Tarikh Ath-Thabari


Al hamdullilah kami ucapkan sebagai rasa syukur kami kepada Allah SWT yang telah banyak memberikan kemudahan dalam proses terjemah dan editing kitab Shahih Tarikh Ath-Thabari ini. Salam dan shalawat kita mohonkan kepada Allah SWT, semoga tercurah pada sang penyelamat manusia dari era kegelapan kepada era pencerahan, Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-oarang yang mengikuti jejak mereka.
"Orang yang bijak adalah orang yang tidak melupakan sejarahnya". Itulah untaian kata bijak yang sering kita dengar manakala hendak membahas sejarah yang berisi kumpulan peristiwa kejayaan dan kehancuran suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu. Tidak terkecuali Islam, sebagai sebuah ajaran dan ideologi yang memiliki sejarah unik, yang menjadi potret manifestasi dari ajaran dan ideologi tersebut.
Salah satu buku yang menjadi ensiklopedi sejarah Islam lengkap adalah karya Imam Abu Ja'far Ath-Thabari yang berjudul Shahih Tarikh Ath-Thabari, yang berisikan rentetan riwayat yang mengandung sejarah penciptaan masa, alam, hingga berbagai peristiwa dan kisah para nabi serta para khalifah era sahabat, dinasti umaiyah dan Abbasiyah, serta lainnya. Dalam edisi Indonesia ini sengaja kami  pilihkan buku Shahih Tarikh Ath-Thabari yang telah diverifikasi mengenai validitas riwayat dan akurasi muatan sejarahnya, sehingga buku ini layak diberi judul Shahih Tarikh Ath-Thabari, sehingga dalam edisi ini pembaca hanya akan mendapatkan kisah sejarah yang benar, yang jauh dari rekayasa dan mitos. Faktanya, tidak sedikit riwayat sejarah yang dicantumkan oleh Imam Ath-Thabari tidak diseleksi secara ketat dan meyerahkan penyeleksiannya kepada para pembaca, yang tentunya akan menyulitkan pembaca awam.
Selain itu, dalam buku ini pembaca akan mendapatkan kisah atau peristiwa dalam versi lain yang disajikan oleh muhaqqiq (Muhammad bin Thahir Al Barzanji) yang beliau kutip dari Al Qur`an, hadits, dan kitab sejarah lainnya, yang oleh penulis diletakkan di catatan kaki, sementara oleh kami (editor) kami letakkan dalam isi dengan judul catatan muhaqqiq, guna memudahkan pembaca dalam mendapatkan kisah sejarah secara utuh dan lengkap dari ragam versi yang dikutip oleh muhaqiq.
Akhirnya, kepada Allah jua kami berharap upaya ini mendapatkan penilaian baik di sisi-Nya. Tak lupa kami mengharapkan saran dan kritik dari berbagi pihak, guna perbaikan dan kesempurnaan buku berharga ini.

Tarikh Ath-Thabari


Al hamdullilahkami ucapkan sebagai rasa syukur kami kepada Allah SWT yang telah banyakmemberikan kemudahan dalam proses terjemah dan editing kitab Shahih TarikhAth-Thabari ini. Salam dan shalawat kita mohonkan kepada Allah SWT, semogatercurah pada sang penyelamat manusia dari era kegelapan kepada era pencerahan,Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-oarang yangmengikuti jejak mereka.
"Orangyang bijak adalah orang yang tidak melupakan sejarahnya". Itulah untaian katabijak yang sering kita dengar manakala hendak membahas sejarah yang berisi kumpulanperistiwa kejayaan dan kehancuran suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu.Tidak terkecuali Islam, sebagai sebuah ajaran dan ideologi yang memilikisejarah unik, yang menjadi potret manifestasi dari ajaran dan ideologitersebut.
Salahsatu buku yang menjadi ensiklopedi sejarah Islam lengkap adalah karya Imam AbuJa'far Ath-Thabari yang berjudul Shahih Tarikh Ath-Thabari, yangberisikan rentetan riwayat yang mengandung sejarah penciptaan masa, alam,hingga berbagai peristiwa dan kisah para nabi serta para khalifah era sahabat,dinasti umaiyah dan Abbasiyah, serta lainnya. Dalam edisi Indonesia ini sengajakami  pilihkan buku Shahih TarikhAth-Thabari yang telah diverifikasi mengenai validitas riwayat dan akurasimuatan sejarahnya, sehingga buku ini layak diberi judul Shahih TarikhAth-Thabari, sehingga dalam edisi ini pembaca hanya akan mendapatkan kisahsejarah yang benar, yang jauh dari rekayasa dan mitos. Faktanya, tidak sedikitriwayat sejarah yang dicantumkan oleh Imam Ath-Thabari tidak diseleksi secaraketat dan meyerahkan penyeleksiannya kepada para pembaca, yang tentunya akanmenyulitkan pembaca awam.
Selainitu, dalam buku ini pembaca akan mendapatkan kisah atau peristiwa dalam versilain yang disajikan oleh muhaqqiq (Muhammad bin Thahir Al Barzanji) yang beliaukutip dari Al Qur`an, hadits, dan kitab sejarah lainnya, yang oleh penulisdiletakkan di catatan kaki, sementara oleh kami (editor) kami letakkan dalam isidengan judul catatan muhaqqiq, guna memudahkan pembaca dalam mendapatkankisah sejarah secara utuh dan lengkap dari ragam versi yang dikutip olehmuhaqiq.
Akhirnya,kepada Allah jua kami berharap upaya ini mendapatkan penilaian baik di sisi-Nya.Tak lupa kami mengharapkan saran dan kritik dari berbagi pihak, guna perbaikandan kesempurnaan buku berharga ini.

Shuhaib bin Sinan


Dia adalah Abu Yahya An-Namir bin Qasith. Dia dikenal dengan sebutan Ar-Rumi karena ia pernah tinggal di Romawi beberapa waktu. 
Dia adalah penduduk Al Jazirah yang ditawan di sebuah desa yang bernama Ninawa. Ayah dan pamannya bekerja untuk Kisra. Kemudian dia dibawa ke Makkah lalu dibeli oleh Abdullah bin Jud’an Al Qurasyi At-Taimi.
Dia termasuk As-Sabiquna Al Awwalun dan pejuang perang Badar. Selain itu, dia sosok yang terpandang dan berwibawa. Ketika Umar terkena musibah, dia meminta Shuhaib untuk memimpin shalat jamaah bersama kaum muslim, hingga para dewan musyawarah sepakat untuk menjadikannya sebagai imam karena sifatnya yang mulia dan pemaaf.
Dia merupakan sahabat yang berusaha menghindar dari fitnah, dan hal ini sesuai dengan keadaannya.
Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,                صُهَيْبٌ سَابِقُ الرُّوْمٍ “Shuhaib adalah pendahulu Romawi.” 
Hal ini dijelaskan dalam riwayat yang shahih, dari hadits Abu Umamah, Anas, dan Ummu Hani‘.
Diriwayatkan dari Abu Utsman, bahwa ketika Shuhaib akan hijrah, para penduduk Makkah berkata kepadanya, “Kamu dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah dan fakir, sekarang keadaanmu telah berubah!” Shuhaib kemudian berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika aku meninggalkan hartaku, apakah kalian akan melepaskanku?” Mereka menjawab, “Ya.” Shuhaib pun meninggalkan hartanya untuk mereka. Ketika kabar tersebut sampai kepada Nabi SAW, beliau bersabda, “Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!”
Diriwayatkan dari Shuhaib, dia berkata, “Aku pernah memberikan pakaian kepada Rasulullah SAW. Di tengah perjalanan, saat aku terkena penyakit mata dan merasa lapar, beliau membawakanku buah kurma yang baru masak, maka aku pun mengambilnya (memakannya). Umar lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak melihat bahwa Shuhaib memakan buah kurma padahal dia sedang sakit mata.” Rasulullah SAW bersabda, “Buah itu milikku.” Aku berkata, “Aku memakannya untuk sebelah mataku yang sehat.” Mendengar itu, Umar tersenyum. 
Diriwayatkan dari A‘idz bin Umar, bahwa suatu ketika Salman, Shuhaib, dan Bilal sedang duduk santai, kemudian Abu Sufyan lewat di depan mereka. Mereka lantas berkata, “Pedang Allah tidak akan membunuh leher musuh Allah kecuali pada tempatnya nanti.” Mendengar itu, Abu Bakar berkata, “Apakah kalian berkata seperti itu kepada pemimpin dan pemuka Quraisy?” Setelah itu Nabi SAW diberitahukan perihal masalah itu, dan beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar, mungkin engkau telah membuat mereka marah, Jika engkau membuat mereka marah, berarti engkau telah membuat Tuhanmu marah.” Abu Bakar kemudian menemui mereka dan berkata, “Wahai saudara-saudaraku, apakah kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampuni dosamu.”
Shuhaib meninggal di Madinah pada tahun 38 Hijriyah dalam usia 70 tahun.

Shuhaib bin Sinan


Dia adalah Abu Yahya An-Namir bin Qasith. Dia dikenal dengan sebutan Ar-Rumi karena ia pernah tinggal di Romawi beberapa waktu. 
Dia adalah penduduk Al Jazirah yang ditawan di sebuah desa yang bernama Ninawa. Ayah dan pamannya bekerja untuk Kisra. Kemudian dia dibawa ke Makkah lalu dibeli oleh Abdullah bin Jud’an Al Qurasyi At-Taimi.
Dia termasuk As-Sabiquna Al Awwalun dan pejuang perang Badar. Selain itu, dia sosok yang terpandang dan berwibawa. Ketika Umar terkena musibah, dia meminta Shuhaib untuk memimpin shalat jamaah bersama kaum muslim, hingga para dewan musyawarah sepakat untuk menjadikannya sebagai imam karena sifatnya yang mulia dan pemaaf.
Dia merupakan sahabat yang berusaha menghindar dari fitnah, dan hal ini sesuai dengan keadaannya.
Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,                صُهَيْبٌ سَابِقُ الرُّوْمٍ “Shuhaib adalah pendahulu Romawi.” 
Hal ini dijelaskan dalam riwayat yang shahih, dari hadits Abu Umamah, Anas, dan Ummu Hani‘.
Diriwayatkan dari Abu Utsman, bahwa ketika Shuhaib akan hijrah, para penduduk Makkah berkata kepadanya, “Kamu dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah dan fakir, sekarang keadaanmu telah berubah!” Shuhaib kemudian berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika aku meninggalkan hartaku, apakah kalian akan melepaskanku?” Mereka menjawab, “Ya.” Shuhaib pun meninggalkan hartanya untuk mereka. Ketika kabar tersebut sampai kepada Nabi SAW, beliau bersabda, “Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!”
Diriwayatkan dari Shuhaib, dia berkata, “Aku pernah memberikan pakaian kepada Rasulullah SAW. Di tengah perjalanan, saat aku terkena penyakit mata dan merasa lapar, beliau membawakanku buah kurma yang baru masak, maka aku pun mengambilnya (memakannya). Umar lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak melihat bahwa Shuhaib memakan buah kurma padahal dia sedang sakit mata.” Rasulullah SAW bersabda, “Buah itu milikku.” Aku berkata, “Aku memakannya untuk sebelah mataku yang sehat.” Mendengar itu, Umar tersenyum. 
Diriwayatkan dari A‘idz bin Umar, bahwa suatu ketika Salman, Shuhaib, dan Bilal sedang duduk santai, kemudian Abu Sufyan lewat di depan mereka. Mereka lantas berkata, “Pedang Allah tidak akan membunuh leher musuh Allah kecuali pada tempatnya nanti.” Mendengar itu, Abu Bakar berkata, “Apakah kalian berkata seperti itu kepada pemimpin dan pemuka Quraisy?” Setelah itu Nabi SAW diberitahukan perihal masalah itu, dan beliau bersabda, “Wahai Abu Bakar, mungkin engkau telah membuat mereka marah, Jika engkau membuat mereka marah, berarti engkau telah membuat Tuhanmu marah.” Abu Bakar kemudian menemui mereka dan berkata, “Wahai saudara-saudaraku, apakah kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampuni dosamu.”
Shuhaib meninggal di Madinah pada tahun 38 Hijriyah dalam usia 70 tahun.

Abdullah bin Hudzafah


Dia adalah Ibnu Qais, Abu Hudzafah As-Sahmi, salah satu As-Sabiqun Al Awwalun. 
Dia termasuk sahabat yang ikut hijrah ke Habsyah dan dikirim oleh Nabi SAW sebagai delegasi untuk menemui Kisra, Raja Persia.
Ketika dia pergi ke Syam sebagai seorang mujahid, dia ditawan oleh orang-orang Qaisariyah lalu dibawa kepada pemimpin mereka, lantas dipaksa untuk keluar dari agamanya, tetapi dia tetap memegang teguh agamanya.
Diriwayatkan dari Abu Salamah, bahwa Abdullah bin Hudzafah pernah melaksanakan shalat dengan mengeraskan suaranya, maka Nab SAW bersabda, “Wahai Hudzafah, engkau tidak perlu memperdengarkan bacaan shalat ini kepadaku, akan tetapi perdengarkanlah kepada Allah.”
Diriwayatkan dari Umar bin Hakam bin Tsauban, bahwa Abu Sa’id berkata: Rasulullah SAW pernah mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh Alqamah bin Al Mujazziz, dan aku termasuk di dalamnya. Kami pun berangkat. Manakala kami berada di tengah perjalanan, beberapa orang dari kami meminta izin dari Alqamah, dan dia pun memberikan izin kepada mereka. Dia kemudian menyuruh Abdullah bin Hudzafah untuk memimpin rombongan tersebut. Dalam perjalanan, di antara kami terjadi senda-gurau dan main-main. Di tengah-tengah perjalanan, orang-orang menyalakan api untuk menghangatkan tubuh dan memasak sesuatu. Tiba-tiba Hudzafah berkata, “Apakah aku berhak untuk didengar dan ditaati oleh kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Hudzafah lanjut berkata, “Aku menuntut hakku dari kalian agar ditaati, maka melompatlah di atas api ini!” Orang-orang pun berdiri dan melaksanakan perintahkannya, hingga ketika Hudzafah menyangka mereka terjatuh di dalam api tersebut, dia berkata, “Cukup, aku hanya ingin bercanda dengan kalian.” 
Ketika mereka datang kepada Rasulullah, mereka menceritakan hal tersebut kepada beliau, lalu beliau bersabda, “Siapa saja yang menyuruhmu berbuat maksiat, jangan dipatuhi!”
Diriwayatkan dari Abu Rafi’, dia mengatakan bahwa Umar pernah mengutus bala tentara ke Romawi. Sesampainya di sana, tentara Romawi menangkap Abdullah bin Hudzafah dan membawanya ke hadapan raja, lalu berkata, “Dia sebenarnya salah satu sahabat Muhammad.” Mendengar itu, sang raja berkata, “Jika kamu mau menjadi Nasrani maka aku akan memberimu setengah kekuasaanku.” Hudzafah menjawab, “Walaupun engkau memberiku semua yang dimiliki dan seluruh wilayah kerajaan Arab, aku tidak akan berhenti dan tidak akan berpaling dari agama Muhammad, meskipun sekejap mata.” Raja kemudian berkata, “Aku akan membunuhmu!” Diancam seperti itu, Hudzafah menjawab, “Semua terserah padamu.” 
Selanjutnya dia diseret kemudian disalib. Raja lalu berkata kepada pasukan pemanah, “Panahlah dia dekat tubuhnya agar dia merasa takut!” Akan tetapi dia tetap menolak. Dia kemudian diturunkan. Raja lantas meminta sebuah periuk besar berisi air mendidih, kemudian memanggil dua orang tawanan muslim, lalu menyuruh agar salah satunya dilemparkan ke dalam periuk tersebut. Akan tetapi ia tetap menolak untuk menjadi Nasrani. Tawanan itu menangis hingga raja mengira ia ketakutan, kemudian dia pun diturunkan. Raja berkata, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Temannya menjawab, “Mengapa hanya satu orang yang dilemparkan ke dalam api, padahal aku berharap jumlah orang yang dilempar ke dalam api neraka karena Allah melebihi jumlah rambut yang ada di kepalaku ini.”
Mendengar itu, raja berkata kepada Hudzafah, “Apakah kamu mau mencium kepalaku dan pergi dariku?” Hudzafah menjawab, “Apakah begitu juga dengan semua tawanan?” Raja berkata, “Ya.” Hudzafah pun mencium kepalanya.
Ketika Hudzafah datang menemui Umar bersama dengan semua tawanan, dia menceritakan kejadian tersebut. Umar lalu berkata, “Setiap muslim wajib mencium kepala Abdullah bin Hudzafah, dan aku sendiri yang akan memulainya.” Umar pun mencium kepalanya.
Mungkin raja itu telah menjadi muslim walaupun itu dilakukannya secara diam-diam. Hal itu terlihat dari penghormatannya yang berlebihan kepada Abdullah bin Hudzafah.
Begitu juga dengan Hirqal (Raja Romawi). Ketika dia  merasa takut, dia berkata, “Sesungguhnya aku hanya menguji kalian, seberapa kuat dan kokoh pendirian kalian terhadap agama kalian.”
Siapa pun yang beriman kepada agama Islam secara diam-diam, mudah-mudahan selamat dari siksa api neraka yang kekal, karena di dalam hatinya telah ada rasa keimanan, hanya saja dia masih khawatir ketahuan telah masuk Islam dan tunduk kepada Rasulullah SAW serta meyakini bahwa keduanya benar, sementara ia juga meyakini agama yang dianutnya benar. Sehingga, dia seperti itu terlihat mengagungkan kedua agama yang diyakininya benar, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tentunya keyakinannya terhadap kebenaran Islam seperti itu tidak bermanfaat kecuali jika dia membebaskan dirinya dari perbuatan syirik.
Abdullah bin Hudzafah meninggal pada masa pemerintahan Utsman RA.

Abdullah bin Hudzafah


Dia adalah Ibnu Qais, Abu Hudzafah As-Sahmi, salah satu As-Sabiqun Al Awwalun. 
Dia termasuk sahabat yang ikut hijrah ke Habsyah dan dikirim oleh Nabi SAW sebagai delegasi untuk menemui Kisra, Raja Persia.
Ketika dia pergi ke Syam sebagai seorang mujahid, dia ditawan oleh orang-orang Qaisariyah lalu dibawa kepada pemimpin mereka, lantas dipaksa untuk keluar dari agamanya, tetapi dia tetap memegang teguh agamanya.
Diriwayatkan dari Abu Salamah, bahwa Abdullah bin Hudzafah pernah melaksanakan shalat dengan mengeraskan suaranya, maka Nab SAW bersabda, “Wahai Hudzafah, engkau tidak perlu memperdengarkan bacaan shalat ini kepadaku, akan tetapi perdengarkanlah kepada Allah.”
Diriwayatkan dari Umar bin Hakam bin Tsauban, bahwa Abu Sa’id berkata: Rasulullah SAW pernah mengutus sebuah pasukan yang dipimpin oleh Alqamah bin Al Mujazziz, dan aku termasuk di dalamnya. Kami pun berangkat. Manakala kami berada di tengah perjalanan, beberapa orang dari kami meminta izin dari Alqamah, dan dia pun memberikan izin kepada mereka. Dia kemudian menyuruh Abdullah bin Hudzafah untuk memimpin rombongan tersebut. Dalam perjalanan, di antara kami terjadi senda-gurau dan main-main. Di tengah-tengah perjalanan, orang-orang menyalakan api untuk menghangatkan tubuh dan memasak sesuatu. Tiba-tiba Hudzafah berkata, “Apakah aku berhak untuk didengar dan ditaati oleh kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Hudzafah lanjut berkata, “Aku menuntut hakku dari kalian agar ditaati, maka melompatlah di atas api ini!” Orang-orang pun berdiri dan melaksanakan perintahkannya, hingga ketika Hudzafah menyangka mereka terjatuh di dalam api tersebut, dia berkata, “Cukup, aku hanya ingin bercanda dengan kalian.” 
Ketika mereka datang kepada Rasulullah, mereka menceritakan hal tersebut kepada beliau, lalu beliau bersabda, “Siapa saja yang menyuruhmu berbuat maksiat, jangan dipatuhi!”
Diriwayatkan dari Abu Rafi’, dia mengatakan bahwa Umar pernah mengutus bala tentara ke Romawi. Sesampainya di sana, tentara Romawi menangkap Abdullah bin Hudzafah dan membawanya ke hadapan raja, lalu berkata, “Dia sebenarnya salah satu sahabat Muhammad.” Mendengar itu, sang raja berkata, “Jika kamu mau menjadi Nasrani maka aku akan memberimu setengah kekuasaanku.” Hudzafah menjawab, “Walaupun engkau memberiku semua yang dimiliki dan seluruh wilayah kerajaan Arab, aku tidak akan berhenti dan tidak akan berpaling dari agama Muhammad, meskipun sekejap mata.” Raja kemudian berkata, “Aku akan membunuhmu!” Diancam seperti itu, Hudzafah menjawab, “Semua terserah padamu.” 
Selanjutnya dia diseret kemudian disalib. Raja lalu berkata kepada pasukan pemanah, “Panahlah dia dekat tubuhnya agar dia merasa takut!” Akan tetapi dia tetap menolak. Dia kemudian diturunkan. Raja lantas meminta sebuah periuk besar berisi air mendidih, kemudian memanggil dua orang tawanan muslim, lalu menyuruh agar salah satunya dilemparkan ke dalam periuk tersebut. Akan tetapi ia tetap menolak untuk menjadi Nasrani. Tawanan itu menangis hingga raja mengira ia ketakutan, kemudian dia pun diturunkan. Raja berkata, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Temannya menjawab, “Mengapa hanya satu orang yang dilemparkan ke dalam api, padahal aku berharap jumlah orang yang dilempar ke dalam api neraka karena Allah melebihi jumlah rambut yang ada di kepalaku ini.”
Mendengar itu, raja berkata kepada Hudzafah, “Apakah kamu mau mencium kepalaku dan pergi dariku?” Hudzafah menjawab, “Apakah begitu juga dengan semua tawanan?” Raja berkata, “Ya.” Hudzafah pun mencium kepalanya.
Ketika Hudzafah datang menemui Umar bersama dengan semua tawanan, dia menceritakan kejadian tersebut. Umar lalu berkata, “Setiap muslim wajib mencium kepala Abdullah bin Hudzafah, dan aku sendiri yang akan memulainya.” Umar pun mencium kepalanya.
Mungkin raja itu telah menjadi muslim walaupun itu dilakukannya secara diam-diam. Hal itu terlihat dari penghormatannya yang berlebihan kepada Abdullah bin Hudzafah.
Begitu juga dengan Hirqal (Raja Romawi). Ketika dia  merasa takut, dia berkata, “Sesungguhnya aku hanya menguji kalian, seberapa kuat dan kokoh pendirian kalian terhadap agama kalian.”
Siapa pun yang beriman kepada agama Islam secara diam-diam, mudah-mudahan selamat dari siksa api neraka yang kekal, karena di dalam hatinya telah ada rasa keimanan, hanya saja dia masih khawatir ketahuan telah masuk Islam dan tunduk kepada Rasulullah SAW serta meyakini bahwa keduanya benar, sementara ia juga meyakini agama yang dianutnya benar. Sehingga, dia seperti itu terlihat mengagungkan kedua agama yang diyakininya benar, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tentunya keyakinannya terhadap kebenaran Islam seperti itu tidak bermanfaat kecuali jika dia membebaskan dirinya dari perbuatan syirik.
Abdullah bin Hudzafah meninggal pada masa pemerintahan Utsman RA.

Ubadah bin Ash-Shamit


Dia adalah Ibnu Qais.Abu Al Walid Al Anshari.
Dia adalah sosok pemimpin, panutan, salah seorang pemimpin pada malam Aqabah, dan pejuang perang Badar.
Dia bertempat tinggal di Baitul Maqdis.
Selain itu, dia mengikut seluruh peperangan yang pernah diikuti Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Ishaq bin Qabishah bin Dzu‘aib, dari ayahnya, bahwa Ubadah tidak mengakui apa pun dari Mu’awiyah, dia berkata, “Aku tidak akan menempatkanmu di bumi.” Setelah itu dia pergi ke Madinah. Sesampainya di Madinah Umar bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang kemari?” Dia kemudian menceritakan kepadanya tentang perbuatan Mu’awiyah. Mendengar itu, Umar berkata kepadanya, “Kembalilah ke tempatmu, sehingga Allah tidak memburukkan daerah yang tidak dihuni olehmu dan orang-orang seperti dirmu. Dia juga tidak berhak memerintahmu.”
Diriwayatkan dari Ismail bin Ubaid bin Rifa’ah, dari ayahnya, bahwa rombongan unta yang membawa khamer melewati Ubadah bin Ash-Shamit ketika dia sedang berada di Syam. Dia berkata, “Apa ini, minyak?” Ada yang menjawab, “Bukan, tetapi khamer yang dijual kepada si fulan.” Dia lalu langsung mengambil pedang menuju pasar dan berdiri di tengah-tengahnya. Dia kemudian tidak membiarkan satu kedai minum pun di dalam pasar tersebut. Pada saat itu Abu Hurairah berada di Syam, maka dia berkata kepada Ubadah, “Wahai Ubadah, ada masalah apa kamu dengan Mu’awiyah? Biarkan saja dia melakukan apa pun.” Dia menjawab, “Kami telah membai’atnya untuk mendengar dan taat serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kami juga tidak takut dicela siapa pun demi menegakkan kalimat Allah.” Mendengar itu, Abu Hurairah terdiam. 
Setelah itu ada seseorang menulis surat kepada Utsman, “Sesungguhnya Ubadah telah merusakku di Syam.” 
Diriwayatkan dari Al Walid bin Muslim, bahwa Utsman bin Atikah menceritakan kepada kami, bahwa suatu saat Ubadah bin Ash-Shamit melewati desa Dummar,109 kemudian dia menyuruh pembantunya memotong kayu siwak dari pohon Shifshaf di atas sungai Barada. Pembantu itu pun segera mengerjakan perintahnya. Setelah pembantu tersebut datang dengan membawa permintaannya, Ubadah berkata, “Kembalikan, jika siwak itu tidak kamu beli, karena dia tidak akan berguna.” Dia akhirnya membeli kayu tersebut.
Ubadah bin Ash-Shamit meninggal di Ramlah pada tahun 34 Hijriyah dalam usia 72 tahun.

Salman Al Farisi


Al Hafizh Abu Al Qasim, Ibnu A’sakir berkata, “Dia adalah Salman bin Al Islam, Abu Abdullah Al Farisi, ksatria berkuda yang pertama kali masuk Islam, sahabat Nabi SAW. Ia mengabdi kepada beliau dan meriwayatkan hadits darinya.”
Diriwayatkan dari Utsman bin Ruwain, dari Al Qasim Abu Abdurrahman, dia berkata: Salman Al Farisi datang kepada kami dan menjadi imam shalat Zhuhur, kemudian manusia berbondong-bondong menemuinya seperti halnya menemui seorang khalifah. Kami juga menemuinya dan beliau mengerjakan shalat Ashar bersama sahabat-sahabatnya. Dia berjalan, kemudian kami berhenti untuk mengucapkan salam kepadanya. Tidak ada seorang pembesar pun di antara kami kecuali menawarkan agar dia sudi singgah di rumahnya. Namun Salman menolak dengan berkata, “Aku sudah berjanji kepada diriku untuk singgah di rumah Basyir bin Sa’ad.” 
Ketika sampai, dia bertanya tentang Abu Ad-Darda`. Mereka berkata, “Dia sedang berdzikir.” Dia berkata, “Di mana tempat dzikir kalian?” Mereka menjawab, “Beirut.” Dia lalu pergi ke tempat tersebut. 
Urwah berkata: Setelah itu Salman berkata, “Wahai penduduk Beirut, maukah kalian aku riwayatkan sebuah hadits kepada kalian, yang dengannya Allah menghilangkan dari kalian sifat kependetaan? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 
‘(Pahala) menjaga perbatasan sehari semalam seperti (pahala) puasa dan bangun malam sebulan. Barangsiapa mati dalam keadaan sedang menjaga perbatasan maka dia akan diselamatkan dari fitnah kubur, dan pahala amalannya akan tetap mengalir kepadanya hingga Hari Kiamat’.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Salman Al Farisi menceritakan kepadaku, “Aku adalah seorang pria Persia dari Ishfahan. Aku tinggal di desa yang bernama Jiyyun. Ayahku seorang kepala daerah dan aku orang yang paling dicintainya. Rasa cintanya yang terlalu kepadaku pernah membuatku ditahan di rumah layaknya seorang gadis perawan. Pada waktu itu aku rajin melaksanakan ajaran agama Majusi, menyembah api, yang tak pernah dibiarkan padam sedetik pun. Ayahku mempunyai sebuah tempat yang sangat besar dan dia dibuat sibuk membangunnya. Suatu ketika dia berkata kepadaku, ‘Wahai Anakku, aku sibuk membangun tempat peristirahatan hari ini, maka pergi dan awasilah!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa hal.  Aku pun keluar. Ia kemudian berkata, ‘Kamu jangan menghilang dariku, karena jika kamu hilang maka itu akan membuatku lebih susah daripada mengerjakan tempat peristirahatan tersebut dan kamu akan membuatku gelisah setiap saat’. 
Setelah itu aku keluar menuju tempat peristirahatannya. Ketika itu aku melewati sebuah gereja, lalu aku mendengar suara mereka sedang beribadah. Aku tidak tahu alasan ayah menahanku di rumah. Ketika aku melewati mereka, aku mendengar suara mereka. Aku lantas masuk bersama mereka untuk melihatnya. Ketika aku melihat mereka, aku takjub melihat tata cara ibadah mereka hingga aku menyukainya. Aku kemudian berkata, ‘Demi Allah, ini lebih baik daripada agama yang kami anut. Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan mereka hingga aku meninggalkan tempat peristirahatan ayah’. Selanjutnya aku bertanya kepada orang-orang Nasrani, ‘Dari mana datangnya agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam’.
Aku kemudian pulang untuk menemui Ayah saat dia telah mengutus seseorang untuk mencariku, hingga menyebabkannya menghentikan seluruh pekerjaannya. Ketika aku datang, dia berkata, ‘Ke mana saja kamu? Bukankah sudah kukatakan agar tidak menghilang dariku?’ Aku menjawab, ‘Wahai Ayah, aku tadi melewati kelompok manusia yang sedang beribadah di gereja, lalu aku takjub melihat tata cara agama mereka. Demi Allah, aku duduk bersama mereka hingga matahari tenggelam’. Mendengar itu dia berkata, ‘Wahai Anakku, agama itu tidak baik. Agamamu adalah agama nenek moyangmu, yang lebih baik darinya’. Aku lalu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, agama itu lebih baik daripada agama kita’. 
Setelah itu dia mengikat kedua kakiku dan menahanku di rumah lantaran mengkhawatirkan diriku. Aku kemudian mengirim seseorang untuk  menemui orang-orang Nasrani tersebut. Kepada mereka kukatakan, ‘Jika ada seorang penunggang kuda datang kepada kalian dari Syam, maka beritahu aku tentang mereka’. Tak lama kemudian rombongan dari Syam tiba. Aku lalu berkata, ‘Jika mereka menginginkan sesuatu dan ingin pulang maka bertahukan kepadaku!’ Mereka pun melaksanakannya. Aku kemudian berusaha melepaskan besi yang mengikat kaki, lalu keluar bersama mereka hingga tiba di Syam. Ketika aku sampai di sana, aku bertanya, ‘Siapa penganut agama Nasrani yang paling baik?’ Mereka menjawab, ‘Uskup di gereja’. Aku lantas mendatanginya dan berkata, ‘Aku sebenarnya tertarik dengan agama ini dan aku senang tinggal bersamamu, memberikan pelayanan bagi gerejamu ini agar dapat belajar dan beribadah bersamamu’. Mendengar itu, sang Uskup berkata, ‘Masuklah!’ Aku pun masuk bersamanya. 
Namun ternyata di seorang pria jahat yang memerintahkan penganut agamanya untuk bersedekah dan membuat mereka terdorong untuk melakukannya. Setelah berhasil mengumpulkan uang sedekah, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak diberikan kepada orang-orang miskin, hingga terkumpul sekitar tujuh peti emas dan perak. Melihat itu, aku marah besar. Tak lama kemudian dia meninggal, sedangkan orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Aku lalu berkata kepada mereka, ‘Dia orang jahat, dia menyuruh kalian bersedekah hingga kalian terdorong untuk melakukannya, namun ketika kalian sudah memberikan sedekah, dia hanya menyimpannya untuk diri sendiri dan tidak membagikannya kepada fakir miskin’. Aku lantas memperlihatkan kepada mereka tempat penyimpanan harta yang jumlahnya mencapai tujuh peti. Ketika mereka melihatnya, mereka berkata, ‘Demi Allah, kita tidak akan menguburkannya selama-lamanya’. 
Mereka kemudian menyalibnya dan melemparnya di atas bebatuan.  Selanjutnya mereka mengangkat seseorang untuk menggantikan posisinya. Aku tidak pernah melihat orang —selain orang Islam— yang lebih baik darinya, lebih zuhud di dunia, lebih cinta akhirat, serta lebih beradab pada malam dan siang hari. Aku tidak pernah mencintai seorang pun sebelumnya melebihi cintaku kepadanya. Aku terus bersamanya hingga dia meninggal. Aku berkata, ‘Wahai fulan, ketetapan Allah telah datang kepadamu. Demi Allah, aku tidak pernah mencintai sesuatu seperti halnya aku mencintai dirimu, maka apa yang engkau perintahkan kepadaku dan siapa yang engkau sarankan untuk aku kunjungi?’ Dia berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengenal seseorang selain seorang pria yang berada di Mosul. Datangilah dia, kamu pasti akan menemukan orang sepertiku!’
Setelah dia meninggal dan jasadnya dikubur, aku pergi ke Mosul dan menemui pemimpinnya. Ternyata aku menemukan orang yang persis seperti keadaannya, baik dalam kesungguhan maupun kezuhudan. Aku lalu berkata kepadanya, ‘Seseorang telah menyarankan kepadaku agar menemuimu dan tinggal bersamamu’. Dia menjawab, ‘Tinggallah di sini wahai anakku!’ 
Aku pun tinggal bersamanya seperti yang diperintahkan oleh pemimpinnya, hingga dia meninggal dunia. Setelah itu aku berkata kepadanya, ‘Sebelumnya seseorang telah menyaranku agar menemui dirimu dan sekarang engkau akan meninggal, maka siapa orang yang sarankan untuk aku datangi? Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak tahu. Wahai anakku, aku tidak tahu kecuali seorang pria di Nashibain’.
Setelah kami menguburnya, aku mendatangi pria terakhir tersebut. Aku tinggal bersamanya seperti halnya yang lain, hingga akhirnya dia meninggal. Dia kemudian menyarankanku agar mendatangi seorang penduduk Amuriyah di Romawi. Aku pun menemuinya dan mendapatinya seperti keadaan mereka. Selanjutnya aku bekerja hingga berhasil memiliki kekayaan yang melimpah. Tak lama kemudian ada tanda-tanda dia akan meninggal, maka aku berkata kepadanya, ‘Kepada siapa aku harus berguru?’ Dia menjawab, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui lagi siapa orang yang seperti kita yang bisa kamu datangi. Tetapi sebentar lagi akan datang seorang nabi yang diutus dari tanah haram. Dia berhijrah dari daerah panas menuju wilayah yang subur (berair) yang ditanami pohon kurma. Pada dirinya terdapat tanda-tanda yang dapat diketahui, di antara kedua pundaknya ada cap sebagai penutup para nabi. Dia memakan hadiah dan tidak makan sedekah. Jika kamu bisa pergi ke negeri itu maka lakukanlah, karena waktunya sudah dekat’.
Setelah dia telah meninggal dunia, aku masih tetap tinggal di sana hingga beberapa pedagang Arab dari suku Kalb lewat. Aku lalu bertanya kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri Arab? Aku akan memberikan ghanimah serta kekayaanku ini kepada kalian’. Mereka menjawab, ‘Ya’. Aku kemudian memberikan semua hartaku kepada mereka, dan mereka pun membawaku. Tatkala mereka dan aku sampai di Wadil Qura, mereka berbuat zhalim kepadaku dengan menjualku sebagai budak seorang Yahudi di Wadil Qura. Demi Allah, ketika itu aku telah melihat pohon kurma, maka aku berharap itu adalah negeri yang pernah diceritakan oleh sahabatku itu.
Lalu datang seorang pria dari bani Quraidzah ke Wadil Qura. Dia kemudian membeliku dari majikanku, lalu keluar bersamaku hingga kami sampai di Madinah. Demi Allah, negeri itu nampak seakan-akan aku pernah melihatnya lantaran aku telah mengetahui sifat-sifatnya.
Setelah itu aku bermukim di Ruqa, lalu Allah mengutus Nabi SAW di Makkah, dan selama menjadi budak pria tersebut aku tidak pernah memperoleh informasi sedikit pun tentang beliau. Hingga ketika Rasulullah SAW tiba di Quba‘, Madinah, aku masih bekerja sebagai budak, mengurus kurma-kurma majikanku. Demi Allah, ketika aku berada di kebun itu, tiba-tiba keponakan majikan tersebut datang dan berkata, ‘Wahai fulan, Allah telah membinasakan bani Qailah. Demi Allah, sekarang mereka berada di Quba‘ mengerumuni seorang pria yang datang dari Makkah dan mereka menganggapnya sebagai nabi’.
Demi Allah, mendengar berita yang sudah pernah aku dengar, tiba-tiba badanku gemetar, sampai-sampai seperti akan pingsan. Aku pun bergegas turun dan berkata, ‘Berita apa ini?’
Ditanya seperti itu, majikanku mengangkat tangannya dan memarahiku dengan keras, ‘Apa urusanmu, teruskan saja pekerjaanmu!’ Aku berkata, ‘Bukan apa-apa, tetapi aku hanya ingin mengetahui tentang berita tersebut’.
Sore harinya saat aku telah memiliki persediaan makanan, aku langsung berangkat untuk menemui Rasulullah SAW di Quba‘. Setelah bertemu dengan beliau, aku berkata, ‘Aku mendengar bahwa engkau adalah orang shalih dan ditemani sahabat-sahabatmu yang asing. Aku mempunyai sedekah dan aku melihat engkau sebagai orang yang paling berhak menerimanya di negeri ini. Ini untukmu dan makanlah!’
Beliau kemudian menerimanya, lalu bersabda kepada sahabat-sahabatnya, ‘Makanlah!’ melihat hal itu, aku langsung berkata kepada diri sendiri, ‘Ini adalah salah satu sifat yang diceritakan oleh sahabatku’.
Setelah itu aku kembali, sedangkan Rasulullah SAW pindah ke Madinah. Aku kemudian mengumpulkan segala yang aku miliki, lalu mendatangi beliau dan berkata, ‘Aku melihat engkau tidak makan dari hasil sedekah, maka terimalah hadiah ini!’ Rasulullah SAW kemudian memakannya bersama para sahabat. Melihat itu, aku berkata dalam hati, ‘Inilah sifat keduanya’.
Aku lalu menemui Rasulullah SAW lagi pada saat beliau mengiringi jenazah. Ketika itu aku mengenakan dua jubah, sementara beliau berjalan bersama sahabat-sahabatnya. Aku kemudian berputar sambil berusaha melihat bagian pundak beliau, apakah ada cap kenabian seperti yang diceritakan. Tatkala beliau melihatku, nampaknya beliau tahu bahwa aku sedang mencari sesuatu, maka beliau melepaskan serban dari punggungnya hingga aku bisa melihat cap itu. Aku pun langsung memeluknya sambil menangis. 
Setelah itu aku menceritakan kepada beliau kisah yang aku alami seperti yang aku kisahkan kepadamu wahai Ibnu Abbas. Selanjutnya Rasulullah SAW menyarankan agar para sahabat yang lain mendengarkan cerita tersebut.”
Salman masih menjadi budak dan sibuk dengannya hingga dia tidak bisa ikut Rasulullah SAW dalam perang Badar dan Uhud. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Merdekakan dirimu secara mukatab106 wahai Salman!”  Aku pun membuat perjanjian kemerdekaan dengan sang majikan. Aku harus membayar tiga ratus pohon kurma yang telah ditanami, ditambah harta sejumlah empat puluh uqiyah.107 Mendapat informasi seperti itu, Rasulullah SAW lantas bersabda kepada para sahabat, “Tolonglah saudara kalian!” Di antara mereka ada yang memberikan 30 tunas pohon kurma, ada yang memberikan 20, dan ada yang memberikan 15 tunas pohon kurma. Selanjutnya beliau berkata, “Pergilah wahai Salman dan galilah lubangnya. Jika selesai maka datanglah kepadaku, biar aku sendiri yang meletakkan tunas-tunas pohon kurma itu!” 
Aku kemudian menggali lubang-lubang itu dengan dibantu oleh sahabat-sahabatku. Setelah selesai menggali, aku langsung mendatangi beliau untuk melaporkannya. Beliau lalu keluar bersamaku. Kami memberikan tunas pohon kurma itu kepada beliau, lalu beliau meletakkannya dengan tangannya ke dalam lubang. Demi jiwa Salman yang berada di tangan-Nya, tidak ada satu pun tunas kurma yang mati. Selanjutnya aku menyerahkan pohon-pohon kurma itu kepada majikanku dan tinggal tanggungan membayar uang sejumlah empat puluh uqiyah. 
Tak lama kemudian Rasulullah SAW datang dengan membawa sebuah benda seperti telur ayam yang terbuat dari perak, yang diperoleh dari medan perang. Beliau lantas bertanya, “Apa yang dilakukan Salman Al Farisi yang baru dibebaskan itu?” Aku pun dipanggil. Beliau lantas bersabda, “Ambillah ini dan penuhilah kebutuhanmu dengan ini!” Aku lalu menjawab, “Apa yang bisa aku perbuat dengan ini wahai Rasulullah untuk memenuhi kebutuhanku?” Beliau bersabda, “Ambillah! Allah pasti akan memenuhi kebutuhanmu dengannya’. 
Aku pun mengambilnya lalu menukar sebagiannya dengan empat puluh uqiyah, yang aku gunakan untuk membayar tanggungan kepada majikanku. Sejak saat itu aku bebas. Selanjutnya aku ikut bersama Rasulullah SAW dalam perang Khandaq, dan tidak ada satu peperangan pun yang aku tinggalkan.
Diriwayatkan dari A‘idz bin Amr, bahwa suatu ketika Abu Sufyan berjalan melewati Salman, Bilal, dan Shuhaib dalam sebuah rombongan. Mereka lalu berkata, “Pedang-pedang Allah tidak bisa menyentuh leher musuh-musuh Allah.” Mendengar ucapan itu, Abu Bakar berkata, “Apakah kalian mengatakan itu kepada syaikh dan pemimpin Quraisy?” Tak lama kemudian Nabi SAW datang lalu mengabarkan kepadanya, “Wahai Abu Bakar, mungkin kamu membuat mereka marah. Jika kamu membuat mereka marah, berarti kamu telah membuat Tuhanmu marah.” Abu Bakar pun mendatangi mereka lantas berkata, “Wahai saudaraku, apakah aku telah membuat kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak, wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampunimu.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, bahwa Ali pernah ditanya oleh beberapa orang, “Ceritakan kepada kami tentang sahabat-sahabat Muhammad SAW!” Ali berkata, “Siapa yang ingin kalian ketahui?” Ada yang menjawab, “Abdullah.” Dia kemudian berkata, “Dia sahabat yang mengetahui Al Qur`an dan Sunnah dengan baik. Kemudian ilmu berakhir pada dirinya.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan Ammar?” Dia menjawab, “Dia seorang mukmin yang sering lupa. Tetapi jika kamu mengingatkannya, dia akan ingat.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Abu Dzarr?” Dia berkata, “Dia menyadari ilmu yang tidak mampu dilakukannya.” Mereka lanjut bertanya, “Bagaimana dengan Abu Musa?” Dia menjawab, “Dia termasuk cendekiawan sahabat.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Hudzaifah?” Dia berkata, “Dia sahabat Muhammad yang paling tahu tentang orang-orang munafik.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Salman?” Dia menjawab, “Dia mendapatkan ilmu yang pertama dan yang terakhir, lautan yang dasarnya tidak diketahui, dan dia seorang Ahlul Bait.” Mereka bertanya, “Bagaimana dengan dirimu sendiri wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Jika aku meminta diberi dan jika aku mencari akan menemukan.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ketika Nabi SAW membaca firman Allah,  “Jika mereka berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, kemudian mereka tidak akan seperti kamu ini” (Qs. Muhammad [47]: 38) para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau kemudian memukul paha Salman Al Farisi dan berkata, “Pria ini dan kaumnya. Seandainya agama ini dipeluk oleh orang-orang kaya, tentu orang-orang Persi akan segera memeluknya.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata: Al Asy’ats bin Qais dan Jarir bin Abdullah datang untuk menghadap Salman di sebuah rumah gubuk. Keduanya lalu memberi salam dan menghormatinya, lantas berkata, “Apakah engkau sahabat Rasulullah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Keduanya lantas bimbang. Tak lama kemudian Salman berkata, “Sahabat Rasulullah adalah yang menemaninya masuk surga.” Keduanya lalu berkata, “Aku datang dari Abu Ad-Darda`.” Salman berkata, “Lalu mana hadiahnya?” Keduanya menjawab, “Kami tidak membawa hadiah.” Salman berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan tunaikan amanah! Setiap orang yang datang darinya untuk menemui diriku pasti membawa hadiah.” Keduanya berkata, “Jangan membebani kami dengan itu, karena kami memiliki harta, biar aku yang berikan kepadamu.” Salman berkata, “Yang aku inginkan hanya hadiah.” Keduanya lantas berkata, “Demi Allah, Abu Ad-Darda` tidak menitipkan apa-apa kepada kami untukmu kecuali perkataannya, ‘Sesungguhnya di antara kalian ada seorang pria yang jika bersama Rasulullah, dia tidak menginginkan apa-apa lagi. Jika kalian berdua mendatanginya, sampaikan salamku kepadanya’. Salman berkata, ‘Hanya hadiah tersebut yang aku inginkan dari kalian, karena tidak ada lagi hadiah yang lebih mulia darinya selain itu?’.”
Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab, dari Salman, dia berkata, “Jika waktu malam telah tiba, orang-orang terbagi menjadi tiga tingkatan: pertama, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapat dosa. Kedua, orang yang mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Ketiga, orang yang tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Salman menjawab, “Pertama, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa adalah orang yang menghindari orang-orang lalai dan kegelapan malam, lalu berwudhu dan shalat. Kedua, orang yang mendapat dosa dan tidak mendapat pahala adalah orang yang bergaul dengan orang-orang lalai dan kegelapan malam, lalu berbuat maksiat. Ketiga, orang yang tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala adalah orang yang tidur hingga pagi.”
Thariq  kemudian berkata, “Aku akan menemani pria itu (maksudnya Salman).” Tatkala beberapa orang dikirim ke suatu tempat, Salman ikut bersama mereka. Aku menemaninya. Jika dia membuat adonan, aku yang membuat roti, dan jika dia yang membuat roti, aku yang memasak. Tak lama kemudian kami singgah di sebuah rumah dan bermalam di tempat tersebut. 
Biasanya, Thariq mempunyai waktu tertentu yang digunakan untuk beribadah pada malam hari. Manakala aku terjaga pada malam hari, aku melihat Salman masih tertidur pulas, maka aku pun tidur kembali. Aku lantas berkata, “Sahabat Rasulullah, orang yang lebih baik dariku saja masih tidur, maka sebaiknya aku tidur kembali.” Ketika aku terjaga untuk kedua kalinya aku melihatnya masih tidur, hingga akhirnya aku tidur lagi. Hanya saja jika dia terjaga pada tengah malam, dalam keadaan tidur, dia membaca, “Subhaanallah, walhamdu lillah, walaa ilaaha illallah, wallahu akbar, laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ala kulli syai`in qadir.” 
Menjelang Subuh, dia bangun, lalu berwudhu, kemudian shalat empat rakaat. Ketika kami mengerjakan shalat Subuh, aku bertanya, “Wahai Abdullah, aku mempunyai jam untuk membangunkanku pada waktu malam dan aku bangun, tetapi aku melihatmu masih tidur.” Salman berkata, “Wahai keponakanku, apakah kamu tidak mendengar apa yang aku baca pada malam itu?” Aku lalu memberitahukannya bahwa aku mendengarnya. Dia lantas berkata, “Wahai keponakanku, itu adalah shalat, karena shalat lima waktu merupakan kafarat di antara keduanya dari dosa-dosa kecil. Wahai keponakanku, kamu hendaknya menetapkan niat, karena itu lebih sampai kepada tujuan.” 
Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, dia berkata: Suatu ketika aku dan seorang teman pergi menemui Salman, lalu dia berkata, “Seandainya Rasulullah SAW tidak melarang kami untuk membebani diri, tentu kami akan mengabdi kepada kalian.” Tak lama kemudian dia membawakan roti dan garam kepada kami. Teman itu berkata, “Alangkah baiknya jika ada sha’tar (semacam daun untuk lalap) pada garam kita ini.” Salman pun membawa wadah cuciannya lalu menggadaikannya. Kemudian muncul dengan membawa daun sha’tar. Selesai makan, temanku berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan kami puas dengan apa yang diberikan kepada kami.” Mendengar itu, Salman berkata, “Seandainya kamu puas, tentu wadah cucianku tidak akan digadaikan.”
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata: Sa’ad dan Ibnu Mas’ud pernah menghadap Salman menjelang kematiannya. Salman lalu menangis. Ketika dia ditanya, “Mengapa kamu menangis?” Salman menjawab, “Karena janji yang pernah dijanjikan Rasulullah SAW kepada kami, namun kami bisa menepatinya.”  Dia lanjut berkata, “Kalian sebaiknya mengumpulkan bekal di dunia untuk akhirat, layaknya orang yang membawa bekal ketika hendak bepergian. Sedangkan kamu wahai Sa’ad, hendaknya bertakwa kepada Allah dalam menetapkan hukum ketika membuat suatu keputusan, melakukan pembagian, dan menginginkan sesuatu.”
Tsabit berkata, “Aku mendapat berita bahwa Salman tidak meninggalkan apa-apa kecuali uang dua puluh dirham lebih sedikit.”
Diriwayatkan dari Salman, dia berkata, “Masa yang terpaut antara Isa dengan Muhammad adalah enam ratus tahun.”
Salman meninggal dunia di Mada‘in, pada masa Khalifah Utsman.
Abbas bin Yazid Al Jurjani berkata: Para ulama berkata, “Salman berusia 350 tahun, sedangkan yang 250 tahun tidak diragukan tentangnya.”
Semua masalah, keadaan, peperangan, semangat, dan tingkah lakunya, menunjukkan bahwa dia tidak berumur panjang dan tidak sampai berusia lanjut. Dia meninggalkan negerinya sejak kecil. Mungkin dia pergi ke Hijaz saat berusia 40 tahun atau kurang, tetapi pada saat itu dia belum mendengar perihal diutusnya Nabi. Kemudian dia hijrah. Mungkin dia hidup selama 70-an tahun. Tetapi menurutku, usianya tidak mencapai seratus tahun. Oleh karena itu, siapa pun yang mengetahui secara jelas tentang masalah ini, sebaiknya membertahukannya kepada kami.
Yang menukil bahwa beliau berusia panjang adalah Abu Al Faraj bin Al Jauzi dan lain-lain, sementara aku tidak mengetahui apa-apa tentangnya.
Diriwayatkan dari Tsabit Al Bunnani, dia berkata: Ketika Salman sakit, Sa’ad keluar dari Kufah untuk menjenguknya. Lalu dia datang bertepatan dengan saat-saat Salman menutup usianya. Dia kemudian menangis, lalu mengucapkan salam lantas duduk. Sa’ad berkata, “Apa yang membuatmu menanggis wahai saudaraku? Tidakkah kamu ingat persahabatan dengan Rasulullah? Tidakkah kamu ingat dengan pemandangan yang indah-indah?”
Salman berkata, “Demi Allah, yang membuat aku menangis bukan karena seseorang atau dua orang, bukan karena aku cinta dunia dan tidak senang bertemu dengan Allah.” Sa’ad berkata, “Lalu apa yang membuatmu menangis setelah kamu berusia delapan puluh tahun?” Salman menjawab, “Aku menangis karena kekasihku telah menetapkan janji kepadaku seraya bersabda, ‘Setiap orang di antara kalian hendaknya selalu bersiap-siap di dunia ini, seperti halnya persiapan yang dilakukan oleh orang yang hendak bepergian’. Oleh karena itu, kami takut telah melanggar janji itu.”
Diriwayatkan dari sebagian sahabat, dari Tsabit, dia berkata, “Diriwayatkan dari Abu Utsman, bahwa hadits tersebut berstatus mursal, seperti yang dikatakan oleh Abu Hatim.” Hadits ini menjelaskan bahwa Salman hanya berusia 80 tahun.
Mengenai hal ini, aku telah menjelaskannya dalam kitab Tarikh Al Kabir, bahwa dia berusia 250 tahun, dan pada saat itu aku tidak menerima dan tidak membenarkan pendapat tersebut.

Salman Al Farisi


Al Hafizh Abu Al Qasim, Ibnu A’sakir berkata, “Dia adalah Salman bin Al Islam, Abu Abdullah Al Farisi, ksatria berkuda yang pertama kali masuk Islam, sahabat Nabi SAW. Ia mengabdi kepada beliau dan meriwayatkan hadits darinya.”
Diriwayatkan dari Utsman bin Ruwain, dari Al Qasim Abu Abdurrahman, dia berkata: Salman Al Farisi datang kepada kami dan menjadi imam shalat Zhuhur, kemudian manusia berbondong-bondong menemuinya seperti halnya menemui seorang khalifah. Kami juga menemuinya dan beliau mengerjakan shalat Ashar bersama sahabat-sahabatnya. Dia berjalan, kemudian kami berhenti untuk mengucapkan salam kepadanya. Tidak ada seorang pembesar pun di antara kami kecuali menawarkan agar dia sudi singgah di rumahnya. Namun Salman menolak dengan berkata, “Aku sudah berjanji kepada diriku untuk singgah di rumah Basyir bin Sa’ad.” 
Ketika sampai, dia bertanya tentang Abu Ad-Darda`. Mereka berkata, “Dia sedang berdzikir.” Dia berkata, “Di mana tempat dzikir kalian?” Mereka menjawab, “Beirut.” Dia lalu pergi ke tempat tersebut. 
Urwah berkata: Setelah itu Salman berkata, “Wahai penduduk Beirut, maukah kalian aku riwayatkan sebuah hadits kepada kalian, yang dengannya Allah menghilangkan dari kalian sifat kependetaan? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 
‘(Pahala) menjaga perbatasan sehari semalam seperti (pahala) puasa dan bangun malam sebulan. Barangsiapa mati dalam keadaan sedang menjaga perbatasan maka dia akan diselamatkan dari fitnah kubur, dan pahala amalannya akan tetap mengalir kepadanya hingga Hari Kiamat’.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Salman Al Farisi menceritakan kepadaku, “Aku adalah seorang pria Persia dari Ishfahan. Aku tinggal di desa yang bernama Jiyyun. Ayahku seorang kepala daerah dan aku orang yang paling dicintainya. Rasa cintanya yang terlalu kepadaku pernah membuatku ditahan di rumah layaknya seorang gadis perawan. Pada waktu itu aku rajin melaksanakan ajaran agama Majusi, menyembah api, yang tak pernah dibiarkan padam sedetik pun. Ayahku mempunyai sebuah tempat yang sangat besar dan dia dibuat sibuk membangunnya. Suatu ketika dia berkata kepadaku, ‘Wahai Anakku, aku sibuk membangun tempat peristirahatan hari ini, maka pergi dan awasilah!’ Beliau menyuruhku melakukan beberapa hal.  Aku pun keluar. Ia kemudian berkata, ‘Kamu jangan menghilang dariku, karena jika kamu hilang maka itu akan membuatku lebih susah daripada mengerjakan tempat peristirahatan tersebut dan kamu akan membuatku gelisah setiap saat’. 
Setelah itu aku keluar menuju tempat peristirahatannya. Ketika itu aku melewati sebuah gereja, lalu aku mendengar suara mereka sedang beribadah. Aku tidak tahu alasan ayah menahanku di rumah. Ketika aku melewati mereka, aku mendengar suara mereka. Aku lantas masuk bersama mereka untuk melihatnya. Ketika aku melihat mereka, aku takjub melihat tata cara ibadah mereka hingga aku menyukainya. Aku kemudian berkata, ‘Demi Allah, ini lebih baik daripada agama yang kami anut. Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan mereka hingga aku meninggalkan tempat peristirahatan ayah’. Selanjutnya aku bertanya kepada orang-orang Nasrani, ‘Dari mana datangnya agama ini?’ Mereka menjawab, ‘Dari Syam’.
Aku kemudian pulang untuk menemui Ayah saat dia telah mengutus seseorang untuk mencariku, hingga menyebabkannya menghentikan seluruh pekerjaannya. Ketika aku datang, dia berkata, ‘Ke mana saja kamu? Bukankah sudah kukatakan agar tidak menghilang dariku?’ Aku menjawab, ‘Wahai Ayah, aku tadi melewati kelompok manusia yang sedang beribadah di gereja, lalu aku takjub melihat tata cara agama mereka. Demi Allah, aku duduk bersama mereka hingga matahari tenggelam’. Mendengar itu dia berkata, ‘Wahai Anakku, agama itu tidak baik. Agamamu adalah agama nenek moyangmu, yang lebih baik darinya’. Aku lalu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, agama itu lebih baik daripada agama kita’. 
Setelah itu dia mengikat kedua kakiku dan menahanku di rumah lantaran mengkhawatirkan diriku. Aku kemudian mengirim seseorang untuk  menemui orang-orang Nasrani tersebut. Kepada mereka kukatakan, ‘Jika ada seorang penunggang kuda datang kepada kalian dari Syam, maka beritahu aku tentang mereka’. Tak lama kemudian rombongan dari Syam tiba. Aku lalu berkata, ‘Jika mereka menginginkan sesuatu dan ingin pulang maka bertahukan kepadaku!’ Mereka pun melaksanakannya. Aku kemudian berusaha melepaskan besi yang mengikat kaki, lalu keluar bersama mereka hingga tiba di Syam. Ketika aku sampai di sana, aku bertanya, ‘Siapa penganut agama Nasrani yang paling baik?’ Mereka menjawab, ‘Uskup di gereja’. Aku lantas mendatanginya dan berkata, ‘Aku sebenarnya tertarik dengan agama ini dan aku senang tinggal bersamamu, memberikan pelayanan bagi gerejamu ini agar dapat belajar dan beribadah bersamamu’. Mendengar itu, sang Uskup berkata, ‘Masuklah!’ Aku pun masuk bersamanya. 
Namun ternyata di seorang pria jahat yang memerintahkan penganut agamanya untuk bersedekah dan membuat mereka terdorong untuk melakukannya. Setelah berhasil mengumpulkan uang sedekah, dia menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak diberikan kepada orang-orang miskin, hingga terkumpul sekitar tujuh peti emas dan perak. Melihat itu, aku marah besar. Tak lama kemudian dia meninggal, sedangkan orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Aku lalu berkata kepada mereka, ‘Dia orang jahat, dia menyuruh kalian bersedekah hingga kalian terdorong untuk melakukannya, namun ketika kalian sudah memberikan sedekah, dia hanya menyimpannya untuk diri sendiri dan tidak membagikannya kepada fakir miskin’. Aku lantas memperlihatkan kepada mereka tempat penyimpanan harta yang jumlahnya mencapai tujuh peti. Ketika mereka melihatnya, mereka berkata, ‘Demi Allah, kita tidak akan menguburkannya selama-lamanya’. 
Mereka kemudian menyalibnya dan melemparnya di atas bebatuan.  Selanjutnya mereka mengangkat seseorang untuk menggantikan posisinya. Aku tidak pernah melihat orang —selain orang Islam— yang lebih baik darinya, lebih zuhud di dunia, lebih cinta akhirat, serta lebih beradab pada malam dan siang hari. Aku tidak pernah mencintai seorang pun sebelumnya melebihi cintaku kepadanya. Aku terus bersamanya hingga dia meninggal. Aku berkata, ‘Wahai fulan, ketetapan Allah telah datang kepadamu. Demi Allah, aku tidak pernah mencintai sesuatu seperti halnya aku mencintai dirimu, maka apa yang engkau perintahkan kepadaku dan siapa yang engkau sarankan untuk aku kunjungi?’ Dia berkata, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengenal seseorang selain seorang pria yang berada di Mosul. Datangilah dia, kamu pasti akan menemukan orang sepertiku!’
Setelah dia meninggal dan jasadnya dikubur, aku pergi ke Mosul dan menemui pemimpinnya. Ternyata aku menemukan orang yang persis seperti keadaannya, baik dalam kesungguhan maupun kezuhudan. Aku lalu berkata kepadanya, ‘Seseorang telah menyarankan kepadaku agar menemuimu dan tinggal bersamamu’. Dia menjawab, ‘Tinggallah di sini wahai anakku!’ 
Aku pun tinggal bersamanya seperti yang diperintahkan oleh pemimpinnya, hingga dia meninggal dunia. Setelah itu aku berkata kepadanya, ‘Sebelumnya seseorang telah menyaranku agar menemui dirimu dan sekarang engkau akan meninggal, maka siapa orang yang sarankan untuk aku datangi? Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak tahu. Wahai anakku, aku tidak tahu kecuali seorang pria di Nashibain’.
Setelah kami menguburnya, aku mendatangi pria terakhir tersebut. Aku tinggal bersamanya seperti halnya yang lain, hingga akhirnya dia meninggal. Dia kemudian menyarankanku agar mendatangi seorang penduduk Amuriyah di Romawi. Aku pun menemuinya dan mendapatinya seperti keadaan mereka. Selanjutnya aku bekerja hingga berhasil memiliki kekayaan yang melimpah. Tak lama kemudian ada tanda-tanda dia akan meninggal, maka aku berkata kepadanya, ‘Kepada siapa aku harus berguru?’ Dia menjawab, ‘Wahai anakku, demi Allah, aku tidak mengetahui lagi siapa orang yang seperti kita yang bisa kamu datangi. Tetapi sebentar lagi akan datang seorang nabi yang diutus dari tanah haram. Dia berhijrah dari daerah panas menuju wilayah yang subur (berair) yang ditanami pohon kurma. Pada dirinya terdapat tanda-tanda yang dapat diketahui, di antara kedua pundaknya ada cap sebagai penutup para nabi. Dia memakan hadiah dan tidak makan sedekah. Jika kamu bisa pergi ke negeri itu maka lakukanlah, karena waktunya sudah dekat’.
Setelah dia telah meninggal dunia, aku masih tetap tinggal di sana hingga beberapa pedagang Arab dari suku Kalb lewat. Aku lalu bertanya kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri Arab? Aku akan memberikan ghanimah serta kekayaanku ini kepada kalian’. Mereka menjawab, ‘Ya’. Aku kemudian memberikan semua hartaku kepada mereka, dan mereka pun membawaku. Tatkala mereka dan aku sampai di Wadil Qura, mereka berbuat zhalim kepadaku dengan menjualku sebagai budak seorang Yahudi di Wadil Qura. Demi Allah, ketika itu aku telah melihat pohon kurma, maka aku berharap itu adalah negeri yang pernah diceritakan oleh sahabatku itu.
Lalu datang seorang pria dari bani Quraidzah ke Wadil Qura. Dia kemudian membeliku dari majikanku, lalu keluar bersamaku hingga kami sampai di Madinah. Demi Allah, negeri itu nampak seakan-akan aku pernah melihatnya lantaran aku telah mengetahui sifat-sifatnya.
Setelah itu aku bermukim di Ruqa, lalu Allah mengutus Nabi SAW di Makkah, dan selama menjadi budak pria tersebut aku tidak pernah memperoleh informasi sedikit pun tentang beliau. Hingga ketika Rasulullah SAW tiba di Quba‘, Madinah, aku masih bekerja sebagai budak, mengurus kurma-kurma majikanku. Demi Allah, ketika aku berada di kebun itu, tiba-tiba keponakan majikan tersebut datang dan berkata, ‘Wahai fulan, Allah telah membinasakan bani Qailah. Demi Allah, sekarang mereka berada di Quba‘ mengerumuni seorang pria yang datang dari Makkah dan mereka menganggapnya sebagai nabi’.
Demi Allah, mendengar berita yang sudah pernah aku dengar, tiba-tiba badanku gemetar, sampai-sampai seperti akan pingsan. Aku pun bergegas turun dan berkata, ‘Berita apa ini?’
Ditanya seperti itu, majikanku mengangkat tangannya dan memarahiku dengan keras, ‘Apa urusanmu, teruskan saja pekerjaanmu!’ Aku berkata, ‘Bukan apa-apa, tetapi aku hanya ingin mengetahui tentang berita tersebut’.
Sore harinya saat aku telah memiliki persediaan makanan, aku langsung berangkat untuk menemui Rasulullah SAW di Quba‘. Setelah bertemu dengan beliau, aku berkata, ‘Aku mendengar bahwa engkau adalah orang shalih dan ditemani sahabat-sahabatmu yang asing. Aku mempunyai sedekah dan aku melihat engkau sebagai orang yang paling berhak menerimanya di negeri ini. Ini untukmu dan makanlah!’
Beliau kemudian menerimanya, lalu bersabda kepada sahabat-sahabatnya, ‘Makanlah!’ melihat hal itu, aku langsung berkata kepada diri sendiri, ‘Ini adalah salah satu sifat yang diceritakan oleh sahabatku’.
Setelah itu aku kembali, sedangkan Rasulullah SAW pindah ke Madinah. Aku kemudian mengumpulkan segala yang aku miliki, lalu mendatangi beliau dan berkata, ‘Aku melihat engkau tidak makan dari hasil sedekah, maka terimalah hadiah ini!’ Rasulullah SAW kemudian memakannya bersama para sahabat. Melihat itu, aku berkata dalam hati, ‘Inilah sifat keduanya’.
Aku lalu menemui Rasulullah SAW lagi pada saat beliau mengiringi jenazah. Ketika itu aku mengenakan dua jubah, sementara beliau berjalan bersama sahabat-sahabatnya. Aku kemudian berputar sambil berusaha melihat bagian pundak beliau, apakah ada cap kenabian seperti yang diceritakan. Tatkala beliau melihatku, nampaknya beliau tahu bahwa aku sedang mencari sesuatu, maka beliau melepaskan serban dari punggungnya hingga aku bisa melihat cap itu. Aku pun langsung memeluknya sambil menangis. 
Setelah itu aku menceritakan kepada beliau kisah yang aku alami seperti yang aku kisahkan kepadamu wahai Ibnu Abbas. Selanjutnya Rasulullah SAW menyarankan agar para sahabat yang lain mendengarkan cerita tersebut.”
Salman masih menjadi budak dan sibuk dengannya hingga dia tidak bisa ikut Rasulullah SAW dalam perang Badar dan Uhud. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Merdekakan dirimu secara mukatab106 wahai Salman!”  Aku pun membuat perjanjian kemerdekaan dengan sang majikan. Aku harus membayar tiga ratus pohon kurma yang telah ditanami, ditambah harta sejumlah empat puluh uqiyah.107 Mendapat informasi seperti itu, Rasulullah SAW lantas bersabda kepada para sahabat, “Tolonglah saudara kalian!” Di antara mereka ada yang memberikan 30 tunas pohon kurma, ada yang memberikan 20, dan ada yang memberikan 15 tunas pohon kurma. Selanjutnya beliau berkata, “Pergilah wahai Salman dan galilah lubangnya. Jika selesai maka datanglah kepadaku, biar aku sendiri yang meletakkan tunas-tunas pohon kurma itu!” 
Aku kemudian menggali lubang-lubang itu dengan dibantu oleh sahabat-sahabatku. Setelah selesai menggali, aku langsung mendatangi beliau untuk melaporkannya. Beliau lalu keluar bersamaku. Kami memberikan tunas pohon kurma itu kepada beliau, lalu beliau meletakkannya dengan tangannya ke dalam lubang. Demi jiwa Salman yang berada di tangan-Nya, tidak ada satu pun tunas kurma yang mati. Selanjutnya aku menyerahkan pohon-pohon kurma itu kepada majikanku dan tinggal tanggungan membayar uang sejumlah empat puluh uqiyah. 
Tak lama kemudian Rasulullah SAW datang dengan membawa sebuah benda seperti telur ayam yang terbuat dari perak, yang diperoleh dari medan perang. Beliau lantas bertanya, “Apa yang dilakukan Salman Al Farisi yang baru dibebaskan itu?” Aku pun dipanggil. Beliau lantas bersabda, “Ambillah ini dan penuhilah kebutuhanmu dengan ini!” Aku lalu menjawab, “Apa yang bisa aku perbuat dengan ini wahai Rasulullah untuk memenuhi kebutuhanku?” Beliau bersabda, “Ambillah! Allah pasti akan memenuhi kebutuhanmu dengannya’. 
Aku pun mengambilnya lalu menukar sebagiannya dengan empat puluh uqiyah, yang aku gunakan untuk membayar tanggungan kepada majikanku. Sejak saat itu aku bebas. Selanjutnya aku ikut bersama Rasulullah SAW dalam perang Khandaq, dan tidak ada satu peperangan pun yang aku tinggalkan.
Diriwayatkan dari A‘idz bin Amr, bahwa suatu ketika Abu Sufyan berjalan melewati Salman, Bilal, dan Shuhaib dalam sebuah rombongan. Mereka lalu berkata, “Pedang-pedang Allah tidak bisa menyentuh leher musuh-musuh Allah.” Mendengar ucapan itu, Abu Bakar berkata, “Apakah kalian mengatakan itu kepada syaikh dan pemimpin Quraisy?” Tak lama kemudian Nabi SAW datang lalu mengabarkan kepadanya, “Wahai Abu Bakar, mungkin kamu membuat mereka marah. Jika kamu membuat mereka marah, berarti kamu telah membuat Tuhanmu marah.” Abu Bakar pun mendatangi mereka lantas berkata, “Wahai saudaraku, apakah aku telah membuat kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak, wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampunimu.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, bahwa Ali pernah ditanya oleh beberapa orang, “Ceritakan kepada kami tentang sahabat-sahabat Muhammad SAW!” Ali berkata, “Siapa yang ingin kalian ketahui?” Ada yang menjawab, “Abdullah.” Dia kemudian berkata, “Dia sahabat yang mengetahui Al Qur`an dan Sunnah dengan baik. Kemudian ilmu berakhir pada dirinya.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan Ammar?” Dia menjawab, “Dia seorang mukmin yang sering lupa. Tetapi jika kamu mengingatkannya, dia akan ingat.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Abu Dzarr?” Dia berkata, “Dia menyadari ilmu yang tidak mampu dilakukannya.” Mereka lanjut bertanya, “Bagaimana dengan Abu Musa?” Dia menjawab, “Dia termasuk cendekiawan sahabat.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Hudzaifah?” Dia berkata, “Dia sahabat Muhammad yang paling tahu tentang orang-orang munafik.” Mereka bertanya lagi, “Bagaimana dengan Salman?” Dia menjawab, “Dia mendapatkan ilmu yang pertama dan yang terakhir, lautan yang dasarnya tidak diketahui, dan dia seorang Ahlul Bait.” Mereka bertanya, “Bagaimana dengan dirimu sendiri wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Jika aku meminta diberi dan jika aku mencari akan menemukan.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ketika Nabi SAW membaca firman Allah,  “Jika mereka berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, kemudian mereka tidak akan seperti kamu ini” (Qs. Muhammad [47]: 38) para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau kemudian memukul paha Salman Al Farisi dan berkata, “Pria ini dan kaumnya. Seandainya agama ini dipeluk oleh orang-orang kaya, tentu orang-orang Persi akan segera memeluknya.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata: Al Asy’ats bin Qais dan Jarir bin Abdullah datang untuk menghadap Salman di sebuah rumah gubuk. Keduanya lalu memberi salam dan menghormatinya, lantas berkata, “Apakah engkau sahabat Rasulullah?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu.” Keduanya lantas bimbang. Tak lama kemudian Salman berkata, “Sahabat Rasulullah adalah yang menemaninya masuk surga.” Keduanya lalu berkata, “Aku datang dari Abu Ad-Darda`.” Salman berkata, “Lalu mana hadiahnya?” Keduanya menjawab, “Kami tidak membawa hadiah.” Salman berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan tunaikan amanah! Setiap orang yang datang darinya untuk menemui diriku pasti membawa hadiah.” Keduanya berkata, “Jangan membebani kami dengan itu, karena kami memiliki harta, biar aku yang berikan kepadamu.” Salman berkata, “Yang aku inginkan hanya hadiah.” Keduanya lantas berkata, “Demi Allah, Abu Ad-Darda` tidak menitipkan apa-apa kepada kami untukmu kecuali perkataannya, ‘Sesungguhnya di antara kalian ada seorang pria yang jika bersama Rasulullah, dia tidak menginginkan apa-apa lagi. Jika kalian berdua mendatanginya, sampaikan salamku kepadanya’. Salman berkata, ‘Hanya hadiah tersebut yang aku inginkan dari kalian, karena tidak ada lagi hadiah yang lebih mulia darinya selain itu?’.”
Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab, dari Salman, dia berkata, “Jika waktu malam telah tiba, orang-orang terbagi menjadi tiga tingkatan: pertama, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapat dosa. Kedua, orang yang mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Ketiga, orang yang tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Salman menjawab, “Pertama, orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa adalah orang yang menghindari orang-orang lalai dan kegelapan malam, lalu berwudhu dan shalat. Kedua, orang yang mendapat dosa dan tidak mendapat pahala adalah orang yang bergaul dengan orang-orang lalai dan kegelapan malam, lalu berbuat maksiat. Ketiga, orang yang tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala adalah orang yang tidur hingga pagi.”
Thariq  kemudian berkata, “Aku akan menemani pria itu (maksudnya Salman).” Tatkala beberapa orang dikirim ke suatu tempat, Salman ikut bersama mereka. Aku menemaninya. Jika dia membuat adonan, aku yang membuat roti, dan jika dia yang membuat roti, aku yang memasak. Tak lama kemudian kami singgah di sebuah rumah dan bermalam di tempat tersebut. 
Biasanya, Thariq mempunyai waktu tertentu yang digunakan untuk beribadah pada malam hari. Manakala aku terjaga pada malam hari, aku melihat Salman masih tertidur pulas, maka aku pun tidur kembali. Aku lantas berkata, “Sahabat Rasulullah, orang yang lebih baik dariku saja masih tidur, maka sebaiknya aku tidur kembali.” Ketika aku terjaga untuk kedua kalinya aku melihatnya masih tidur, hingga akhirnya aku tidur lagi. Hanya saja jika dia terjaga pada tengah malam, dalam keadaan tidur, dia membaca, “Subhaanallah, walhamdu lillah, walaa ilaaha illallah, wallahu akbar, laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ala kulli syai`in qadir.” 
Menjelang Subuh, dia bangun, lalu berwudhu, kemudian shalat empat rakaat. Ketika kami mengerjakan shalat Subuh, aku bertanya, “Wahai Abdullah, aku mempunyai jam untuk membangunkanku pada waktu malam dan aku bangun, tetapi aku melihatmu masih tidur.” Salman berkata, “Wahai keponakanku, apakah kamu tidak mendengar apa yang aku baca pada malam itu?” Aku lalu memberitahukannya bahwa aku mendengarnya. Dia lantas berkata, “Wahai keponakanku, itu adalah shalat, karena shalat lima waktu merupakan kafarat di antara keduanya dari dosa-dosa kecil. Wahai keponakanku, kamu hendaknya menetapkan niat, karena itu lebih sampai kepada tujuan.” 
Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, dia berkata: Suatu ketika aku dan seorang teman pergi menemui Salman, lalu dia berkata, “Seandainya Rasulullah SAW tidak melarang kami untuk membebani diri, tentu kami akan mengabdi kepada kalian.” Tak lama kemudian dia membawakan roti dan garam kepada kami. Teman itu berkata, “Alangkah baiknya jika ada sha’tar (semacam daun untuk lalap) pada garam kita ini.” Salman pun membawa wadah cuciannya lalu menggadaikannya. Kemudian muncul dengan membawa daun sha’tar. Selesai makan, temanku berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan kami puas dengan apa yang diberikan kepada kami.” Mendengar itu, Salman berkata, “Seandainya kamu puas, tentu wadah cucianku tidak akan digadaikan.”
Diriwayatkan dari Anas, dia berkata: Sa’ad dan Ibnu Mas’ud pernah menghadap Salman menjelang kematiannya. Salman lalu menangis. Ketika dia ditanya, “Mengapa kamu menangis?” Salman menjawab, “Karena janji yang pernah dijanjikan Rasulullah SAW kepada kami, namun kami bisa menepatinya.”  Dia lanjut berkata, “Kalian sebaiknya mengumpulkan bekal di dunia untuk akhirat, layaknya orang yang membawa bekal ketika hendak bepergian. Sedangkan kamu wahai Sa’ad, hendaknya bertakwa kepada Allah dalam menetapkan hukum ketika membuat suatu keputusan, melakukan pembagian, dan menginginkan sesuatu.”
Tsabit berkata, “Aku mendapat berita bahwa Salman tidak meninggalkan apa-apa kecuali uang dua puluh dirham lebih sedikit.”
Diriwayatkan dari Salman, dia berkata, “Masa yang terpaut antara Isa dengan Muhammad adalah enam ratus tahun.”
Salman meninggal dunia di Mada‘in, pada masa Khalifah Utsman.
Abbas bin Yazid Al Jurjani berkata: Para ulama berkata, “Salman berusia 350 tahun, sedangkan yang 250 tahun tidak diragukan tentangnya.”
Semua masalah, keadaan, peperangan, semangat, dan tingkah lakunya, menunjukkan bahwa dia tidak berumur panjang dan tidak sampai berusia lanjut. Dia meninggalkan negerinya sejak kecil. Mungkin dia pergi ke Hijaz saat berusia 40 tahun atau kurang, tetapi pada saat itu dia belum mendengar perihal diutusnya Nabi. Kemudian dia hijrah. Mungkin dia hidup selama 70-an tahun. Tetapi menurutku, usianya tidak mencapai seratus tahun. Oleh karena itu, siapa pun yang mengetahui secara jelas tentang masalah ini, sebaiknya membertahukannya kepada kami.
Yang menukil bahwa beliau berusia panjang adalah Abu Al Faraj bin Al Jauzi dan lain-lain, sementara aku tidak mengetahui apa-apa tentangnya.
Diriwayatkan dari Tsabit Al Bunnani, dia berkata: Ketika Salman sakit, Sa’ad keluar dari Kufah untuk menjenguknya. Lalu dia datang bertepatan dengan saat-saat Salman menutup usianya. Dia kemudian menangis, lalu mengucapkan salam lantas duduk. Sa’ad berkata, “Apa yang membuatmu menanggis wahai saudaraku? Tidakkah kamu ingat persahabatan dengan Rasulullah? Tidakkah kamu ingat dengan pemandangan yang indah-indah?”
Salman berkata, “Demi Allah, yang membuat aku menangis bukan karena seseorang atau dua orang, bukan karena aku cinta dunia dan tidak senang bertemu dengan Allah.” Sa’ad berkata, “Lalu apa yang membuatmu menangis setelah kamu berusia delapan puluh tahun?” Salman menjawab, “Aku menangis karena kekasihku telah menetapkan janji kepadaku seraya bersabda, ‘Setiap orang di antara kalian hendaknya selalu bersiap-siap di dunia ini, seperti halnya persiapan yang dilakukan oleh orang yang hendak bepergian’. Oleh karena itu, kami takut telah melanggar janji itu.”
Diriwayatkan dari sebagian sahabat, dari Tsabit, dia berkata, “Diriwayatkan dari Abu Utsman, bahwa hadits tersebut berstatus mursal, seperti yang dikatakan oleh Abu Hatim.” Hadits ini menjelaskan bahwa Salman hanya berusia 80 tahun.
Mengenai hal ini, aku telah menjelaskannya dalam kitab Tarikh Al Kabir, bahwa dia berusia 250 tahun, dan pada saat itu aku tidak menerima dan tidak membenarkan pendapat tersebut.

Ubadah bin Ash-Shamit


Dia adalah Ibnu Qais.Abu Al Walid Al Anshari.
Dia adalah sosok pemimpin, panutan, salah seorang pemimpin pada malam Aqabah, dan pejuang perang Badar.
Dia bertempat tinggal di Baitul Maqdis.
Selain itu, dia mengikut seluruh peperangan yang pernah diikuti Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Ishaq bin Qabishah bin Dzu‘aib, dari ayahnya, bahwa Ubadah tidak mengakui apa pun dari Mu’awiyah, dia berkata, “Aku tidak akan menempatkanmu di bumi.” Setelah itu dia pergi ke Madinah. Sesampainya di Madinah Umar bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu datang kemari?” Dia kemudian menceritakan kepadanya tentang perbuatan Mu’awiyah. Mendengar itu, Umar berkata kepadanya, “Kembalilah ke tempatmu, sehingga Allah tidak memburukkan daerah yang tidak dihuni olehmu dan orang-orang seperti dirmu. Dia juga tidak berhak memerintahmu.”
Diriwayatkan dari Ismail bin Ubaid bin Rifa’ah, dari ayahnya, bahwa rombongan unta yang membawa khamer melewati Ubadah bin Ash-Shamit ketika dia sedang berada di Syam. Dia berkata, “Apa ini, minyak?” Ada yang menjawab, “Bukan, tetapi khamer yang dijual kepada si fulan.” Dia lalu langsung mengambil pedang menuju pasar dan berdiri di tengah-tengahnya. Dia kemudian tidak membiarkan satu kedai minum pun di dalam pasar tersebut. Pada saat itu Abu Hurairah berada di Syam, maka dia berkata kepada Ubadah, “Wahai Ubadah, ada masalah apa kamu dengan Mu’awiyah? Biarkan saja dia melakukan apa pun.” Dia menjawab, “Kami telah membai’atnya untuk mendengar dan taat serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kami juga tidak takut dicela siapa pun demi menegakkan kalimat Allah.” Mendengar itu, Abu Hurairah terdiam. 
Setelah itu ada seseorang menulis surat kepada Utsman, “Sesungguhnya Ubadah telah merusakku di Syam.” 
Diriwayatkan dari Al Walid bin Muslim, bahwa Utsman bin Atikah menceritakan kepada kami, bahwa suatu saat Ubadah bin Ash-Shamit melewati desa Dummar,109 kemudian dia menyuruh pembantunya memotong kayu siwak dari pohon Shifshaf di atas sungai Barada. Pembantu itu pun segera mengerjakan perintahnya. Setelah pembantu tersebut datang dengan membawa permintaannya, Ubadah berkata, “Kembalikan, jika siwak itu tidak kamu beli, karena dia tidak akan berguna.” Dia akhirnya membeli kayu tersebut.
Ubadah bin Ash-Shamit meninggal di Ramlah pada tahun 34 Hijriyah dalam usia 72 tahun.

Abdullah bin Mas’ud


Dia adalah Abu Abdurrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajirin Al Badri, pemimpin bani Zuhrah.
Dia sosok imam yang memiliki segudang ilmu dan berpemahaman mendalam.
Dia termasuk salah sahabat yang pertama kali masuk Islam, penghulu para ulama, pejuang perang Badar, sahabat yang melakukan hijrah dua kali, memperoleh harta rampasan pada waktu perang Yarmuk, memiliki banyak keistimewaan, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Al A’masy meriwayatkan dari Ibrahim, dia berkata, “Abdullah adalah orang yang lembut dan cerdas.”
Aku berkata, “Dia termasuk ulama yang cerdas.”
Ibnu Al Musayyib berkata, “Aku melihat Ibnu Mas’ud sebagai pria berperut besar dan berlengan kekar.”
Diriwayatkan dari Nuwaifa’ —pembantu Ibnu Mas’ud—, dia berkata, “Abdullah termasuk orang yang selalu berpakaian rapi dan putih, serta selalu memakai minyak wangi.”
Abdullah berkata, “Engkau telah melihat kami menjadi orang keenam dari enam orang dan tidak ada di muka bumi pada saat itu seorang muslim selain kami.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Aku pernah menggembala kambing milik Uqbah bin Abu Mu’ith, lalu Rasulullah SAW dan Abu Bakar berpapasan denganku, dan mereka bersabda, ‘Wahai ghulam, apakah ada susu?’ Aku menjawab, ‘Ada, tetapi aku kira tidak cukup’. Beliau bertanya, ‘Apakah ada kambing yang belum pernah kawin?’ Aku lalu mendatangkan kambing jenis itu kepada beliau. Setelah itu beliau mengusap putingnya hingga akhirnya susunya mengalir. Beliau kemudian memerahnya ke dalam sebuah wadah dan meminumnya, lalu memberikan kepada Abu Bakar, lantas bersabda kepada puting itu, ‘Mengecillah!’ Puting itu pun mengecil. Aku pun mendatangi beliau dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku perkataan seperti itu’. Beliau kemudian mengusap kepalaku seraya bersabda, ‘Semoga Allah merahmatimu karena kamu budak yang terpelajar’.”
Sanad hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Abu Awanah dari Ashim bin Bahdalah. Dalam redaksi haditsnya disebutkan tambahan, “Aku telah belajar langsung dari mulut Rasulullah SAW tujuh puluh surah yang tidak ada seorang pun yang bisa menanding diriku.”
Yahya bin Urwah bin Az-Zubair meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, “Orang yang pertama kali membaca Al Qur`an secara terang-terangan setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud.”
Diriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi SAW mempersaudarakan Az-Zubair dengan Ibnu Mas’ud.
Diriwayatkan dari Abu Al Ahwash, dia berkata: Aku melihat Abu Mas’ud dan Abu Musa —ketika Abdullah bin Mas’ud meninggal—, dan salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya, “Apakah kamu melihat masih ada sahabat seperti dia sepeninggal dirinya?” Dia menjawab, “Jika kamu berkata seperti itu berarti ketika kita tidak mendapat restu, dia memperoleh izin, dan dia juga bersaksi ketika kita tidak sedang berada di tempat.”
Al Bukhari dan An-Nasa`i meriwayatkan dari hadits Abu Musa, dia berkata, “Aku dan saudaraku datang dari Yaman, lalu kami tinggal di Hunain dan kami tidak menganggap Ibnu Mas’ud dan ibunya kecuali termasuk keluarga Nabi SAW karena mereka sering keluar-masuk menghadapnya.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Abdullah, izinmu kepadaku adalah jika kamu menghilangkan hijab (penghalang) dan kamu mendengarkan bisikanku hingga aku melarangmu’.” 
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Ketika firman Allah, لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ  ‘Bukanlah atas orang-orang yang beriman dan beramal shalih itu dosa...’, (Qs. Al Maa`idah [5]: 93) turun, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ‘Kamu termasuk di antara mereka’.”
Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, dia berkata, “Aku bersama Hudzaifah, lalu datanglah Ibnu Mas’ud. Hudzaifah berkata, ‘Sesungguhnya orang yang paling menyerupai Rasulullah SAW dalam memberikan petunjuk, jalan, ketetapan, dan khutbahnya, sejak berangkat dari rumah hingga kembali —aku tidak tahu apa yang beliau lakukan terhadap keluarganya— adalah Abdullah bin Mas’ud. Orang-orang yang selalu mengerjakan shalat Tahajud dari kalangan sahabat Nabi tahu bahwa Abdullah adalah orang yang paling dekat wasilahnya di sisi Allah pada Hari Kiamat.”
Diriwayatkan dari Alqamah, dia berkata, “Kami pernah bersama Abdullah, lalu datanglah Khubab bin Al Aritt hingga dia berdiri di depan kami, sementara di tangannya ada cincin dari emas, ia bertanya, ‘Apakah setiap orang membaca seperti yang kamu baca?’ Abdullah berkata, ‘Jika kamu mau, aku akan menyuruh beberapa orang dari mereka untuk membaca’. Dia berkata, ‘Baik’. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Bacalah wahai Alqamah!’ Pria itu berkata, ‘Apakah kamu menyuruhnya membaca, padahal dia bukan orang yang paling baik bacaannya?’ Abdullah berkata, ‘Jika kamu mau, aku akan meriwayatkan hadits kepadamu dari Rasulullah SAW tentang kaumnya dan kaummu’. Aku lalu membaca lima puluh ayat dari surah Maryam’. Abdullah berkata, ‘Dia tidak membaca kecuali seperti yang aku baca’. Abdullah lanjut berkata, ‘Mengapa cincin ini tidak kamu lepas?’ Dia lantas melepaskannya dan membuangnya. Dia berkata, ‘Demi Allah, jangan perlihatkan kepadaku selamanya’.”
Diriwayatkan dari Abu Al Ahwash, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Abu Musa saat Abdullah dan Abu Mas’ud Al Anshari sedang berada di dekatnya. Mereka kemudian melihat ke mushaf, lalu kami berbincang-bincang sejenak. Setelah Abdullah keluar dan pergi, Abu Mas’ud berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu Nabi SAW meninggalkan seseorang yang lebih mengetahui Kitabullah daripada pria ini’.”
Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata: Abdullah berkata, “Demi jiwaku yang tidak ada tuhan selain-Nya, aku telah belajar langsung dari mulut Rasulullah SAW sekitar tujuh puluh surah. Jika aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui Kitabullah daripada diriku, dan bisa dijangkau dengan mengendarai unta, pasti akan aku datangi.”
Diriwayatkan dari Abdullah, bahwa Rasulullah SAW pernah melewati antara Abu Bakar dan Umar, sementara Abdullah ketika itu sedang berdiri shalat. Abdullah kemudian membuka rakaat pertama dengan surah An-Nisaa` yang dibaca secara tartil. Rasulullah SAW lalu bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْ قِرَاءَةَ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ “Barangsiapa yang senang membaca Al Qur`an persis seperti ketika diturunkan, maka dia hendaknya membaca seperti bacaan Ibnu Ummi Abd.” Setelah itu Abdullah berdoa, lantas Rasulullah SAW bersabda, “Mintalah, niscaya kamu diberi.” 
Di antara doa yang dibaca Abdullah ketika itu adalah, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لاَ يَرْتَدُّ، وَنَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ، وَمُرَافَقَةَ نِبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى جِنَانِ الْخُلْدِ “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keimanan yang kokoh, kenikmatan yang tidak pernah lekang, dan selalu dapat menyertai Nabi-Mu, Muhammad SAW, di surga abadi yang paling tinggi.” 
Umar kemudian mendatangi Abdullah untuk memberinya kabar gembira tentang hal itu. Dia mendapati Abu Bakar telah keluar mendahuluinya, maka dia berkata, “Kamu selalu mendahuluiku dalam kebaikan.”
Diriwayatkan dari Ummu Musa, dia berkata: Aku mendengar Ali berkata, “Rasulullah SAW menyuruh Ibnu Mas’ud, lalu dia memanjat pohon untuk mengambil sesuatu. Ketika para sahabat melihat kaki Abdullah, mereka tertawa lantaran bentuk kakinya yang kecil. Melihat itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Apa yang kalian tertawakan? Sungguh, satu kaki Abdullah lebih berat timbangannya daripada gunung Uhud pada Hari Kiamat’.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku ridha untuk umatku sebagaimana yang diridhai oleh Ibnu Ummi Abd’.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Bacalah Al Qur`an kepadaku!” Aku kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, haruskah aku membacakan Al Qur`an kepadamu, sedangkan                   Al Qur`an diturunkan kepadamu?!” Beliau menjawab, “Aku sangat                         ingin mendengarkan bacaan Al Qur`an dari orang lain.” Aku lalu               membacakan surah An-Nisaa` hingga sampai pada firman Allah,  “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (Qs. An-Nisaa` [4]: 41) Setelah itu beliau menyenggolku dengan kakinya, dan ternyata kedua matanya meneteskan air mata.
Ketika Amr bin Al Ash sakit hingga membuat tubuhnya gemetar, dia ditanya, “Bukankah dulu Rasulullah SAW dekat denganmu dan mengangkatmu sebagai pemimpin?” Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu arti perlakuan beliau terhadapku, cinta atau hanya untuk meluluhkanku? Tetapi aku bersaksi atas dua orang sahabat yang ketika beliau meninggal masih dalam keadaan mencintai keduanya, yaitu Ibnu Ummi Abd dan Ibnu Sumayyah.”
Diriwayatkan dari Alqamah, dia berkata, “Abdullah menyerupai Nabi SAW dalam petunjuk, penjelasan, dan kesabarannya.”
Sedangkan Alqamah menyerupai Abdullah.
Diriwayatkan dari Haritsah bin Mudharrib, dia berkata, “Umar bin Khathtab pernah menulis surat kepada penduduk Kufah yang isinya antara lain: ‘Sesungguhnya aku telah mengutus kepada kalian Ammar sebagai amir dan Ibnu Mas’ud sebagai pemimpin dan menteri. Keduanya termasuk orang-orang pilihan dari kalangan sahabat Muhammad dan pejuang perang Badar. Oleh karena itu, dengarkan dan taatilah mereka! Aku juga lebih mengutamakan Abdullah atas kalian daripada diriku sendiri.”
Diriwayatkan dari Khumair bin Malik, dia berkata, “Para sahabat pernah diperintahkan merubah mushaf-mushaf. Ibnu Mas’ud lalu berkata, ‘Barangsiapa di antara kalian bisa mempertahankan mushafnya maka pertahankan, karena siapa yang bisa mempertahankan sesuatu, maka itu akan dibawa pada Hari Kiamat’. Kemudian dia berkata lagi, ‘Aku telah belajar langsung dari mulut Rasulullah sAW sebanyak tujuh puluh surah. Haruskah aku meninggalkan apa yang aku pelajari dari mulut beliau langsung?’.”
Az-Zuhri berkata, “Sampai kepadaku berita bahwa perkataan itu merupakan perkataan Ibnu Mas’ud yang tidak disukai oleh para sahabat.”
Menurut aku, pada saat itu Ibnu Mas’ud menghadapi masa-masa sulit, karena Utsman tidak menyuruhnya menulis mushaf, melainkan lebih mendahulukan sahabat yang lebih pantas menjadi anaknya. Utsman memilihnya karena pada saat itu dia sedang pergi ke Kufah dan karena Zaid menuliskan wahyu Rasulullah SAW, serta dia tangkas dalam menulis, sedangkan Ibnu Mas’ud tangkas dalam pelaksanaan. Selain itu, Zaid bin Tsabit adalah sahabat yang disuruh oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menulis mushaf dan mengumpulkan Al Qur`an, mungkinkah dia mencela Abu Bakar? 
Menurut satu riwayat, Ibnu Mas’ud RA adalah pengikut Utsman dan dalam mushaf Ibnu Mas’ud ada sesuatu yang menurutku telah dihapus. Sementara itu Zaid merupakan sahabat termuda yang diperlihatkan akhirat oleh Nabi SAW pada saat beliau meninggal melalui malaikat Jibril.
Diriwayatkan dari Zaid bin Wahab, dia berkata, “Ketika Utsman memanggil Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya pergi ke Madinah, orang-orang berkumpul kepadanya dan berkata, ‘Tinggallah dan jangan kembali lagi! Kami hanya ingin mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada dirimu’. Mendengar itu, dia berkata, ‘Aku sebenarnya harus taat kepadanya, karena hal itu akan menjadi perintah dan fitnah. Aku tidak senang menjadi orang yang pertama kali membuka fitnah tersebut’. Orang-orang lalu menolak dan memberontak kepadanya.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Jika kami belajar sepuluh ayat dari Nabi, maka kami tidak belajar sepuluh ayat yang diturunkan berikutnya hingga kita mengetahui apa yang ada di dalamnya, yaitu ilmu.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata, “Ali ditanya tentang Ibnu Mas’ud,  lalu dia menjawab, ‘Dia pandai membaca Al Qur`an, orang-orang belajar kepadanya dan dicukupi olehnya’.” 
Diriwayatkan dari jalur periwayatan lain, dari Ali, dan dalam redaksinya dia menyebutkan, “...dan dia mengetahui Sunnah.” 
Diriwayatkan dari Zaid bin Wahab, dia berkata, “Aku pernah duduk bersama Umar bin Khaththab, tiba-tiba Ibnu Mas’ud datang, dan hampir saja orang-orang yang duduk menyamai ketinggiannya lantaran tubuhnya yang pendek. Ketika melihatnya, Umar langsung tertawa lantas berbicara kepadanya yang ketika itu terlihat gembira dan mencandainya, sementara Ibnu Mas’ud dalam keadaan berdiri. Umar kemudian mengikutinya dengan pandangannya hingga sama tinggi, lalu dia berkata, ‘Wadah yang kecil tapi penuh dengan ilmu’.”
Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, bahwa Ibnu Mas’ud pernah melihat seorang pria memakai kain hingga menyentuh tanah, maka Ibnu Mas’ud berkata, “Tinggikan kainmu!” Dia berkata, “Kamu sendiri wahai Ibnu Mas’ud, tinggikan kainmu!” Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Kakiku pendek, sedangkan aku memimpin manusia.” Ketika hal itu sampai kepada Umar, dia memukul pria itu lantas berkata, “Apakah kamu membantah Ibnu Mas’ud?”
Diriwayatkan dari Abu Amr Asy-Syaibani, bahwa Abu Musa pernah diminta untuk berfatwa tentang masalah faraidh (pembagian warisan), lalu dia melakukan kesalahan, hingga Ibnu Mas’ud menentangnya, sampai-sampai Abu Musa angkat bicara, “Kalian tidak perlu bertanya kepada diriku tentang suatu permasalahan selama sahabat yang cerdas ini masih ada di tengah-tengah kalian.”
Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata, “Aku menyeleksi para sahabat Rasulullah SAW, sehingga aku mendapati ilmu mereka berakhir pada enam orang, yaitu Ali, Umar, Abdullah, Zaid, Abu Ad-Darda`, dan Ubai. Dari keenam sahabat tersebut aku seleksi lagi hingga menjadi dua, lalu aku mendapati ilmu mereka berakhir pada Ali dan Abdullah.”
Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata: Suatu hari Abdullah menceritakan kepada kami, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Beliau gemetar hingga bajunya ikut gemetar.’ Selanjutnya beliau bersabda seperti itu atau serupa dengan itu.”
Diriwayatkan dari Aun bin Abdullah, dari saudaranya Ubaidullah, dia berkata, “Jika angin bertiup tenang, Abdullah bangun malam sehingga aku mendengar suara mendawai-dawai seperti dawaian pohon kurma.”
Diriwayatkan dari Al Qasim bin Abdurrahman, bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata dalam doanya, “Ya Allah, jadikan aku orang yang takut dan selalu mencari pahala, bertobat, memohon ampun, senang dan takut kepada-Mu.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Seandainya aku diciptakan dari keturunan anjing, tentu aku malu menjadi anjing. Aku benar-benar benci melihat orang menganggur tanpa pekerjaan, baik untuk urusan dunia maupun akhirat.”
Abdullah berkata, “Barangsiapa menginginkan akhirat maka dia akan diuji dengan dunia, dan barangsiapa menginginkan dunia maka dia akan diuji dengan akhirat. Wahai kaumku, carilah sesuatu yang rusak (hancur) untuk mendapatkan yang abadi.”
Menurut aku, Ibnu Mas’ud pernah menghadap Utsman, dan dalam perjalanannya ke Zabadzah104 dia menyaksikan penguburan jenazah Abu Dzar dan dia turut menshalatinya.
Abu Dzabiyah berkata, “Ketika Abdullah sakit, Utsman datang menjenguknya dan berkata, ‘Apa yang kamu keluhkan?’ Abdullah menjawab, ‘Dosa-dosaku’. Utsman berkata, ‘Apa yang kamu inginkan?’ Dia menjawab, ‘Rahmat Tuhanku’. Dia berkata lagi, ‘Bukankah aku telah menyuruhmu pergi ke dokter?’ Dia menjawab, ‘Dokter justru menyakitiku’. Utsman berkata, ‘Maukah kamu aku beri sesuatu?’ Abdullah menjawab, ‘Aku tidak membutuhkannya’.”
Ibnu Mas’ud wafat di Madinah dan dikubur di Baqi’ pada tahun 32 Hijriyah dalam usia 63 tahun.

Abdullah bin Mas’ud


Dia adalah Abu Abdurrahman Al Hudzali Al Makki Al Muhajirin Al Badri, pemimpin bani Zuhrah.
Dia sosok imam yang memiliki segudang ilmu dan berpemahaman mendalam.
Dia termasuk salah sahabat yang pertama kali masuk Islam, penghulu para ulama, pejuang perang Badar, sahabat yang melakukan hijrah dua kali, memperoleh harta rampasan pada waktu perang Yarmuk, memiliki banyak keistimewaan, dan banyak meriwayatkan ilmu.
Al A’masy meriwayatkan dari Ibrahim, dia berkata, “Abdullah adalah orang yang lembut dan cerdas.”
Aku berkata, “Dia termasuk ulama yang cerdas.”
Ibnu Al Musayyib berkata, “Aku melihat Ibnu Mas’ud sebagai pria berperut besar dan berlengan kekar.”
Diriwayatkan dari Nuwaifa’ —pembantu Ibnu Mas’ud—, dia berkata, “Abdullah termasuk orang yang selalu berpakaian rapi dan putih, serta selalu memakai minyak wangi.”
Abdullah berkata, “Engkau telah melihat kami menjadi orang keenam dari enam orang dan tidak ada di muka bumi pada saat itu seorang muslim selain kami.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Aku pernah menggembala kambing milik Uqbah bin Abu Mu’ith, lalu Rasulullah SAW dan Abu Bakar berpapasan denganku, dan mereka bersabda, ‘Wahai ghulam, apakah ada susu?’ Aku menjawab, ‘Ada, tetapi aku kira tidak cukup’. Beliau bertanya, ‘Apakah ada kambing yang belum pernah kawin?’ Aku lalu mendatangkan kambing jenis itu kepada beliau. Setelah itu beliau mengusap putingnya hingga akhirnya susunya mengalir. Beliau kemudian memerahnya ke dalam sebuah wadah dan meminumnya, lalu memberikan kepada Abu Bakar, lantas bersabda kepada puting itu, ‘Mengecillah!’ Puting itu pun mengecil. Aku pun mendatangi beliau dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ajarilah aku perkataan seperti itu’. Beliau kemudian mengusap kepalaku seraya bersabda, ‘Semoga Allah merahmatimu karena kamu budak yang terpelajar’.”
Sanad hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Abu Awanah dari Ashim bin Bahdalah. Dalam redaksi haditsnya disebutkan tambahan, “Aku telah belajar langsung dari mulut Rasulullah SAW tujuh puluh surah yang tidak ada seorang pun yang bisa menanding diriku.”
Yahya bin Urwah bin Az-Zubair meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, “Orang yang pertama kali membaca Al Qur`an secara terang-terangan setelah Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Mas’ud.”
Diriwayatkan dari Anas, bahwa Nabi SAW mempersaudarakan Az-Zubair dengan Ibnu Mas’ud.
Diriwayatkan dari Abu Al Ahwash, dia berkata: Aku melihat Abu Mas’ud dan Abu Musa —ketika Abdullah bin Mas’ud meninggal—, dan salah seorang dari keduanya berkata kepada temannya, “Apakah kamu melihat masih ada sahabat seperti dia sepeninggal dirinya?” Dia menjawab, “Jika kamu berkata seperti itu berarti ketika kita tidak mendapat restu, dia memperoleh izin, dan dia juga bersaksi ketika kita tidak sedang berada di tempat.”
Al Bukhari dan An-Nasa`i meriwayatkan dari hadits Abu Musa, dia berkata, “Aku dan saudaraku datang dari Yaman, lalu kami tinggal di Hunain dan kami tidak menganggap Ibnu Mas’ud dan ibunya kecuali termasuk keluarga Nabi SAW karena mereka sering keluar-masuk menghadapnya.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Abdullah, izinmu kepadaku adalah jika kamu menghilangkan hijab (penghalang) dan kamu mendengarkan bisikanku hingga aku melarangmu’.” 
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Ketika firman Allah, لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ  ‘Bukanlah atas orang-orang yang beriman dan beramal shalih itu dosa...’, (Qs. Al Maa`idah [5]: 93) turun, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ‘Kamu termasuk di antara mereka’.”
Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, dia berkata, “Aku bersama Hudzaifah, lalu datanglah Ibnu Mas’ud. Hudzaifah berkata, ‘Sesungguhnya orang yang paling menyerupai Rasulullah SAW dalam memberikan petunjuk, jalan, ketetapan, dan khutbahnya, sejak berangkat dari rumah hingga kembali —aku tidak tahu apa yang beliau lakukan terhadap keluarganya— adalah Abdullah bin Mas’ud. Orang-orang yang selalu mengerjakan shalat Tahajud dari kalangan sahabat Nabi tahu bahwa Abdullah adalah orang yang paling dekat wasilahnya di sisi Allah pada Hari Kiamat.”
Diriwayatkan dari Alqamah, dia berkata, “Kami pernah bersama Abdullah, lalu datanglah Khubab bin Al Aritt hingga dia berdiri di depan kami, sementara di tangannya ada cincin dari emas, ia bertanya, ‘Apakah setiap orang membaca seperti yang kamu baca?’ Abdullah berkata, ‘Jika kamu mau, aku akan menyuruh beberapa orang dari mereka untuk membaca’. Dia berkata, ‘Baik’. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Bacalah wahai Alqamah!’ Pria itu berkata, ‘Apakah kamu menyuruhnya membaca, padahal dia bukan orang yang paling baik bacaannya?’ Abdullah berkata, ‘Jika kamu mau, aku akan meriwayatkan hadits kepadamu dari Rasulullah SAW tentang kaumnya dan kaummu’. Aku lalu membaca lima puluh ayat dari surah Maryam’. Abdullah berkata, ‘Dia tidak membaca kecuali seperti yang aku baca’. Abdullah lanjut berkata, ‘Mengapa cincin ini tidak kamu lepas?’ Dia lantas melepaskannya dan membuangnya. Dia berkata, ‘Demi Allah, jangan perlihatkan kepadaku selamanya’.”
Diriwayatkan dari Abu Al Ahwash, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Abu Musa saat Abdullah dan Abu Mas’ud Al Anshari sedang berada di dekatnya. Mereka kemudian melihat ke mushaf, lalu kami berbincang-bincang sejenak. Setelah Abdullah keluar dan pergi, Abu Mas’ud berkata, ‘Demi Allah, aku tidak tahu Nabi SAW meninggalkan seseorang yang lebih mengetahui Kitabullah daripada pria ini’.”
Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata: Abdullah berkata, “Demi jiwaku yang tidak ada tuhan selain-Nya, aku telah belajar langsung dari mulut Rasulullah SAW sekitar tujuh puluh surah. Jika aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui Kitabullah daripada diriku, dan bisa dijangkau dengan mengendarai unta, pasti akan aku datangi.”
Diriwayatkan dari Abdullah, bahwa Rasulullah SAW pernah melewati antara Abu Bakar dan Umar, sementara Abdullah ketika itu sedang berdiri shalat. Abdullah kemudian membuka rakaat pertama dengan surah An-Nisaa` yang dibaca secara tartil. Rasulullah SAW lalu bersabda, مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْ قِرَاءَةَ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ “Barangsiapa yang senang membaca Al Qur`an persis seperti ketika diturunkan, maka dia hendaknya membaca seperti bacaan Ibnu Ummi Abd.” Setelah itu Abdullah berdoa, lantas Rasulullah SAW bersabda, “Mintalah, niscaya kamu diberi.” 
Di antara doa yang dibaca Abdullah ketika itu adalah, اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لاَ يَرْتَدُّ، وَنَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ، وَمُرَافَقَةَ نِبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَعْلَى جِنَانِ الْخُلْدِ “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keimanan yang kokoh, kenikmatan yang tidak pernah lekang, dan selalu dapat menyertai Nabi-Mu, Muhammad SAW, di surga abadi yang paling tinggi.” 
Umar kemudian mendatangi Abdullah untuk memberinya kabar gembira tentang hal itu. Dia mendapati Abu Bakar telah keluar mendahuluinya, maka dia berkata, “Kamu selalu mendahuluiku dalam kebaikan.”
Diriwayatkan dari Ummu Musa, dia berkata: Aku mendengar Ali berkata, “Rasulullah SAW menyuruh Ibnu Mas’ud, lalu dia memanjat pohon untuk mengambil sesuatu. Ketika para sahabat melihat kaki Abdullah, mereka tertawa lantaran bentuk kakinya yang kecil. Melihat itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Apa yang kalian tertawakan? Sungguh, satu kaki Abdullah lebih berat timbangannya daripada gunung Uhud pada Hari Kiamat’.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku ridha untuk umatku sebagaimana yang diridhai oleh Ibnu Ummi Abd’.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Bacalah Al Qur`an kepadaku!” Aku kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, haruskah aku membacakan Al Qur`an kepadamu, sedangkan                   Al Qur`an diturunkan kepadamu?!” Beliau menjawab, “Aku sangat                         ingin mendengarkan bacaan Al Qur`an dari orang lain.” Aku lalu               membacakan surah An-Nisaa` hingga sampai pada firman Allah,  “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (Qs. An-Nisaa` [4]: 41) Setelah itu beliau menyenggolku dengan kakinya, dan ternyata kedua matanya meneteskan air mata.
Ketika Amr bin Al Ash sakit hingga membuat tubuhnya gemetar, dia ditanya, “Bukankah dulu Rasulullah SAW dekat denganmu dan mengangkatmu sebagai pemimpin?” Dia menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu arti perlakuan beliau terhadapku, cinta atau hanya untuk meluluhkanku? Tetapi aku bersaksi atas dua orang sahabat yang ketika beliau meninggal masih dalam keadaan mencintai keduanya, yaitu Ibnu Ummi Abd dan Ibnu Sumayyah.”
Diriwayatkan dari Alqamah, dia berkata, “Abdullah menyerupai Nabi SAW dalam petunjuk, penjelasan, dan kesabarannya.”
Sedangkan Alqamah menyerupai Abdullah.
Diriwayatkan dari Haritsah bin Mudharrib, dia berkata, “Umar bin Khathtab pernah menulis surat kepada penduduk Kufah yang isinya antara lain: ‘Sesungguhnya aku telah mengutus kepada kalian Ammar sebagai amir dan Ibnu Mas’ud sebagai pemimpin dan menteri. Keduanya termasuk orang-orang pilihan dari kalangan sahabat Muhammad dan pejuang perang Badar. Oleh karena itu, dengarkan dan taatilah mereka! Aku juga lebih mengutamakan Abdullah atas kalian daripada diriku sendiri.”
Diriwayatkan dari Khumair bin Malik, dia berkata, “Para sahabat pernah diperintahkan merubah mushaf-mushaf. Ibnu Mas’ud lalu berkata, ‘Barangsiapa di antara kalian bisa mempertahankan mushafnya maka pertahankan, karena siapa yang bisa mempertahankan sesuatu, maka itu akan dibawa pada Hari Kiamat’. Kemudian dia berkata lagi, ‘Aku telah belajar langsung dari mulut Rasulullah sAW sebanyak tujuh puluh surah. Haruskah aku meninggalkan apa yang aku pelajari dari mulut beliau langsung?’.”
Az-Zuhri berkata, “Sampai kepadaku berita bahwa perkataan itu merupakan perkataan Ibnu Mas’ud yang tidak disukai oleh para sahabat.”
Menurut aku, pada saat itu Ibnu Mas’ud menghadapi masa-masa sulit, karena Utsman tidak menyuruhnya menulis mushaf, melainkan lebih mendahulukan sahabat yang lebih pantas menjadi anaknya. Utsman memilihnya karena pada saat itu dia sedang pergi ke Kufah dan karena Zaid menuliskan wahyu Rasulullah SAW, serta dia tangkas dalam menulis, sedangkan Ibnu Mas’ud tangkas dalam pelaksanaan. Selain itu, Zaid bin Tsabit adalah sahabat yang disuruh oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menulis mushaf dan mengumpulkan Al Qur`an, mungkinkah dia mencela Abu Bakar? 
Menurut satu riwayat, Ibnu Mas’ud RA adalah pengikut Utsman dan dalam mushaf Ibnu Mas’ud ada sesuatu yang menurutku telah dihapus. Sementara itu Zaid merupakan sahabat termuda yang diperlihatkan akhirat oleh Nabi SAW pada saat beliau meninggal melalui malaikat Jibril.
Diriwayatkan dari Zaid bin Wahab, dia berkata, “Ketika Utsman memanggil Ibnu Mas’ud dan menyuruhnya pergi ke Madinah, orang-orang berkumpul kepadanya dan berkata, ‘Tinggallah dan jangan kembali lagi! Kami hanya ingin mencegah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada dirimu’. Mendengar itu, dia berkata, ‘Aku sebenarnya harus taat kepadanya, karena hal itu akan menjadi perintah dan fitnah. Aku tidak senang menjadi orang yang pertama kali membuka fitnah tersebut’. Orang-orang lalu menolak dan memberontak kepadanya.”
Diriwayatkan dari Abdullah, dia berkata, “Jika kami belajar sepuluh ayat dari Nabi, maka kami tidak belajar sepuluh ayat yang diturunkan berikutnya hingga kita mengetahui apa yang ada di dalamnya, yaitu ilmu.”
Diriwayatkan dari Abu Al Bukhturi, dia berkata, “Ali ditanya tentang Ibnu Mas’ud,  lalu dia menjawab, ‘Dia pandai membaca Al Qur`an, orang-orang belajar kepadanya dan dicukupi olehnya’.” 
Diriwayatkan dari jalur periwayatan lain, dari Ali, dan dalam redaksinya dia menyebutkan, “...dan dia mengetahui Sunnah.” 
Diriwayatkan dari Zaid bin Wahab, dia berkata, “Aku pernah duduk bersama Umar bin Khaththab, tiba-tiba Ibnu Mas’ud datang, dan hampir saja orang-orang yang duduk menyamai ketinggiannya lantaran tubuhnya yang pendek. Ketika melihatnya, Umar langsung tertawa lantas berbicara kepadanya yang ketika itu terlihat gembira dan mencandainya, sementara Ibnu Mas’ud dalam keadaan berdiri. Umar kemudian mengikutinya dengan pandangannya hingga sama tinggi, lalu dia berkata, ‘Wadah yang kecil tapi penuh dengan ilmu’.”
Diriwayatkan dari Abu Wa‘il, bahwa Ibnu Mas’ud pernah melihat seorang pria memakai kain hingga menyentuh tanah, maka Ibnu Mas’ud berkata, “Tinggikan kainmu!” Dia berkata, “Kamu sendiri wahai Ibnu Mas’ud, tinggikan kainmu!” Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Kakiku pendek, sedangkan aku memimpin manusia.” Ketika hal itu sampai kepada Umar, dia memukul pria itu lantas berkata, “Apakah kamu membantah Ibnu Mas’ud?”
Diriwayatkan dari Abu Amr Asy-Syaibani, bahwa Abu Musa pernah diminta untuk berfatwa tentang masalah faraidh (pembagian warisan), lalu dia melakukan kesalahan, hingga Ibnu Mas’ud menentangnya, sampai-sampai Abu Musa angkat bicara, “Kalian tidak perlu bertanya kepada diriku tentang suatu permasalahan selama sahabat yang cerdas ini masih ada di tengah-tengah kalian.”
Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata, “Aku menyeleksi para sahabat Rasulullah SAW, sehingga aku mendapati ilmu mereka berakhir pada enam orang, yaitu Ali, Umar, Abdullah, Zaid, Abu Ad-Darda`, dan Ubai. Dari keenam sahabat tersebut aku seleksi lagi hingga menjadi dua, lalu aku mendapati ilmu mereka berakhir pada Ali dan Abdullah.”
Diriwayatkan dari Masruq, dia berkata: Suatu hari Abdullah menceritakan kepada kami, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Beliau gemetar hingga bajunya ikut gemetar.’ Selanjutnya beliau bersabda seperti itu atau serupa dengan itu.”
Diriwayatkan dari Aun bin Abdullah, dari saudaranya Ubaidullah, dia berkata, “Jika angin bertiup tenang, Abdullah bangun malam sehingga aku mendengar suara mendawai-dawai seperti dawaian pohon kurma.”
Diriwayatkan dari Al Qasim bin Abdurrahman, bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata dalam doanya, “Ya Allah, jadikan aku orang yang takut dan selalu mencari pahala, bertobat, memohon ampun, senang dan takut kepada-Mu.”
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Seandainya aku diciptakan dari keturunan anjing, tentu aku malu menjadi anjing. Aku benar-benar benci melihat orang menganggur tanpa pekerjaan, baik untuk urusan dunia maupun akhirat.”
Abdullah berkata, “Barangsiapa menginginkan akhirat maka dia akan diuji dengan dunia, dan barangsiapa menginginkan dunia maka dia akan diuji dengan akhirat. Wahai kaumku, carilah sesuatu yang rusak (hancur) untuk mendapatkan yang abadi.”
Menurut aku, Ibnu Mas’ud pernah menghadap Utsman, dan dalam perjalanannya ke Zabadzah104 dia menyaksikan penguburan jenazah Abu Dzar dan dia turut menshalatinya.
Abu Dzabiyah berkata, “Ketika Abdullah sakit, Utsman datang menjenguknya dan berkata, ‘Apa yang kamu keluhkan?’ Abdullah menjawab, ‘Dosa-dosaku’. Utsman berkata, ‘Apa yang kamu inginkan?’ Dia menjawab, ‘Rahmat Tuhanku’. Dia berkata lagi, ‘Bukankah aku telah menyuruhmu pergi ke dokter?’ Dia menjawab, ‘Dokter justru menyakitiku’. Utsman berkata, ‘Maukah kamu aku beri sesuatu?’ Abdullah menjawab, ‘Aku tidak membutuhkannya’.”
Ibnu Mas’ud wafat di Madinah dan dikubur di Baqi’ pada tahun 32 Hijriyah dalam usia 63 tahun.