereka’. Abu Musa lalu menjawab, ‘Jangan mengutusku!’ Umar berkata, ‘Tapi di dalamnya ada jihad dan ribath’. Umar pun mengirimnya ke Bashrah.”

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Suatu ketika Al Asy’ari mengutusku menemui Umar, lalu Umar berkata kepadaku, ‘Bagaimana keadaan Al Asy’ari ketika kamu meninggalkannya?’ Aku menjawab, ‘Aku meninggalkannya ketika dia sedang mengajar Al Qur`an kepada orang-orang’. Setelah itu Umar berkata, ‘Memang dia sungguh cerdas! Kamu tidak perlu menyampaikan hal ini kepadanya’.”

Diriwayatkan dari Abu Salamah, dia berkata, “Ketika Umar duduk di samping Abu Musa, dia berkata kepada Abu Musa, ‘Ingatkanlah kami wahai Abu Musa!’ Abu Musa pun membacakan Al Qur`an kepadanya.”

Abu Ustman An-Nahdi berkata, “Aku tidak pernah mendengar seruling, tamborin, atau simbol yang lebih bagus daripada suara Abu Musa Al Asy’ari. Jika dia shalat bersama kami maka kami akan mengangguk-angguk karena suaranya yang sangat bagus ketika membaca surah Al Baqarah.”

Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata, “Kami pernah keluar bersama Abu Musa dalam sebuah pertempuran. Menjelang malam kami masih berada di medan perang. Kemudian Abu Musa melaksanakan shalat, ia melantunkan bacaan dengan suara yang bagus. Dia berdoa, ‘Ya Allah, Engkau yang mengaruniakan keamanan, menyukai orang-orang beriman, Engkau Maha Memelihara, menyukai orang yang memelihara, Engkau Maha Sejahtera menyukai kesejahteraan’.”

Shalih bin Musa Ath-Thalhah meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, “Sebelum Al Asy’ari meninggal, dia telah melakukan ijtihad sekuat tenaga. Kemudian ada yang berkata kepadanya, ‘Alangkah baiknya jika engkau tidak terlalu memaksakan diri dan menyayangi diri sendiri?’ Dia menjawab, ‘Jika seekor kuda dikendarai dan sudah mendekati finish, maka dia akan mengeluarkan seluruh kemampuannya. Sementara sisa umurku lebih sedikit dari itu’.”

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Abu Musa mempunyai celana yang selalu dipakainya karena takut auratnya tersingkap.”

Yang pasti, orang-orang sesat dari kelompok Syi’ah sangat membenci Abu Musa karena dia tidak ikut berperang bersama Ali. Kemudian ketika Ali menetapkan hukum tahkim pada dirinya, untuk mencopot dirinya dari kekhalifahan, dan juga Mu’awiyah, dia bahkan menyarankan agar mengangkat Ibnu Umar. Akan tetapi situasi tidak mendukung.

Diriwayatkan dari Abu Musa, dia mengatakan bahwa Mu’awiyah pernah menulis surat kepadanya, dia berkata, “Amma ba’du, sungguh Amr bin Al Ash telah membai’atku seperti yang aku inginkan, dan jika kamu membai’atku sebagaimana halnya dia membai’atku, maka aku akan mengangkat salah seorang putramu sebagai pejabat di Kufah, sedangkan yang lain di Bashrah. Pintu akan selalu terbuka untukmu dan semua kebutuhanmu akan tercukupi. Aku juga telah menulis surat ini dengan tulisanku sendiri, maka tulislah kepadaku dengan tulisanmu sendiri.”

Abu Musa lalu membalas surat tersebut yang isinya, “Amma ba’du, engkau telah menulis surat kepadaku dalam masalah umat yang sangat penting, tapi apa yang akan aku katakan kepada Tuhanku saat aku menghadap-Nya? Aku tidak membutuhkan tawaranmu. Wassalam alaika.”

Abu Burdah berkata, “Ketika Mu’awiah menjabat sebagai khalifah, aku mendatanginya. Ketika itu pintunya tidak pernah terkunci bagiku dan jika aku mempunyai hajat, dia selalu dicukupi.”

Menurut aku, Abu Musa adalah sosok sahabat yang suka berpuasa, bangun malam, rabbani, ahli zahud, ahli ibadah, orang yang memadukan antara ilmu, amal, dan jihad, hatinya tulus, tidak tergoda dengan kekuasaan, dan tidak tertipu oleh dunia.

Beliau meninggal tahun 42 Hijriyah.

Diriwayatkan dari Abu Nadhrah, dia berkata: Umar pernah berkata kepada Abu Musa, “Kami rindu kepada Tuhan kami.” Dia lalu membaca Al Qur`an. Mereka berkata, “Mari shalat!” Dia menjawab, “Apakah kita tidak dalam keadaan shalat?”

Az-Zubair bin Al Khirrit meriwayatkan dari Abu Labid, dia berkata, “Bagi kami, perkataan Abu Musa bagaikan penjagal yang tidak pernah keliru membidik leher hewan yang akan disembelihnya.”

Diriwayatkan dari Abu Amr dan Asy-Syaibani, keduanya berkata, “Abu Musa berkata, ‘Jika hidungku dipenuhi dengan bau mulutku maka itu lebih aku sukai daripada dipenuhi dengan parfum wanita.”

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin maula Ummu Burtsin, dia berkata, “Abu Musa Al Asy’ari dan Ziyad pernah menghadap Umar RA, lalu dia melihat di tangan Ziyad ada sebuah cincin emas, maka dia berkata, ‘Apakah kamu memakai cincin Emas? Adapun aku, cukup memakai cincin besi’. Umar berkata, ‘Itu lebih jelek atau lebih buruk. Barangsiapa memakai cincin maka dia hendaknya memakai cincin dari perak’.”

Abu Burdah berkata: Ayahku berkata, “Berilah aku segala sesuatu yang kamu tulis.” Dia lalu menghapusnya, kemudian berkata, ‘Hafalkan seperti yang aku hafal’.”

Diriwayatkan dari Al Hasan, dia berkata, “Ada dua pemimpin, yaitu Abu Musa dan Amr, yang satu mencari dunia, sedangkan yang satunya lagi mencari akhirat.”

Diriwayatkan dari Abu Mijlaz, dia mengatakan bahwa Abu Musa pernah berkata, “Aku pernah mandi di rumah yang gelap, lalu aku menutupi punggungku karena malu kepada Tuhanku.”

sumber: an-nubala

Haritsah bin An-Nu’man


cara-global.blogspot.com: Dia bernama Ibnu Naf’in Al Khazraji An-Najjari.

Dia termasuk pejuang perang Badar dan perang-perang lainnya. Kami tidak tahu apakah dia meriwayatkan hadits atau tidak, namun yang jelas dia sahabat yang gemar memberi utang dan dermawan, serta berbakti kepada ibunya.


Diriwayatkan dari Haritsah, dia berkata, “Semasa hidupku aku pernah melihat Jibril 2 kali. Pertama saat perang Shaurain,178 ketika Rasulullah SAW keluar ke bani Quraizhah. Jibril melewati kami dalam wujud seorang komandan pasukan, kemudian memerintah kami untuk membawa senjata. Kedua saat penguburan jenazah, ketika kami kembali dari perang Hunain. Aku lewat saat Jibril sedang berbicara dengan Nabi SAW, sehingga aku tidak mengucapkan salam. Ketika Jibril berkata, ‘Siapa ini Muhammad?’ Nabi menjawab, ‘Dia Haristah bin An-Nu’man’. Jibril berkata, ‘Sesungguhnya dia termasuk 100 orang yang sabar dalam perang Hunain yang rezekinya ditanggung Allah di surga. Seandainya dia tadi mengucapkan salam  maka aku pasti menjawabnya’.” 

Haristah hidup sampai masa kekuasaan Mu’awiyah.

Haristah adalah sahabat yang pernah diceritakan Rasulullah SAW, “Ketika aku masuk surga, aku mendengar seseorang membaca Al Qur`an, maka aku bertanya, ‘Siapa itu?’ Ada yang menjawab, ‘Haristah’.”
Nabi SAW kemudian berkata, “Semua itu terjadi karena baktinya.” 
Itu karena dia dikenal sangat berbakti kepada ibunya. 

sumber: an-nubala

Hudzaifah bin Al Yaman


cara-global.blogspot.com: Dia salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal cerdas dan penyimpan rahasia.175
Dia bernama asli Hisl —ada pula yang mengatakan Husail— Ibnu Jabir Al Abasi Al Yamani, Abu Abdullah. 
Dia sekutu kaum Anshar dan termasuk tokoh kaum Muhajirin.

Dikarenakan ayahnya (Hisl) pernah menumpahkan darah kaumnya, maka dia lari ke Madinah dan bersekutu dengan bani Abdul Asyhal. Setelah itu kaumnya menyebutnya Al Yaman lantaran persekutuannya dengan kaum Yaman, padahal mereka orang-orang Anshar.


Dia dan putranya —yaitu Hudzaifah— ikut perang Uhud dan mati syahid pada hari itu. Dia dibunuh oleh sebagian sahabat karena faktor kesalahpahaman, sementara dia sendiri tidak mengetahuinya, karena pasukan bersembunyi di medan peperangan dan mereka menutup wajah mereka. Jika mereka tidak mempunyai tanda yang jelas, bisa-bisa dia dibunuh saudaranya sendiri dan tidak merasa.

Ketika mereka menolong Al Yaman, tiba-tiba Hudzaifah berteriak, “Ayah! Ayah! Wahai kaumku!” Dia dibunuh secara tidak disengaja, maka Hudzaifah mengeluarkan uang untuk membayar diyatnya. 

Diriwayatkan dari Abu Yahya, dia berkata, “Seorang pria pernah bertanya kepada Hudzaifah saat aku berada di sampingnya, ‘Apakah kemunafikan itu?’ Dia menjawab, ‘Jika kamu berbicara tentang Islam tetapi kamu tidak mengamalkannya’.”

Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa Umar pernah menulis surat yang isinya menitahkan Hudzaifah untuk menjadi wali di Mada‘in, Umar berkata, “Dengarkan dan taatilah dia, serta berilah jika dia meminta kepada kalian.” 

Setelah itu dia keluar dari hadapan Umar dengan mengendarai keledai yang kurus, sambil membawa bekal di bawahnya. Ketika sampai, orang-orang Dahaqin menyambutnya, sementara dia hanya membawa roti dan sepotong daging di tangannya.

Hudzaifah dipercaya memimpin Mada‘in. Dia menetap di Mada‘in sampai terbunuhnya Utsman, lalu wafat 40 hari setelah peristiwa terbunuhnya Utsman.

Hudzaifah berkata, “Ketika tidak ada hal yang menghalangiku untuk turut dalam perang Badar, maka aku dan Bapakku keluar. Orang-orang kafir Quraisy ketika menghadang kami berkata, ‘Apakah kalian ingin bergabung dengan Muhammad?’ Kami menjawab, ‘Kami tidak menginginkan apa pun kecuali Madinah.’ Mereka kemudian mengambil janji kami, bahwa kami boleh pergi ke Madinah tetapi tidak boleh berperang bersama Nabi SAW. Setelah itu kami memberitahukan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, ‘Kita akan memenuhi janji mereka dan meminta pertolongan kepada Allah, semoga Dia memberikan kemenangan kepada kita’.”

Nabi SAW pernah membisikkan nama-nama orang munafik kepada Hudzaifah dan fitnah-fitnah yang akan mereka lakukan kepada umat.

Hudzaifah adalah sahabat yang diutus Rasulullah SAW pada malam perang Ahzab untuk menyelidiki kondisi musuh, dan ditangannya kota Dainawar ditaklukkan. 
Dia memiliki banyak keistimewaan. Semoga Allah meridhainya.

Hudzaifah pernah berkata, “Nabi Muhammad SAW menarik lenganku lantas bersabda, ‘Cara menggunakan sarung itu seperti ini, jika tidak mau maka turunkan sedikit, jika tidak mau maka tidak ada hak bagi sarung di bawah mata kaki’.” 
Dalam redaksi lain disebutkan, “Sarung tidak boleh diturunkan melebihi mata kaki.”

Diriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa Abu Idris memberitahukan kepadaku bahwa Hudzaifah berkata, “Demi Allah, aku orang yang paling tahu tentang fitnah yang terjadi antara waktu aku hidup sampai Hari Kiamat.” 
Hudzaifah berkata, “Orang-orang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan karena aku takut keburukan itu akan menimpaku.”

Diriwayatkan dari Hudzaifah, dia berkata, “Ketika Rasulullah SAW bermukim bersama kami, beliau bercerita tentang hal-hal yang akan terjadi sampai Hari Kiamat, maka orang-orang yang menjaganya akan menjaganya dan orang-orang yang melupakannya akan lupa.”

Menurut aku, Nabi SAW pernah berbicara secara pelan dan menafsirkan ucapan beliau. Seandainya beliau menjelaskan dalam majelisnya itu, maka ucapan beliau tidak mungkin cukup dirangkum dalam sebuah bagian. Lalu beliau menyebutkan kejadian yang paling besar yang seandainya kejadian itu terjadi, maka waktu satu tahun, bahkan bertahun-tahun, tidak akan cukup untuk membicarakannya. Renungkanlah hal itu!
Hudzaifah wafat di kota Mada‘in pada tahun 36 Hijriyah, saat sudah lanjut usia.

Diriwayatkan dari Abu Ashim Al Ghathafani, dia berkata, “Hudzaifah masih selalu meriwayatkan sebuah hadits hingga yang lain merasa ngeri. Lalu ada yang bertanya kepadanya, ‘Engkau ingin menyampaikan kepada kami bahwa akan ada penitisan pada kami!’ Beliau menjawab, ‘Ya, pada diri kalian ada titisan, yaitu kera dan babi’.”

Diriwayatkan dari Bilal bin Yahya, dia berkata: Aku memperoleh berita bahwa Hudzaifah pernah berkata, “Tidak seorang sahabat pun yang mengalami peristiwa itu kecuali akan menjual sebagian agamanya dengan yang lain.” Mereka berkata, “Engkau sendiri?” Dia menjawab, “Demi Allah, aku akan masuk kepada salah satu dari mereka —tidak ada seorang pun kecuali pada dirinya terdapat kebaikan dan kejelekan— lalu aku menyebut kebaikan-kebaikannya dan menghindari yang lain. Apabila seseorang dari mereka mengundangku makan maka aku menjawab, ‘Aku berpuasa’, padahal aku tidak berpuasa.”

Diriwayatkan dari Al Hasan, dia berkata: Ketika ajal menjemput Hudzaifah, dia sempat berkata, “Kekasih akan datang ketika dibutuhkan, tidak beruntung orang yang menyesal! Bukankah setelahku adalah sesuatu yang aku ketahui? Segala puji bagi Allah yang telah melewatkan fitnah-fitnah dariku! Menuntunnya dan menyelesaikannya.”

Diriwayatkan dari An-Nazzal bin Sabrah, dia berkata: Aku pernah bertanya kepada Abu Mas’ud Al Anshari, “Apa yang diucapkan Hudzaifah menjelang ajalnya?” Dia menjawab, “Menjelang Subuh dia mengucapkan, ‘Aku berlindung kepada Allah dari pagi sampai siang’, sebanyak tiga kali. Kemudian dia berkata, ‘Belilah dua baju berwarna putih untukku, karena keduanya tidak akan meninggalkanku kecuali sebentar, kemudian diganti dengan yang lebih bagus, atau justru dirampas dengan cara yang tidak bagus’.”

sumber: an-nubala

An-Nu’man bin Muqarrin


cara-global.blogspot.com: Dia adalah Abu Hakim Al Muzani Al Amir, sahabat Rasulullah SAW.

Dia adalah pembawa panji kaumnya pada saat penaklukkan Makkah, kemudian menjadi panglima pasukan ketika menaklukkan Nahawan.

Dia adalah sahabat yang doanya dikabulkan, sampai-sampai Umar memperkenalkannya di atas mimbar kepada kaum muslim, hingga dia menangis.
Dia terbunuh tahun 21 Hijriyah, pada hari Jum’at.


Ashim bin Kulaib Al Jarmi berkata: Ayahku menceritakan kepadaku bahwa dia pernah terlambat mengirim kabar tentang Nahawan dan Ibnu Muqarrin kepada Umar. Ketika itu dia ingin meminta bantuan, sedangkan orang-orang —yang meminta bantuan itu— mengira tujuan mereka meminta bantuan tidak lain untuk menyerang Nahawan dan Ibnu Muqarrin, maka datanglah seorang pria Arab dari kalangan Muhajirin. Tatkala sampai di Baqi’, dia berkata, “Berita apa yang telah sampai kepada kalian tentang Nahawan?” Mereka menjawab, “Apa itu?” Dia berkata, “Tidak ada apa-apa.” Umar lalu mengirim seorang utusan kepadanya, dia mendatanginya lantas berkata, “Aku telah menemukan keluargaku hijrah hingga kami datang ke tempat ini dan itu. Ketika kami melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ada muncul seorang penunggang unta merah yang belum pernah aku lihat. Aku kemudian bertanya, “Wahai Abdullah, dari mana kamu?” Dia menjawab, “Dari Irak.” Aku lalu bertanya, “Bagaimana berita orang-orang?” Dia menjawab, “Orang-orang berperang di Nahawand dan Allah menaklukkannya. Ibnu Muqarrin terbunuh. Demi Allah, aku tidak tahu jenis manusia macam apa dia? Aku juga tidak tahu bagaimana Nahawand?” Dia berkata, “Tahukah kamu hari apa itu?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Tetapi aku tahu, kembalilah ke rumahmu!”

Dia berkata, “Kami kemudian singgah di suatu tempat, kemudian melanjutkan perjalanan, lalu singgah di rumah ini hingga kembali.” Umar berkata, “Tepatnya itu pada hari ini dan ini. Semoga kamu bertemu dengan salah seorang utusan jin, karena mereka mempunyai utusan. Setelah itu segala sesuatunya berjalan normal. Tak lama kemudian datanglah berita yang mengatakan bahwa mereka telah bertemu dalam peperangan pada hari itu.”

sumber: an-nubala

Abu Ad-Darda’


cara-global.blogspot.com: Dia adalah Abu Ad-Darda` Uwaimir bin Zaid bin Qais Al Anshari Al Khazraji.
Dia seorang pemimpin teladan, hakim Damaskus, sahabat Rasulullah SAW, hakim umat ini, dan penghulu para pembaca Al Qur`an di Damaskus. 

Beliau termasuk sahabat yang berguru kepada Nabi SAW dan belum pernah ada berita yang menyatakan bahwa dia berguru kepada orang lain. Selain itu, beliau termasuk salah sahabat yang mengumpulkan Al Qur`an pada masa Rasulullah SAW. Dia juga pernah mengajar membaca bagi penduduk Damaskus pada masa kekhalifahan Utsman dan masa sebelumnya, kemudian menutup usianya tiga tahun sebelum Utsman. 


Diriwayatkan dari Khaitsamah, dia berkata: Abu Ad-Darda` pernah berkata, “Sebelum Rasulullah SAW diutus sebagai nabi, aku seorang pedagang. Ketika Islam datang, aku berusaha menyatukan antara berdagang dengan ibadah, tetapi keduanya tidak bisa disatukan, maka aku meninggalkan perdagangan dan lebih mementingkan ibadah.” 

Menurut aku, yang lebih baik adalah mengumpulkan keduanya dengan jihad. Itulah yang dikatakannya dan itulah jalan yang ditempuh oleh para salaf dan sufi. Tidak diragukan lagi, tabiat manusia berbeda-beda dalam hal ini, ada yang mampu mengumpulkan keduanya (seperti Ash-Shiddiq, Abdurrahman bin Auf, dan Ibnu Al Mubarak), dan ada pula yang tidak mampu menggabungkan keduanya. Bahkan ada yang mampu pada awalnya tapi kemudian melemah, atau sebaliknya. Semua itu diperbolehkan selama tidak sampai melalaikan hak istri dan keluarga. 

Abu Az-Zahiriyah berkata, “Abu Ad-Darda` adalah salah satu sahabat Anshar yang terakhir masuk Islam. Dulu dia penyembah berhala, tetapi kemudian Ibnu Rawahah dan Muhammad bin Maslamah memasuki rumahnya lalu menghancurkan berhalanya. Setelah itu dia kembali dan mengumpulkan berhala-berhala itu seraya berkata, “Celakalah kamu, mengapa tidak kau larang! Mengapa kamu tidak bisa membela dirimu sendiri!” Ummu Ad-Darda` lalu berkata, “Seandainya dia bisa memberi manfaat atau membela seseorang, tentu dia bisa mempertahankan dirinya sendiri dan dapat memberi manfaat.” Abu Ad-Darda` lantas berkata, “Siapkan air untukku di tempat mandi!” Kemudian dia mandi, memakai pakaian, lalu pergi menemui Rasulullah SAW dan bertemu dengan Ibnu Rawahah yang menyambutnya, lantas berkata, “Ya Rasulullah, ini Abu Ad-Darda`. Aku tidak melihatnya kecuali dia ingin mencari kita?” Rasulullah SAW bersabda, “Dia datang untuk masuk Islam. Sesungguhnya Tuhanku berjanji kepadaku bahwa Abu Ad-Darda` akan masuk Islam.” 

Diriwayatkan dari Makhul, bahwa para sahabat berkata, “Orang yang paling kasih di antara kami adalah Abu Bakar, orang yang paling pandai bicaranya adalah Umar, orang yang paling dipercaya di antara kami adalah Abu Ubaidah, orang yang paling tahu tentang halal dan haram di antara kami adalah Mu’adz, orang yang paling bagus bacaannya di antara kami adalah Ubai, orang yang paling banyak ilmunya di antara kami adalah Ibnu Mas’ud, dan Uwaimir Abu Ad-Darda` mengikuti mereka dalam sisi kecerdasan akal.” 
Ibnu Ishaq berkata, “Para sahabat berkata, ‘Kami mengikuti ilmu dan amal Abu Ad-Darda`’.” 

Aun bin Abu Juhaifah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW mempersaudarakan Salman dengan Abu Ad-Darda`, kemudian Salman mengunjunginya, ternyata Ummu Ad-Darda` terlihat mengenakan pakaian lusuh. Salman pun bertanya, “Ada apa denganmu?” Ummu Ad-Darda` menjawab, “Saudaramu itu tidak lagi membutuhkan kehidupan dunia, pada malam hari  dia hanya beribadah dan pada siang hari dia berpuasa.” 

Tak lama kemudian Abu Ad-Darda` datang menyambutnya. Dia lalu menyuguhkan makanan kepada Salman. Salman berkata kepadanya, “Makanlah!” Abu Ad-Darda` menjawab, “Aku sedang berpuasa.” Salman berkata, “Aku bersumpah atasmu agar kamu berbuka.” Abu Ad-Darda` pun makan bersamanya. Salman kemudian menginap di rumahnya. Ketika malam tiba, Abu Ad-Darda` ingin bangun, maka Salman mencegahnya dengan berkata, “Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu, Tuhanmu mempunyai hak atas dirimu, dan keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Berpuasalah dan berbukalah, shalatlah, dan datangilah istrimu. Penuhilah hak setiap yang mempunyai hak.” 

Ketika Subuh menjelang, Salman berkata, “Sekarang bangunlah sekehendakmu.” Mereka berdua kemudian bangun, berwudhu, lalu keluar untuk melaksanakan shalat. Setelah selesai shalat, Abu Ad-Darda` memberitahu perkataan Salman tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau lalu bersabda, “Wahai Abu Ad-Darda`, sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak atas dirimu, sebagaimana yang dikatakan Salman kepadamu.” 

Khalid bin Ma’dan mengatakan bahwa Ibnu Umar pernah berkata, “Mereka menceritakan kepada kami tentang dua orang yang berakal.” Khalid bertanya, “Siapakah dua orang yang berakal itu?” Ibnu Umar menjawab, “Mu’adz dan Abu Ad-Darda`.” 

Diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, dia berkata, “Ada lima sahabat pengumpul Al Qur`an, yaitu Mu’adz, Ubadah bin Ash-Shamit, Abu Ad-Darda`, Ubai, dan Ayub. Pada zaman Khalifah Umar, Yazid bin Abu Sufyan menulis surat kepada Umar bahwa penduduk Syam sangat banyak, sampai-sampai memenuhi setiap sudut kota, sehingga dibutuhkan orang untuk mengajarkan Al Qur`an serta agama kepada mereka. Oleh karena itu, bantulah dengan mengirim orang-orang yang bisa mengajari mereka Al Qur`an. 

Umar kemudian memanggil kelima orang tersebut, lalu berkata, “Saudaramu minta tolong kepadaku agar dicarikan orang yang dapat mengajarkan Al Qur`an dan memberikan pemahaman agama kepada mereka, maka tolonglah aku meskipun hanya tiga orang dari kalian. Itu pun jika kalian bersedia. Jika ada tiga orang dari kalian tertarik dengan tawaran ini, maka pergilah!” Kemudian mereka berkata, “Kami tidak bisa pergi semua, karena Abu Ayub sudah berusia lanjut, sedangkan ini —Ubai— sedang sakit.” 
Akhirnya Mu’adz, Ubadah, dan Abu Ad-Darda` yang berangkat ke sana. 

Umar berpesan, “Mulailah dari Himsh, kalian akan menjumpai tipe manusia yang beragam. Di antara mereka ada yang cerdas. Apabila kalian melihat hal itu maka arahkanlah penduduknya untuk belajar kepadanya, dan jika kalian merasa mereka sudah mampu, maka salah satu dari kalian harus tinggal di Himsh, lalu satunya lagi pergi ke Damaskus, dan yang satunya lagi ke Palestina.” 

Muhammad bin Ka’ab berkata, “Mereka kemudian pergi ke Himsh. Ketika mereka merasa penduduknya telah mampu ditinggalkan, Ubadah bin Ash-Shamit tinggal bersama mereka, sedangkan Abu Ad-Darda` pergi ke Damaskus, dan Mu’adz pergi ke Palestina hingga kemudian dia meninggal dunia karena terkena wabah pes. Setelah itu Ubadah pergi ke Palestina, lalu meninggal di sana. Abu Ad-Darda` sendiri menetap di Damaskus hingga akhirnya menutup usia di sana. 

Diriwayatkan dari Abu Laila, dia berkata: Abu Ad-Darda` pernah menulis surat kepada Maslamah bin Mukhalladah, “Semoga keselamatan senantiasa tercurah atas dirimu. Ammaba’du. Apabila seorang hamba melakukan maksiat kepada Allah, maka dia akan dibenci oleh Allah, dan apabila dia telah dibenci Allah, maka dia akan dibenci hamba-hamba-Nya.” 

Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda`, dia berkata, “Aku telah memerintahkan kalian suatu perkara yang aku sendiri tidak melaksanakannya, tetapi semoga Allah mengganjariku.” 

Diriwayatkan dari Muslim bin Misykam, bahwa Abu Ad-Darda` berkata kepadaku, “Hitunglah orang yang ada di majelis kita.” Aku menjawab, “Jumlah mereka kurang lebih 1600 orang.” Mereka belajar membaca dan mereka berlomba-lomba sepuluh orang-sepuluh orang. Setelah shalat Subuh, dia mengerjakan shalat sunah lalu membaca satu juz. Mereka mengelilinginya untuk mendengarkan lafazh-lafazhnya. Ketika itu Ibnu Amir berada di depan mereka. 

Hisyam bin Ammar berkata: Yazid bin Malik  menceritakan kepada kami dari ayahnya, dia berkata, “Suatu ketika setelah Abu Ad-Darda` melaksanakan shalat, mengajarkan bacaan Al Qur`an, dan membacanya sendiri, dia bangkit dan bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah ada walimah atau aqiqah yang akan kita hadiri?’ Jika mereka menjawab ya, maka dia saat itu tidak akan berpuasa, tetapi jika mereka menjawab tidak, maka dia akan berkata, ‘Ya Allah, aku sedang berpuasa’. Dialah orang pertama yang membuat halaqah171 untuk belajar membaca Al Qur`an.” 

Diriwayatkan dari Yazid bin Mu’awiyah, dia berkata, “Abu Ad-Darda` adalah seorang ahli fikih yang dapat mengobati penyakit.” 

Diriwayatkan dari Salim bin Abu Ja’d, bahwa Abu Ad-Darda` pernah berkata, “Mengapa aku melihat ulama kalian pergi (meninggal) tetapi orang-orang bodoh di antara kalian tidak belajar? Belajarlah, karena orang yang berilmu dan orang yang mencari ilmu bersekutu dalam pahala.” 

Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, bahwa Abu Ad-Darda` pernah berkata, “Orang yang tidak mengetahui itu celaka satu kali, sedangkan orang yang tahu namun tidak mengamalkan, celaka tujuh kali.” 
Diriwayatkan dari Aun bin Abdullah, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ummu Ad-Darda`, ‘Ibadah apa yang paling banyak dilakukan Abu Ad-Darda`?’ Dia menjawab, ‘Tafakkur dan i’tibar (mengambil pelajaran)’.” 

Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda`, dia berkata, “Bertafakkur satu jam lebih baik daripada bangun malam.” 
Diriwayatkan dari Ibnu Halyas, bahwa Abu Ad-Darda` —yang tidak henti-hentinya berdzikir— pernah ditanya, “Berapa kali engkau bertasbih setiap hari?” Dia menjawab, “Seratus ribu kali, kecuali jari-jariku salah.” 

Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata, “Ketika Abu Ad-Darda` memasak menggunakan periuknya, tiba-tiba aku mendengar suara seperti isak tangis anak kecil dalam periuk itu. Kemudian ketika periuk itu kering lalu dikembalikan ke tempatnya, tidak ada sedikit air pun di dalamnya. Abu Ad-Darda` lantas memanggil, ‘Wahai Salman, lihatlah apa yang kamu dan bapakmu belum pernah lihat!’ Salman kemudian berkata kepadanya, ‘Jika engkau diam, niscaya engkau akan mendengar ayat-ayat Tuhanmu yang agung’.”

Diriwayatkan dari Bilal bin Sa’ad, bahwa Abu Ad-Darda` pernah berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari hati yang bercabang.” Kemudian ada yang bertanya, “Apa maksud dari hati yang bercabang?” Dia menjawab, “Harta disediakan untukku di setiap lembah.”

Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda`, dia berkata, “Kalau tidak karena tiga hal, aku tidak senang hidup, yaitu menahan dahaga pada siang hari yang panas, sujud pada waktu malam, dan berkumpul dengan orang-orang yang membicarakan hal-hal yang baik, sebagaimana baiknya buah yang sedang ranum.”

Huraiz bin Utsman berkata: Ketika Rasyid bin Sa’id berbincang-bincang dengan kami, dia berkata, “Seorang laki-laki pernah datang menemui kepada Abu Ad-Darda`, kemudian dia berkata, ‘Berilah wasiat kepadaku!’ Abu Ad-Darda` berkata, ‘Ingatlah Allah baik pada waktu gembira maupun sedih. Jika kamu ingat orang-orang yang meninggal, maka jadikanlah dirimu seakan-akan salah satu dari mereka, dan ketika dirimu memuliakan kehidupan dunia, maka lihatlah kepada akhir tempat kembalinya’.”

Diriwayatkan dari Abdullan bin Murrah, bahwa Abu Ad-Darda` berkata, “Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, anggaplah dirimu termasuk orang-orang yang telah mati, jauhilah doa orang yang teraniaya, dan ingatlah bahwa nikmat sedikit yang membuat dirimu merasa cukup, lebih baik daripada nikmat yang banyak tapi menyebabkan dirimu lupa daratan, karena kebaikan tidak akan binasa dan dosa tidak akan dilupakan.”

Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda`, dia berkata, “Jauhilah doa orang yang teraniaya, karena doa mereka naik kepada Allah seperti kilatan cahaya.”

Diriwayatkan dari Lukman bin Amir, bahwa Abu Ad-Darda` pernah berkata, “Orang-orang kaya makan, kita juga makan, mereka minum, kita juga minum, mereka memakai baju, kita juga memakai baju, mereka naik kendaraan, kita juga naik kendaraan, mereka mempunyai harta yang lebih yang mereka lihat, kita pun juga bisa melihatnya bersama mereka, namun mereka akan dihisab karena harta tersebut, sedangkan kita bebas dari tanggung jawab tersebut.”

Diriwayatkan dari Ibnu Jubair, dari ayahnya, dia berkata, “Ketika Cyprus ditaklukkan, seorang tawanan lewat di depan Abu Ad-Darda`. Tiba-tiba Abu Ad-Darda` menangis, maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah kamu menangis pada saat seperti ini, yang Allah memuliakan agama Islam dan pengikutnya?’ Dia menjawab, ‘Wahai Jubair, umat ini menjadi rendah dan hina jika mereka durhaka kepada Allah, sehingga seperti yang kamu lihat, mereka menjadi umat yang paling hina karena mereka berbuat maksiat kepada Allah’.”

Diriwayatkan dari Ummu Ad-Darda`, dia berkata: Abu Ad-Darda` memiliki 360 kekasih karena Allah yang senantiasa ia doakan pada saat shalat. Aku lalu bertanya kepadanya mengenai hal itu, kemudian Abu Ad-Darda` menjawab, “Setiap kali seorang hamba mendoakan saudaranya yang sedang tidak berada di hadapannya, maka Allah akan mewakilkan dua malaikat kepadanya, lantas berkata, ‘Kamu juga memperoleh hal yang sama.’ Tentunya, aku senang jika malaikat mendoakanku?”

Ummu Ad-Darda` berkata, “Menjelang ajalnya, Abu Ad-Darda` sempat berkata, ‘Siapa yang telah beramal untuk menghadapi hari seperti hari yang aku hadapi ini? Siapa yang telah beramal untuk menghadapi tidur seperti tidur yang aku alami ini?’.”

Abu Ad-Darda` wafat pada tahun 32 Hijriyah.
Ketika Na’yu bin Mas’ud datang menemui Abu Ad-Darda`, dia berkata, “Tidak ada orang yang dapat menyamai Abu Ad-Darda`.”

Ada yang mengatakan bahwa jumlah orang yang belajar di majelis Abu Ad-Darda` lebih dari seribu orang, dan setiap sepuluh orang saling mengajarkan kepada yang lain. Abu Ad-Darda` berkeliling di antara mereka sambil berdiri. Apabila salah seorang di antara mereka ada yang hendak menetapkan suatu hukum, maka dia meminta pendapat Abu Ad-Darda`, lalu dia menjelaskan permasalahan itu kepadanya.”

Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda`, dia berkata, “Orang yang sering mengingat mati, maka rasa senang dan dengkinya menjadi berkurang.”

sumber: an-nubala

Sahal bin Hunaif


cara-global.blogspot.com: Dia adalah Abu Tsabit Al Anshari, Al Ausi, Al Aufi. 
Dia termasuk pejuang perang Badar dan perang-perang lainnya. 
Dia salah seorang amir Ali. 
Dia meninggal di Kufah pada tahun 38 Hijriyah dan jasadnya dishalati oleh Ali. 


Diriwayatkan dari Abu Umamah bin Sah, dia berkata: Amir bin Rabi’ah melihat Sahal bin Hunaif, kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu seperti hari ini dan tidak pula anak gadis yang belum menikah!” Tiba-tiba Sahal jatuh pingsan. Lalu dia didatangi Rasulullah SAW. Kemudian ada yang berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang Sahal? Demi Allah, dia tidak bisa mengangkat kepalanya.” Beliau bersabda, “Apakah kalian bisa memperkirakan siapa pelakunya?” Mereka menjawab, “Kami mengira Amir bin Rabi’ah.” Beliau pun memanggilnya, lalu marah kepadanya seraya berkata, “Mengapa salah seorang di antara kamu membunuh saudaranya sendiri? Maukah kamu memberikan berkah kepadanya? Mandilah dan berikan bekas air mandimu kepadanya.” 

Dia kemudian membasuh wajahnya, kedua tangannya, kedua sikunya, ujung kedua kakinya, lalu bagian dalam sarungnya168 dalam satu wadah, kemudian ketika disiramkan kepadanya Sahal bangun dan sadarkan diri. 

Abu Syuraih mengatakan bahwa Sahal bin Umamah telah mendengar pembicaraan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasululllah SAW  bersabda, “Janganlah kamu memberatkan dirimu sendiri, karena sesungguhnya kebinasaan kaum sebelummu dikarenakan mereka cenderung memberatkan diri sendiri dan kamu akan menjumpai sisa-sisa mereka berada di dalam shauma’ah dan biara-biara.” 
Rasulullah SAW juga sempat mempersaudarakan Ali dengan Sahal. 

Abu Janab berkata, “Aku mendengar Umar bin Said berkata, ‘Ali menshalati Sahal, lalu dia bertakbir lima kali’. Mereka berkata, ‘Apa ini?’ Ali menjawab, ‘Ahli Badar lebih utama dari yang lain, maka aku ingin menunjukkan kepada kalian tentang keutamaannya’.” 

sumber: an-nubala

Ummu Haram


cara-global.blogspot.com: Dia adalah putri Milhan bin Khalid bin Zaid, saudara perempuan Ummu Sulaim, bibi Anas bin Malik, dan istri Ubadah bin Ash-Shamit.

Dia termasuk wanita yang berkedudukan tinggi.
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah mengunjungi kami saat tidak ada seorang pun kecuali aku, Ibuku dan bibiku, Ummu Haram. Beliau bersabda, ‘Berdirilah, aku ingin shalat bersama kalian’. Beliau pun shalat bersama kami di luar waktu shalat’.”


Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Ummu Haram binti Milhan menceritakan kepadaku, bahwa suatu hari Rasulullah SAW tidur siang di rumahnya, lalu beliau bangun lantas tertawa. Aku kemudian bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa?’ Beliau menjawab, ‘Telah diperlihatkan kepadaku segolongan umatku berjalan di permukaan laut seperti raja-raja di atas ranjang!’ Aku berkata lagi, ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar aku termasuk salah satu di antara mereka!’ Beliau lalu bersabda, ‘Engkau termasuk orang-orang yang pertama’. 

Setelah itu dia dinikahi oleh Ubadah bin Ash-Shamit, lalu dia mengajak Ummu Haram ikut berperang dengan naik perahu dan Ubadah mengajaknya. Ketika mereka kembali, dia ditawari seekor baghal. Dia pun menaikinya lalu berusaha mengendalikannya hingga terjatuh yang mengakibatkan lehernya patah, lalu akhirnya meninggal.” 

Menurut aku, ada yang mengatakan bahwa perang itu dikenal dengan perang Cyprus, yang terjadi pada masa Khalifah Utsman. Menurut informasi yang sampai kepadaku, makam Ummu Haram sering dikunjungi oleh orang-orang Eropa. 

sumber: an-nubala

Ummu Hani`


cara-global.blogspot.com: Sayyidah fadhilah Ummu Hani` adalah putri Abu Thalib, paman Rasulullah, keturunan bani Hasyim dari Makkah, saudara perempuan Ali dan Ja’far. 

Dia berada di bawah kekuasaan Hubairah bin Amr bin A’id Al Makhzumi, lalu dia melarikan diri ke Nigeria pada saat penaklukkan Makkah. 


Di antara putra-putra Ummu Hani` adalah Umar bin Hubairah, Ja’dah, Hani`, dan Yusuf. Ummu Hani` masuk Islam pada saat penaklukkan Makkah dan dia masih hidup hingga lima tahun setelah masuk Islam. 

Diriwayatkan dari Abu An-Nadhr, pembantu Umar bin Ubaidullah, bahwa Abu Murrah, pembantu Ummu Hani`, memberi kabar kepadanya bahwa Abu Murrah mendengar Ummu Hani` berkata, “Pada waktu penaklukkan Makkah, aku menemui Rasulullah SAW saat beliau sedang mandi dan Fatimah menutupinya dengan baju. Aku mengucapkan salam, lalu beliau berkata, ‘Siapa itu?’ Aku menjawab, ‘Aku Ummu Hani`, putri Abu Thalib.’ Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Selamat datang Ummu Hani`’. Setelah selesai mandi, beliau melaksanakan shalat 8 rakaat dengan diselimuti satu baju. Setelah itu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, anak laki-laki Ibuku, yakni Ali, mengatakan bahwa dia telah membunuh seorang pria yang telah aku beri hadiah, yaitu fulan bin Hubairah’. Mendengar itu, beliau bersabda, ‘Kami pun telah memberi hadiah kepada orang yang kamu beri hadiah itu wahai Ummu Hani`, yaitu Dhuha’.” 

Ada yang mengatakan bahwa ketika Ummu Hani` bercerai dari Hubairah lantaran dia masuk Islam, Rasulullah SAW lalu melamarnya. Kemudian dia berkata, “Aku sebenarnya wanita yang memiliki anak kecil.”163 Namun beliau bisa memahaminya. 

sumber: an-nubala

Ummu Sulaim Al Ghumaisha’


cara-global.blogspot.com: Dia dipanggil dengan sebutan Rumaisha‘ binti Milhan bin Khalid bin Zaid Al Anshari Al Khazraji. 
Dia ibu dari pelayan Rasulullah SAW yang bernama Anas bin Malik.  
Dia wanita mulia yang pernah menyaksikan perang Hunain dan Uhud. 
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Ummu Sulaim membuat pisau besar pada saat perang Hunain, maka Abu Thalhah berkata, ‘Ya Rasulullah, Ummu Sulaim membawa sebilah pisau’. Mendengar itu, Ummu Sulaim berkata, ‘Apabila orang musyrik mendekatiku maka akan aku belah perutnya’.” 


Diriwayatkan dari Ishaq bin Abdullah, dari neneknya, bahwa Ummu Sulaim berkata: Setelah Ummu Sulaim beriman kepada Rasulullah SAW, Abu Yunus datang menemuiku. Abu Yunus kemudian berkata, “Apakah engkau pindah agama?” Ummu Sulaim menjawab, “Aku tidak pindah agama tetapi aku beriman!” Dia kemudian mengajarkan kepada Anas seraya berkata, “Katakanlah, tidak ada tuhan selain Allah. Katakanlah juga, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!” Abu Yunus pun melakukannya. Kemudian ayahnya berkata kepada Ummu Sulaim, “Engkau jangan menyesatkan Anakku!” Ummu Sulaim menjawab, “Aku tidak menyesatkannya.” 

Setelah itu Malik berperang lalu bertemu musuhnya, hingga akhirnya berhasil membunuhnya. Ummu Sulaim kemudian berkata, “Hebat, aku tidak menyapih Anas sampai dia tidak mau menyusu sendiri, dan aku tidak akan menikah hingga Anas menyuruhku.” 

Ummu Sulaim lalu dilamar Abu Thalhah yang pada saat itu masih musyrik, namun Ummu Sulaim menolaknya. 
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Ketika Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, Ummu Sulaim berkata, ‘Sesungguhnya aku tidak akan menikah dengan orang musyrik! Tahukah kamu wahai Abu Thalhah, tuhanmu dipahat oleh budak bani fulan dan seandainya kalian menyalakan api untuk membakar patung tersebut, dia akan terbakar?’ Abu Thalhah pun pulang dengan hati yang mengganjal. Setelah itu Abu Thalhah mendatanginya lagi dan berkata, ‘Yang engkau tawarkan kepadaku telah aku terima’. Selanjutnya mahar yang ditetapkan Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah adalah masuk Islam.” 

Al Jarud berkata: Anas bin Malik menceritakan kepada kami bahwa Nabi SAW  pernah mengunjungi Ummu Sulaim, lalu Ummu Sulaim menyuguhi sesuatu yang dibuatnya sendiri untuk beliau. Saat itu adik laki-lakiku yang bergelar Abu Umair mengunjungi kami, beliau lantas berkata, “Mengapa Abu Umair terlihat sedih?” Ummu Sulaim menjawab, “Burung kecilnya yang biasa menjadi teman bermainnya, mati.” Rasulullah SAW kemudian mengusap kepalanya seraya bersabda, “Wahai Abu Umair, tidak perlu menyesali sesuatu yang kecil!” 

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim. Ketika beliau ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, ‘Aku mengasihinya karena saudaranya terbunuh bersamaku’.” 

Menurut aku, saudaranya itu adalah Haram bin Milhan, seorang syahid, yang pada waktu terjadinya peristiwa sumur Ma’unah berkata, “Demi Allah, aku telah memperoleh keberuntungan!” Ketika dia ditikam dari belakang, tombak itu menembus hingga dadanya. 

Diriwayatkan dari Ummu Sulaim, dia berkata, “Suatu ketika Rasulullah SAW tidur siang di rumahku, dan ketika itu aku menghamparkan tikar dari kulit untuk beliau. Beliau kemudian tidur di atasnya hingga berkeringat. Lalu akan mengambil botol minyak wangi, lantas membasuh keringat itu dengannya.” 

Ibnu Sirin berkata, “Aku meminta sedikit wewangian yang dicampur keringat beliau kepada Ummu Sulaim, lalu dia memberikan sebagian darinya kepadaku.” 

Ayub berkata, “Aku pernah meminta wewangian kepada Muhammad, kemudian dia memberiku sebagian, dan sekarang wewangian itu ada padaku.” 

Dia berkata, “Ketika Muhammad meninggal, beliau dilumuri dengan wewangian itu.” 
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Rasulullah SAW pernah datang ke rumah Ummu Sulaim saat sebuah guci sedang tergantung. Rasulullah SAW kemudian minum dari guci tersebut sambil berdiri, maka Ummu Sulaim berdiri menuju mulut guci itu lalu memotongnya.” 

Diriwayatkan dari Ubaidullah bin Umar, dia berkata, “Dia lalu memegang di bekas mulutnya.”
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata, “Ketika Rasulullah SAW ingin mencukur rambutnya di Mina, Abu Thalhah mengambil beberapa helai rambut beliau, kemudian diberikan kepada Ummu Sulaim, dan dia pun meletakkannya di dalam botol wewangian miliknya.” 

Ummu Sulaim berkata, “Rasulullah SAW pernah tidur siang di rumahku di atas tikar. Saat tidur, beliau banyak mengeluarkan keringat, maka aku memeras keringat tersebut lantas memasukkannya ke dalam botol. Setelah itu beliau bangun, kemudian bersabda, ‘Apa yang kamu lakukan?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin mencampur keringatmu dengan minyak wangiku’.” 

Diriwayatkan dari Anas, dia berkata: Rasulullah SAW  bersabda, “Aku bermimpi masuk surga. Lalu aku mendengar bunyi di depanku, dan ketika aku terjaga, ternyata aku berada di tempat Ghumaisha` binti Milhan.”

Humaid berkata: Anas berkata, “Anak laki-laki Ummu Sulaim sakit keras, kemudian Abu Thalhah pergi ke masjid, setelah itu anak tersebut meninggal. Lalu Ummu Sulaim membereskannya dan berkata, ‘Jangan memberitahukan dirinya!’ Ketika Abu Thalhah pulang, Ummu Sulaim telah mempersiapkan makan malamnya, dan dia pun makan malam. Setelah itu bergaul (bersetubuh) dengannya. Ketika akhir malam, Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau memperhatikan keluarga Abu fulan yang meminjam itu, kemudian pinjaman itu diminta lagi dari mereka tetapi mereka enggan mengembalikannya?’ Abu Thalhah menjawab, ‘Mereka tidak ikhlas’. Ummu Sulaim lalu berkata, ‘Anakmu sebenarnya adalah pinjaman dari Allah, dan Dia telah mengambilnya”. Mendengar itu, dia pun membaca, ‘Innaa lillaahi wa inaa ilaihi raaji’un’, lalu memuji Allah. Keesokan harinya Abu Thalhah menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, ‘Semoga Allah memberkati malam kalian berdua.’ 

Setelah itu Ummu Sulaim mengandung Abdullah bin Abu Thalhah lalu melahirkannya pada malam hari. Dia lantas menyuruhku membawa anak itu kepada Rasulullah SAW, dan tak lupa membawa kurma Ajwah. Aku kemudian membawanya menemui Rasulullah SAW. Pada saat itu beliau sedang mengurus unta-untanya dan memberinya tanda. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, malam ini Ummu Sulaim melahirkan’. Rasulullah SAW pun mengunyah beberapa biji kurma, lalu menyuapkannya kepada bayi itu dan bayi itu pun menelannya. Setelah itu Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang Anshar paling menyukai kurma’. Aku lalu berkata, ‘Berilah dia nama ya Rasulullah!’ Beliau bersabda, ‘Abdullah’.” 

Diriwayatkan dari Abayah bin Rifa’ah, dia berkata, “Ummu Anas berada di bawah Abu Thalhah (bersenggama). Setelah itu dia menceritakannya kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, ‘Ya Allah, berkatilah malam mereka berdua’.” 

Abayah berkata, “Aku telah melihat orang itu mempunyai tujuh anak yang semuanya berhasil mengkhatamkan Al Qur`an.” 

sumber: siyar alam an-nubala

Barirah Maula Aisyah Ummul Mukminin


Barirah Maula Aisyah Ummul Mukminin

cara-global.blogspot.com: Aisyah berkata, “Ketika Barirah dimerdekakan dan keluarga Barirah mensyaratkan perwalian, Rasulullah SAW berdiri dan bersabda, ‘Mengapa suatu kaum mensyaratkan hal yang tidak terdapat dalam Al Qur`an? Barangsiapa membuat syarat yang tidak terdapat dalam Al Qur`an, maka dia orang yang batil, walaupun dia menetapkan seratus syarat, karena syarat Allah lebih benar dan kuat’.” 


Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Suami Barirah adalah budak hitam yang bernama Mughits. Nabi SAW lalu menetapkan untuk Barirah empat ketetapan: wali-walinya mensyaratkan kepemilikan, maka Rasulullah SAW memberikan keputusan bahwa kepemilikan adalah bagi orang yang memerdekakan. Dia diberi pilihan lalu dia memilih dirinya. Kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya menyelesaikan iddah-nya. Aku lalu melihat Rasulullah SAW mengantarkan Barirah di beberapa sudut jalan Madinah, sementara beliau menangisinya. 

Ibnu Abbas berkata, “Barirah diberi beberapa sedekah, lalu dia menghadiahkan sebagian sedekah itu kepada Aisyah. Setelah itu ketika masalah tersebut diceritakan kepada Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Barang itu jika diberikan kepadanya namanya sedekah, tetapi kalau diberikan kepada kami namanya hadiah’.”

Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, bahwa Rasulullah SAW memberikan pilihan kepada Barirah, lalu Rasulullah SAW berbicara dengan Barirah tentang Mughits. Barirah lantas bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini wajib?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi aku ingin menolongnya.”

Diriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, “Suami Barirah diceritakan di hadapan Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas berkata, ‘Dialah Mughits, budak bani fulan, aku melihatnya menangis di belakang Barirah, mengikutinya di jalan’.” 

Adapun budak perempuan yang diceritakan dalam kasus hadits Al Ifki (kabar bohong) yang pernah ditanya mengenai apa yang diketahuinya tentang Aisyah, adalah budak lain, bukan Barirah. 

sumber: siyar alam an-nubala